Wanita itu duduk di kursi taman rumah sakit, menatap pancuran air mancur. Sesekali ia menyelipkan helaian rambutnya yang beterbangan tertiup angin, pada daun telinganya. Pandangan matanya kosong ke depan. Dia sudah seperti mayat hidup, dengan raga tanpa jiwa.
"Sudah ke dua kalinya aku berada di posisi seperti ini. Bedanya, Radit meninggalkanku dengan terbaring koma, sedangkan aku meninggalkan dia karena aku benci penghianat." kini kenangan itu merambat masuk ke dalam memorinya, berkeliaran didalam sana bak kepingan puzzle rusak yang seharusnya dilupakan. Tapi mengapa datang menghantui seperti ini.
TAP
TAP
Suara langkah kaki masuk ke dalam pendengarannya. Dengan segera ia merubah ekspresi wajahnya, kembali datar karena ia sudah tahu siapa yang datang menemuinya. Dari bau parfum dan langkah kakinya semakin mendekat ke arah, tempat Gelora duduk.
"Gelora," panggil orang itu yang tak lain adalah Mayra, yang merupakan ibu mertuanya. Saat sudah sampai didekat Gelora, ia langsung ikut duduk di sampingnya menatap hamparan air mancur. Sama yang dilakukan oleh Gelora.
"Apa Radit bisa sembuh yah? Jujur, saya pesimis dengan keadaannya. Mengapa Tuhan selalu memberikan ujian yang berat untuk anak saya." Wanita itu mulai membuka pembicaraan lebih dulu, yang mampu menggetarkan hati Gelora. Pembahasan sensitif baginya, jika itu menyangkut kesehatan suaminya.
"Kamu mau yah, Nak. Untuk menjauh dari anak saya sementara waktu, sampai keadaannya benar-benar membaik. Jika ia tidak bisa hidup tanpa kamu, maka saya akan membawanya langsung kepadamu, saat kondisinya seperti sediakala lagi," ucapnya panjang lebar menggenggam tangan Gelora. Dia remas tangan itu pelan, berharap Gelora bisa mengabulkan keinginannya.
"Tapi bagaimana dengan saya, Ibu?" Gelora melepaskan tangannya yang diremas Mayra. Ia mengindahkan pandangannya ke arah lain, sungkan untuk menatap mata mertuanya.
"Saya tidak bisa hidup tanpa dia," lanjutnya sembari mengigit bibir bawahnya. Ia bingung sekaligus cemas, mengapa ia bisa terjebak di situasi seperti ini.
"Makanya, kamu coba hidup tanpa dia," timpal Mayra mengubah raut wajahnya, yang semula melembut kini menahan geram terhadap Gelora.
"Jujur Gelora, saya tidak menyukaimu sama sekali. Saya hanya seolah-olah menerima kehadiranmu di keluarga kami, karena anak saya yang memaksa," cibirnya tanpa memedulikan perasaan Gelora.
"Itu artinya Radit tidak bisa hidup tanpa saya," protes Gelora. Mertuanya ini sungguh keras kepala dan berusaha mengelak, bahwa anaknya tidak membutuhkan Gelora.
Mayra mengembuskan napas gusar, menatap ke arah lain saat Gelora menatap ke arahnya.
"Kalau begitu, biarkan Radit berobat ke Singapura bersama saya. Jika ia telah sembuh, barulah kami akan kembali menemuimu. Kamu tidak perlu ikut, cukup disini saja, saya berjanji akan selalu mengabari kamu tentang kondisi Radit. Bagaimana?" Mayra kembali memberikan pilihan yang sulit untuk Gelora.
Sudah ia katakan bahwa Gelora tidak bisa hidup tanpa suaminya, tapi Mayra sepertinya tak kehabisan akal untuk mencoba memisahkan mereka.
"Jika kamu menolak lagi. Maka, saya akan benar-benar memisahkanmu dengan anak saya, masih bagus, saya mengizinkan kamu untuk tetap menjadi istrinya," ujar Mayra lagi saat melihat gerak-gerik Gelora yang ingin menolak.
"Sepertinya ini adalah keputusan yang tepat. Meski kami hanya berpisah untuk beberapa waktu ke depan, tapi aku yakin Mas Radit akan tetap kembali kepadaku, meski Ibu ingin memisahkanku dengannya," pikirnya yang berkutat dengan hatinya, kadang tak sejalan dengan apa yang ia pikirkan. Dia ingin menolak permintaan Mayra, tapi itu mustahil jika ia tak menyetujuinya, ini semua untuk kesembuhan suaminya. Biarlah ia tak bisa merawatnya untuk sementara waktu, yang penting Mayra telah berjanji tidak akan memisahkan mereka, bukan?
"Bagaimana Gelora, yah atau tidak?" tanya Mayra mendesak membuyarkan lamunannya.
Gelora melirik Mayra sejenak sebelum menganggukkan kepalanya. Tidak tahu sajakah ia, bahwa mertuanya itu menyeringai licik.
"Tidak akan saya biarkan, anak saya terjebak dalam pesonamu, untuk ke dua kalinya," batinnya menatap menantunya penuh maksud. Tangannya terangkat mengelus rambut Gelora.
"Tenang saja Nak, anak saya tetap akan jadi milik kamu selamanya, biarkan dia sembuh dulu," ucapnya membuat Gelora tersenyum tulus padanya.
"Terima kasih Ibu," gumam Gelora berbinar pelan. Akhirnya Mayra mau berbaik hati padanya, untuk tetap memberikan Radit suaminya, meski ia membutuhkan waktu yang mungkin cukup lama untuk bersatu kembali.
"Tapi, Nak." Mayra menatap Gelora gelisah bercampur ragu, netranya bergulir tidak tenang di tempatnya.
"Tapi apa Ibu?" tanya Gelora menyipitkan matanya, saat Mayra meremas tangannya sendiri antara gugup dan terlihat takut.
"Saya membutuhkan banyak uang untuk biaya tambahan pengobatan Pradit," ungkapnya dengan satu kali tarika napas.
Mendengar hal itu Gelora kembali tersenyum dan menghela napas lega. Ia kira mertuanya itu akan berubah pikiran, terhadap perjanjian mereka tadi.
"Tenang saja Ibu, aku masih punya sedikit tabungan," ucap Gelora tidak yakin. Ia masih ragu untuk memberitahu Mayra, apakah tabungannya akan cukup untuk pengobatan Radit. Mengingat ia hidup berkecukupan, memang Raditnya tidak sekaya suami pertamanya. Tapi Radit mampu memenuhi segala kebutuhannya.
"Saya membutuhkan uang lima ratus juta Gelora, untuk tambahannya," pinta Mayra terlihat cemas ditempatnya. Dia hanya takut anaknya tidak akan mendapatkan perawatan maksimal, jika uangnya tidak mencukupi.
"Baiklah Ibu, akan aku usahakan itu," jawab Gelora mencoba untuk tetap tersenyum. Meski di dalam hatinya merigis pelan saat mendengar permintaan Mayra. Mana mungkin ia memiliki uang sebanyak itu, palingan tabungan hanya tersisa dua ratus juta saja. Tapi tak apalah, ia akan berusaha mendapatkan banyak uang untuk membiayai pengobatan suaminya.
"Terima kasih banyak Nak. Saya pikir kamu, tidak akan sepeduli ini dengan anak saya. Nyatanya, kamu memang benar mencintai dia. Semoga Radit cepat sembuh dan kembali bersama kita lagi." Mayra tersenyum mendengar jawaban memuaskan dari Gelora. Dia menarik bahu wanita muda itu ke dalam rengkuhannya.
"Aamiin, semoga suamiku dapat sembuh yah Ibu." Gadis itu bergumam lirih, lalu ikut mengelus punggung mertuanya.
"Kita berdoa saja Sayang," jawab Mayra mendengarkan gumam menantunya.
"Kalau begitu, saya mau pulang dulu, ingin mempersiapkan segala perlengkapan ke Singapura," ujar Mayra melerai pelukan mereka.
Senyuman lebar itu kini kembali meredup mendengar ucapan Mayra.
"No Gelora, kamu jangan memprotes lagi," timpal Mayra cepat saat Gelora ingin memprotes menatapnya sedih.
"Jangan menangis, saya tahu kamu wanita yang kuat, lebih baik kamu persiapkan uangnya juga," tambahnya.
Sejujurnya Gelora sangat kecewa mendengar ucapan terakhir mertuanya. Dia jadi merasa, bahwa ia hanya dibutuhkan karena uang. Tapi itu tidaklah seberapa dengan kesembuhan suaminya.
"Saya ingin bertemu dengan Radit dulu, Bu," imbuhnya pelan yang diangguki oleh Mayra.
"Ke sanalah Nak, jangan lupa ucapkan selam–" Mayra langsung terdiam tak jadi melanjutkan ucapannya. Hampir saja ia keceplosan, menyuruh Gelora mengucapkan selamat tinggal untuk suaminya sendiri.
"Maksud Ibu, jangan lupa berikan dia support Nak, kata dokter meski Radit koma tapi ia tetap bisa mendengarkan perkataan kita," ucapnya segera saat Gelora menukikkan alisnya. Seakan curiga dengannya.
"Hm baiklah," kata wanita itu beranjak dari posisinya. Begitupun dengan Mayra, mereka berjalan saling bertolak belakang dengan tujuan masing-masing.
"Sebenarnya saya kasihan denganmu, tapi, nyawa anak saya lebih penting Gelora." Mayra membalikkan tubuhnya menatap punggung Gelora, yang mulai menghilang lewat lorong koridor rumah sakit. Wanita paruh baya itu mengusap pelan air matanya. Jujur, ia tidak membenci Gelora tapi ia benci dengan takdir yang mempermainkan anaknya.
To Be Continue.