Chereads / Harem Post / Chapter 5 - Tertipu

Chapter 5 - Tertipu

"Aku Salim dan pria yang bersamaku ini adalah Behram," Salim melanjutkan perkenalan dirinya yang sempat terputus tadi. "Behram sudah seperti ayah bagiku. Tapi kami tidak ada hubungan darah apapun. Jadi kami bukan ayah dan anak, seperti yang dikatakan Yıldıray," lanjutnya.

Arsia memandang keduanya. Dimulai dari Salim. Sejak tadi Arsia paling banyak berinteraksi dengannya. Matanya dan juga dirinya sudah mulai terbiasa dengan keberadaan pria itu.

Sekarang giliran Arsia mengamati Behram. Wajah pria tua itu datar tanpa ekspresi dan tertekuk. Tipikal manusia tidak ramah akhir jaman yang tersingkir dari kehidupan sosial.

Tentu saja itu hanya prasangka Arsia. Tapi dia tidak akan kaget kalau prasangkanya tentang Behram itu benar. Pria itu sedari tadi mengawasinya seolah akan menerkamnya. Pria itu pula yang meskipun hanya satu dua kali berbicara dengannya namun nadanya selalu membuat panas hati.

Arsia tidak habis pikir bagaimana pria berpendidikan dan setampan Salim bisa berakhir bersama Behram. Baiklah, untuk masalah pendidikan itu Arsia hanya mengira-ngira saja dari penampilan Salim yang nampak aristokrat. Misalnya perkiraannya salah pun, Salim dan Behram tetap bagaikan langit dengan aspal.

Dan Salim bilang apa tadi? Kalau Behram sudah seperti ayah baginya?

'Huh, anak macam apa yang akan dibesarkan olehnya?', dalam hati Arsia mencibir Behram.

Arsia tahu kalau seharusnya dia tidak membatin yang jelek-jelek tentang orang lain. Tapi Behram terlalu aneh untuk tak dipikirkan. Contoh keanehannya yang lain, pria itu kini duduk di atas karpet di bawah kaki Salim. Padahal Salim sudah meminta pria tua itu untuk duduk di sebelahnya saja.

Hawa posesif yang mencekam terpancar dari Behram. Pria itu duduk di bawah sana sambil menatap tajam ke arah Arsia. Semakin dilihat-lihat semakin terasa kalau Behram sedang menggeram padanya saat ini.

Ngeri, Arsia buru-buru mengalihkan pandangannya kembali ke Salim. Arsia lalu menghela nafas. Dia pasrah dengan situasinya saat ini.

"Aku Arsia. Aku baru pindah hari ini dan aku tidak tahu kalau Yıldıray bukan pemilik rumah ini," katanya memperkenalkan dirinya dengan cara yang lebih layak. Tak lupa, secara singkat juga menjelaskan situasinya.

Hening sejenak. Kedua mata Salim terarah padanya. Namun pria itu seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Kalau Behram sudah tidak perlu ditanyakan lagi bagaimana sikapnya terhadap Arsia. Mereka baru saja bertemu kurang dari satu jam lalu namun sudah seperti musuh bebuyutan saja.

"Hmm, menarik..." Salim berkomentar.

Arsia memandangnya tak mengerti. "Maksudmu dengan menarik?"

"Dari dulu Yıldıray selalu mencoba menyewakan rumah ini. Mencoba menjualnya juga pernah. Tapi tidak pernah berhasil," terang Salim.

"Kenapa memangnya?" Arsia bertanya polos.

Salim tersenyum dengan senyuman gondok. Dia tidak menyangka kalau Arsia akan senaif itu.

"Mereka mencurigai sesuatu yang janggal darinya," Salim menjawab dengan sabar.

"Lalu kenapa aku tidak menyadarinya?" Arsia berbicara dengan dirinya sendiri. Sepasang mata hitamnya menatap ke langit-langit dan bibirnya agak maju karena kesal.

Jujur saja Salim merasa terhibur melihat sikap gadis itu. Dia pun mengulum senyum karenanya.

'Itu karena kau terlalu lambat dalam berpikir', Salim membatin.

Kedua mata Arsia kemudian turun ke Salim. Tanpa menyembunyikan kecemasannya, dia bertanya, "Lalu apakah kau akan mengusirku dari sini?"

"Coba ceritakan bagaimana kau bertemu dengan Yıldıray. Baru setelahnya aku akan mempertimbangkannya," Salim berkata.

Arsia menarik nafas. Dia pun mulai menceritakan kronologisnya.

***

Satu hari yang lalu

Sudah hampir dua minggu Arsia berputar-putar mencari apartemen baru. Keluar dari satu agen properti ke agen properti lainnya. Tidak ada apartemen yang disewakan yang sesuai dengan keinginannya. Kalau tidak terlalu mahal, ya terlalu jauh dari kampusnya, atau kondisi apartemennya tidak layak huni.

Arsia terpaksa harus pindah dari apartemen yang ditempatinya kini karena dua teman serumahnya -- Nadia dan Alina -- sudah lulus dan akan segera bertolak ke Indonesia. Sedangkan biaya sewa apartemen itu terlalu mahal bila harus ditanggung olehnya sendirian. Belum ditambah tagihan lainnya seperti tagihan air, gas, listrik, dan WiFi. Oh ya, uang kebersihan juga. Karenanya secepatnya dia harus menemukan persinggahan baru yang lebih ekonomis demi menyelamatkan finansialnya.

Hari ini dia mencoba lagi. Arsia memasuki sebuah kantor agen properti kecil yang tidak sengaja dilihatnya kemarin saat sedang naik bis.

"Silakan, Nona. Bagaimana saya bisa membantu Anda?" sapa si agen segera setelah melihat kedatangan Arsia.

"Saya ingin menyewa apartemen," Arsia menjawab.

"Baik, Nona. Apartemen seperti apa yang Anda inginkan?"

Arsia terdiam sejenak. Bukannya dia tidak memiliki kriteria. Justru karena dia punya makanya dia ragu untuk mengutarakannya pada si agen. Arsia pesimis kalau dia akan menemukan apartemen yang sesuai dengannya di sini.

'Tidak ada salahnya dicoba kan, Arsia?', dirinya mengingatkan.

Meski ragu, akhirnya Arsia memberanikan diri untuk mencoba. Dia menatap dengan sungkan kepada si agen saat mengatakannya, "Tidak perlu yang besar. Untuk satu dua orang pelajar saja sudah cukup. Apartemennya bersih terawat, lengkap dengan perabotan rumah, lingkungannya aman, dan dekat dengan kampus."

"Baik, saya mengerti, Nona. Untuk kisaran harga sewanya?" si agen bertanya.

Pertanyaan itulah yang sebenarnya ditakuti oleh Arsia. Kira-kira seberapa mahal apartemen yang mampu disewa oleh seorang mahasiswa yang hanya mengandalkan uang beasiswa, sebesar itulah anggaran Arsia.

"Emm, itu... sekitar 700TL," jawabnya pelan.  

Tercipta keheningan yang aneh setelahnya. Arsia pun sungkan untuk berbicara kembali. Jangankan untuk mengatakan sesuatu, untuk melihat si agen pun rasanya sungguh malu sekali.

"Baik, Nona. Saya tahu dimana apartemen yang tepat untuk Anda," si agen akhirnya bersuara.

Mendengarnya Arsia jadi sumringah. Matanya berbinar bak orang yang baru saja menemukan harapan hidup.

"Benarkah? Lokasinya dimana?" tanyanya antusias.

"Di alam mimpi, Nona," jawab si agen dengan suara datar.

Wajah Arsia pun berubah masam mendengarnya. Ingin sekali dia berkata kasar pada agen tersebut. Namun apa daya, dia hanya dapat mengumpat dalam hati karena takut kalau nanti dipolisikan.

'Dasar agen sialan!'

Dalam kondisi seperti itulah Arsia keluar dari tempat tersebut. Rencananya hari ini untuk menyambangi beberapa agen properti terpaksa dia batalkan. Padahal dia sudah menulis daftar agen-agennya.  Tapi karena kejadian ini, suasana hatinya jadi rusak.

"Nona!" sebuah suara memanggilnya.

Arsia berbalik. Dia mendapati seorang lelaki muda tak dikenal lah yang berada di sana.

"Kau memanggilku?" Arsia bertanya dengan mengarahkan telunjuk ke dirinya sendiri.

Lelaki itu mengangguk. "Aku Yıldıray," katanya memperkenalkan diri. "Aku tadi tidak sengaja dengar kalau kau ingin menyewa apartemen."

Segera Arsia memandang sinis pada Yıldıray. "Maaf, tapi aku sedang tidak ingin berurusan dengan agen manapun," balasnya ketus.

Tanpa menunggu respon Yıldıray, Arsia melanjutkan langkahnya meninggalkan tempat itu.

"Tapi aku bukan agen," Yıldıray mengejarnya.

Mendengarnya, Arsia menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke arah lelaki itu. Dia menatap Yıldıray dengan sorot meminta penjelasan lebih lanjut.

"Aku pemilik rumah. Aku ingin menyewakan rumahku. Rumah. Bukan apartemen. Mungkin kau berminat," terang Yıldıray.

'Rumah?', ulang Arsia.

Segera Arsia menggelengkan kepalanya. Apartemen saja dia tidak mampu menyewanya, apalagi rumah. Di sini Turki. Di kota hanya keluarga sultan yang bisa punya rumah maupun menyewa rumah. Sedangkan dirinya pembantu sultan saja bukan.

"Terima kasih. Tapi aku mencari apartemen," dengan sedih Arsia terpaksa harus menolaknya.

"Kau tidak perlu khawatir tentang biaya sewanya," Yıldıray menahannya. Pria itu menggunakan titik lemah Arsia. Dengan begitu Arsia akan tertarik tentu saja. Arsia bahkan sudah mulai memikirkan rasanya tinggal di rumah yang berada di kota Istanbul.

"Maksudnya?" dia ingin detailnya.

"Aku hanya butuh orang untuk tinggal di sana karena aku harus pindah ke luar kota. Daripada rumahku tidak terurus. Bagaimana?" Yıldıray menjelaskan.

"Kau serius?" Arsia memastikan.

"Tentu saja. Aku tidak masalah dengan berapa sewa yang akan kau bayar atau kapan kau akan membayarnya karena seperti yang kukatakan tadi, bukan itu tujuanku menyewakan rumah," Yıldıray mencoba meyakinkannya.

Arsia terdiam sejenak. Dia mempertimbangkan tawaran Yıldıray yang sebenarnya sangat menggiurkan itu.

"Boleh aku lihat dulu rumahnya?" suara Arsia kemudian.

"Tentu saja!"

Dan di sanalah mereka sekarang. Di depan rumah yang akan disewakan oleh Yıldıray setelah berjalan kaki sekitar 15 menit.

Dari luar Arsia memandang rumah itu. Bukan rumah besar seperti villa-villa. Tapi hitungannya besar bila hanya dirinya yang akan menempatinya.

Rumahnya hanya satu lantai dengan eksteriornya yang nampak seperti rumah kayu. Kondisinya terawat dan sangat layak huni. Soal furniturnya Arsia pun tidak perlu khawatir karena Yıldıray akan menyewakannya secara keseluruhan. Yang lebih penting dari semua itu, Yıldıray tidak masalah menyewakannya seharga 700TL. Sempurna sekali bukan? Tidak ada alasan bagi Arsia untuk menolak rumah tersebut.

'Jarang-jarang rakyat jelata tinggal di rumah sultan', pikirnya bahagia.

"Tapi besok kau sudah harus pindah. Ok?" Yıldıray memberikan syarat.

"Besok? Tidakkah itu terlalu terburu-buru? Aku harus mengemas barangku dan sebagainya," jelas Arsia yang merasa keberatan.

"Aku harus pergi besok. Kau bisa bawa barang-barang yang paling kau butuhkan dulu. Baru setelahnya kau bisa ambil barang yang lainnya," Yıldıray bersikeras.

"Kalau besok lusa bagaimana?" Arsia menawar.

Yıldıray menggeleng. "Kalau kau tidak bisa menyanggupinya, aku tidak jadi menyewakan rumah ini. Jadi datanglah besok."