Chereads / My AL / Chapter 13 - Paksaan

Chapter 13 - Paksaan

Aleera mendapatkan telpon dari papanya setelah ia malah asik tersenyum karena laki-laki itu sudah pergi dari sini. Aleera bukannya tidak mau bertemu dengan orang baik yang juga berniat untuk membantunya itu, tapi Aleera hanya tidak mau terlalu bergantung dengan orang lain. Apalagi ia masih sedikit sedih dan agak kecewa dengan kepergiannya Ryu.

Kepergian Ryu termasuk dalam luka terdalam yang ada di hati Aleera. Aleera tidak akan memunafikkan hal itu. Tapi, Aleera juga merasa sangat egois karena mungkin saja ia masih tidak terima kepergian Ryu yang sudah berjanji untuk menjaga dan membebaskannya itu.

Okay, Anggap saja laki-laki ini adalah pengganti Ryu, tapi Aleera tidak mau terlalu berharap. Akan sangat sakit jika ia malah merasakan sebuah keputusasaan lagi untuk kedua kalinya.

Lagian, Aleera masih yakin kalau laki-laki itu adalah orang jahat.

"Nona, bukankah tuan Allesio sudah sangat baik ingin bertemu dan membantu anda? Lalu, kenapa anda tidak mau bertemu dengannya?" Pertanyaan dari Lysa yang merupakan asistennya malah berhasil membuat Aleera merasa sedikit bersalah. Lysa tahu semuanya dan Lysa mungkin memiliki pemikiran yang sama dengan kedua orang tuanya.

Tidak! Ia tidak mau terjerat lagi dengan harapan-harapan itu. Ia hanya perlu mengatakan kepada papa kalau dia menolak untuk menjadi pewaris perusahaan dan membiarkan papa memberikan hak seluruh perusahaan kepada Tante Irene atau siapapun itu.

Aleera tidak perduli lagi.

"Nona, handphone anda berbunyi sejak tadi," beritahu Lysa yang sedang membuat finishing sebuah gaun yang telah dipesan oleh seseorang.

Aleera tersadar dari lamunannya dan terpaksa harus mengangkat telpon itu.

"Papa sudah menghubungimu sejak tadi!" seru papa pelan kepada Aleera. Aleera menghela napasnya panjang.

Kenapa menelpon papanya bisa semelelahkan ini?

"Maaf, Pa. Aku memiliki banyak pekerjaan yang tidak bisa kutinggal. Aku juga—"

"Aleera, papa ingin bicara denganmu. Apa kau bisa pulang ke rumah malam ini?" tanya papa kepada Aleera dengan nada suara yang sangat lesuh dan terdengar pasrah. Aleera diam saja, tak menjawab, rencananya hari ini dia akan lembur karena mau mengerjakan baju pesanan untuk pernikahan seseorang.

Aleera sudah lama tinggal sendiri. Bisa dibilang, ia sudah independen, apalagi sejak Ryu sudah mau memberikannya kebebasan itu.

Papa dan mama sering keluar negeri saat Ryu dan Aleera masih dekat. Jadi, bisa dibilang dari saat itulah Aleera sudah berusaha menjadi pribadi yang mandiri.

Aleera pikir, saat Ryu pergi, papa akan menarik kebebasannya. Tapi, Aleera salah. Papa masih memberikannya kebebasan dan Aleera menyukainya. Ia memanfaatkan hal itu, Aleera pergi kuliah dengan jurusan yang ia sukai, ia tinggal sendiri dan memulai semuanya dari nol. Walaupun, sebenarnya papa juga banyak membantunya. Nol itu, tidak seratus persen usahanya sendiri.

"Pa, Aleera harus lembur dan—"

"Kalau seperti itu, biasakah kau bertemu dengan Allesio? Papa sudah melihat usahanya yang selalu menunggumu di depan butik. Papa sudah bilang kepadamu sejak awal, bukan dia yang berharap atau mungkin menginginkanmu, tapi papa yang meminta tolong kepadanya agar mau membantu kita," Kata-kata papa benar-benar seperti palu yang menohok di hati Aleera.

Papa seakan-akan mengatakan kalau dirinya ini tidak tahu diri dan tidak tahu diuntung.

"Pa, kalau bukan Ryu, mungkin Aleera tidak bisa!" Mendengar kata-kata Aleera membuat papa terdiam. Sebenarnya, membahas hal ini ditelpon akan menyebabkan kesalahpahaman yang mungkin akan membuat jarak di antara dirinya dan papa semakin melebar. Tapi, Aleera harus tegas. Ia tidak mau dengan laki-laki itu. Ia tidak mau ada harapan lagi.

"Kalau begitu, tinggalkan butikmu dan datanglah ke sini. Kau harus menjadi penerusku seperti yang seharusnya kau lakukan!"

DEG

Aleera terdiam. Dadanya terasa sesak seketika. Napasnya memendek. Iya, ia sadar. Semua ini, apa yang ia lakukan ini bisa terjadi karena Allesio yang ingin melanjutkan semua tanggung jawab Ryu, termasuk semua janji Ryu kepadanya.

Aah, namanya Allesio, kan?

Tangan Aleera bergetar hebat. Menyadari kalau dirinya mulai tidak baik-baik saja, Aleera pun memutuskan untuk pergi dari sana menuju ke rooftop butik. Matahari tidak terlalu panas dan ia bisa melampiaskan perasaannya di sini tanpa dilihat siapapun. Aleera juga sadar kalau sedari tadi Lysa melihat ke arahnya. Wanita berkacamata itu benar-benar mengkhawatirkannya.

Lysa mengetahui semua cerita mengenai dirinya. Lagian, seseorang yang mau berteman dengannya hanya Lysa saja. Tidak ada seorangpun yang mau berteman dengan Aleera.

"Pa, aku tidak bisa. Aku menyukai semua yang aku lakukan ini, aku—"

Papa memotong ucapan Aleera lagi dan lagi.

"Kau hanya bisa mengambil satu dari keduanya, Aleera. Tidak semua hal harus mengikuti apa yang kau inginkan," Papa sepertinya sudah mulai emosi. Nada suara papa makin tajam terdengar di telinganya.

"Dan tidak semua hal harus mengikuti apa yang papa mau! Aku sudah besar dan aku bisa menghidupi diriku sendiri! Aku bisa melakukan apapun yang aku mau dan aku sama sekali tidak mau menuruti semua yang papa katakan!" Aleera berteriak kencang sekali. Hal ini berhasil membuat suasana menjadi tidak enak.

Aneh. Setelah berteriak, Aleera malah merasa bersalah kepada papanya. Padahal, ia sama sekali tidak merasa menyinggung siapapun. Ia hanya mengutarakan apa yang ia rasakan.

Sejak awal, cara papa untuk membuat Aleera tunduk itu sudah salah. Tidak ada kasih sayang saat papa meminta Aleera untuk tunduk dan patuh kepada papanya itu. Aleera pun tidak bisa memahami papanya dengan baik.

"Kau tidak mau?" tanya papanya yang sepertinya sudah seperti orang yang menyerah. Aleera langsung berbahagia di dalam hatinya.

"Iya, aku tidak mau!"

"Baiklah, kalau begitu, biar papa hancurlah butik itu. Pun, kau akan datang sendiri ke papa kalau kau sudah tidak memiliki apapun,"

PIP

Sambungan telponnya mati.

Aleera masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. Dengan mudahnya papa mengatakan ingin menghancurkan semua impiannya dan membuatnya kembali dengan paksa. Bagaimana mungkin Aleera ingin menyerahkan dirinya kalau kejadiannya akan jadi seperti ini. Papa malah memaksanya untuk kembali dengan cara yang tidak baik seperti ini.

Aleera yang keras malah makin keras kepala karena paksaan papanya yang dari dulu terlampau keras, hingga sekarang.

Aleera menangis. Kapan terakhir dia menangis? Apa saat papa tidak mengizinkannya untuk jalan-jalan bersama teman sekolahnya karena ia masih harus mengikuti les matematika? Apa saat papa tidak mengizinkannya untuk memakan permen karena ia harus menjaga suaranya sesaat sebelum ia harus memberikan sepatah dua patah kata sebagai anak tunggal dari papanya?

"Nona," Lysa langsung memeluk Aleera, serentak dengan Aleera yang terduduk di lantai dengan air matanya yang tidak pernah berhenti mengalir.

Papa mengerti? Tidak! Papa tidak pernah mengerti.

Lalu, bagaimana sekarang? Apa yang harus ia lakukan?

***

Bersambung