"Arsiaaa..."
Salim menyebut nama gadis itu dengan berirama.
Entah sudah ke berapa kali Salim memanggil gadis itu dan meminta maaf. Apapun yang dilakukannya, Arsia tak kunjung keluar dari kamarnya. Ini membuat Salim risau dalam perasaan bersalahnya yang semakin menjadi-jadi.
"Yang Mulia, apa yang Anda lakukan?" tanya Behram dengan sedikit mencondongkan tubuh ke arahnya. Sedari tadi hanya melihat Salim mengulang hal yang sama, lama-lama Behram tak tahan juga. Makanya dia memberanikan diri untuk membuat langkah, menyadarkan tuannya itu.
Betapa kagetnya Behram mendapati Salim saat tuannya itu menoleh ke arahnya. Wajah Salim nampak sendu-sendu frustasi. Sepanjang ingatan Behram, dia belum pernah melihat Salim dalam ekspresi seperti itu sebelumnya.
'Kenapa jadi mengenaskan begitu?', batin Behram iba.
Melihat Salim begitu, timbul setitik sesal dalam diri Behram kenapa tadi dia tidak mencegah tuannya itu mengusili Arsia. Kalau tadi dia mencegahnya, Salim tak perlu ada dalam posisi seperti ini. Salah satu spesies berbahaya di bumi adalah wanita saat sedang marah. Tetapi Salim tuannya itu justru menjahili Arsia seperti seorang anak yang hilang di sabana dan bertemu seekor singa betina yang sedang tidur lalu malah menyenggol-nyenggolnya menggunakan ranting pohon.
Setidaknya, Behram pernah melihat adegan-adegan seperti ini dari film maupun sinetron yang ditontonnya. Meski sejauh ini mayoritas film bergenre mafia yang digemari Behram namun setidaknya dia ada sedikit pengalaman sebagai pria yang pernah memiliki istri. Sedangkan Salim, tak peduli seberapa pintar pria muda itu maupun seberapa banyak film romantis yang ditontonnya, Salim tetap nol pengalaman dalam urusan hubungan antara lelaki dengan perempuan.
'Apa istilahnya bagi awam yang kurang pengalaman di jaman modern? Ah ya, fresh graduate!', Behram mengingat-ingat apa yang pernah Yıldıray katakan padanya.
Benar, Salim belum pernah menjalin hubungan dengan wanita mana pun. Bukan karena di masa mereka semua serba dijodohkan. Tetapi karena memang Salim tidak ada kesempatan untuk itu.
Lahir sebagai seorang darah biru tidak serta merta membuat Salim hidup bergelimang hak khusus. Malah statusnya itu menjadi bumerang untuknya. Meski dirinya bukan garis pertama dalam urutan tahta, tetap saja dirinya berada dalam bayang-bayang kematian. Beberapa kali Salim hampir mati diincar oleh mereka yang menganggap Salim sebagai lawan -- ancaman -- politiknya. Sekalipun fratrisida telah dihapuskan pada masa pemerintahan Sultan Ahmet I dan digantikan oleh sistem kafes, Salim tetap menghadapi ancaman tersebut. Sepertinya sesuatu memang tak bisa serta merta dirubah.
Sistem kafes sendiri, yang menempatkan para pangeran dalam pengawasan ketat istana, lama-kelamaan membunuh secara psikologis. Ujungnya, mau fratrisida ataupun sistem kafes, keduanya tetap memaksa Salim untuk berjuang bertahan hidup. Jadi jangankan memikirkan pernikahan, memikirkan keselamatan dirinya sendiri pun sudah cukup menguras waktu dan tenaga bagi Salim.
Maka sudah suatu kelaziman apabila Salim yang tak pernah bersentuhan dengan wanita itu tidak tahu bagaimana cara menghadapi Arsia yang sedang ngambek.
"Apa yang aku lakukan? Kau pikir apa yang aku lakukan, Behram?" Salim balik bertanya dengan nada lelah. Kemudian dia mendesah. "Bagaimana mengeluarkan dia dari sana?" tanyanya sambil menunjuk ke arah pintu kamar yang tertutup rapat.
"Arsia sedang marah, Yang Mulia," Behram mencoba menggambarkan situasinya.
"Aku tidak buta, Behram," Salim menanggapi dengan agak kesal.
'Yang Mulia masih belum paham rupanya', batin Behram.
Dengan suara serendah mungkin, Behram pun memperjelas maksudnya, "Maksud saya Arsia itu wanita, Yang Mulia. Dan dia sedang marah."
"Behram, kalau dia lelaki dia tidak akan melakukan hal semacam ini," balas Salim. Kata-katanya meluncur cepat dan begitu saja dari mulutnya. Setelahnya Salim terdiam. Menyadari sesuatu, dia memandang penuh arti pada Behram.
'Ah, akhirnya Yang Mulia memahaminya juga', Behram membatin penuh kelegaan.
Behram membalas tatapan Salim dengan sorot yang sama. "Anda tidak seharusnya menempel di sini, Yang Mulia," dia memberitahu dengan penuh rasa hormat.
"Lalu apa yang seharusnya aku lakukan, Behram? Aku harus mengeluarkannya dari sana sebelum dia--" Salim menengok ke arah pintu. Lalu dengan berbisik melanjutkan, "--kabur."
"Baik, Yang Mulia, saya mengerti," Behram menerima tugasnya.
Lekas, Behram mengambil ponsel dan mulai mencari di internet. Jemarinya dengan perlahan dan hati-hati mengetik 'mengatasi perempuan ngambek' sebagai kata kunci pencariannya. Hasil dari pencariannya segera muncul berderet-deret dalam sekejap.
Behram tersenyum tipis. Dia puas melihatnya. Setelah susah payah dirinya mempelajari bagaimana cara mengoperasikan benda bernama ponsel pintar itu, akhirnya ada hasilnya juga. Dia pun menyerahkan ponselnya ke Salim, "Silakan, Yang Mulia."
"Kau sudah ada kemajuan rupanya," puji Salim saat menerima ponsel Behram.
Behram menganggukkan kepalanya. Tentu saja dia merasa bangga pada dirinya sendiri karena berhasil mendapatkan pujian dari tuannya. "Jaringan internetnya sudah lebih cepat juga, Yang Mulia," katanya tanpa menutupi rasa senangnya.
Salim melihat semua daftar web yang menawarkan penyelesaiannya untuknya. Kemudian dia memilih salah satunya yang nampak menjanjikan penyelesaian baginya. Sambil melakukannya sambil dia memvalidasi informasi Behram barusan, "Kau benar, Behram. Internetnya sudah lebih cepat sekarang. Apa ini unlimited juga?"
"Sayangnya tidak, Yang Mulia. Yang unlimited lebih mahal. Karena kita tidak tinggal di sini jadi saya memilih paket yang lebih sesuai dengan kondisi kita. Dan yang lebih ekonomis juga pastinya," Behram memberi laporan.
"Bagus, bagus... Seandainya sinyal internet ini sampai ke istana," Salim menanggapi.
Tanpa keduanya sadari, dari balik pintu Arsia mendengarkan percakapan mereka. Gadis itu tadi mengendap-endap mendekati pintu saat didengarnya Salim berhenti menggedor pintu. Arsia ingin tahu apa yang sedang terjadi. Lebih tepatnya, apa yang sedang dilakukan oleh kedua pria aneh tersebut.
"Mereka benar-benar dari 'generasi' berbeda," Arsia bergumam sarkas tatkala mendengar pembicaraan Salim dengan Behram.
Merasa obrolan keduanya tidak menarik, Arsia pun kembali naik ke atas kasurnya. Dia bergelung lagi di balik selimutnya sembari bermain dengan ponselnya. Dirinya memang sudah tidak menangis. Tetapi rasa kesalnya pada Salim masih mengendap dalam hatinya.
Kembali pada situasi di luar pintu, Salim membaca dengan seksama artikel yang tertulis di laman yang dipilihnya.
"Biarkan dia melampiaskan amarahnya, minta maaflah di saat yang tepat, ajak dia ke tempat yang bagus..." Salim mengeja isinya. Dia lalu mengangkat wajahnya dari layar dan menatap penuh ketidaksabaran pada Behram. "Apa tidak ada yang lain? Ini memakan banyak waktu!"
"Mungkin Anda bisa menunggu besok untuk berbicara, Yang Mulia?" Behram menawarkan solusi.
"Tidak, Behram. Cari tahu cara untuk membuatnya keluar sekarang," tolak Salim.
Behram terdiam sejenak. Dia merasa bingung dengan ketergesaan yang ditunjukkan oleh tuannya itu. "Kalau begitu kita dobrak pintunya saja, Yang Mulia."
"Selain itu, Behram! Kalau kita dobrak pintunya, dia akan ketakutan. Aku tidak mau dia mencoba untuk kabur lagi," titah Salim.
Dengan wajah menunduk, Behram mengangguk. Salim mungkin tidak menyadari keanehan sikapnya namun Behram merasakan bila ada sesuatu yang terjadi pada tuannya tersebut.
'Mungkinkah...', Behram menduga.
---
Fratrisida: pembunuhan saudara lelaki.