"Untuk apa dia masih tertidur di sana!?"
Suara bariton Ryan yang kini menatap jijik tubuh Thelma tampak tertidur nyenyak di atas sofa miliknya.
Anna dengan keberaniannya mencoba berkata, ''Nona Thelma, dia bukan kah harus banyak istirahat, tuan?''
''Tapi tidak di sofaku juga!'' menegaskan seluruh kalimatnya.
Anna hanya bisa tertunduk ketakutan. Sunguh, nada tinggi tuan Ryan selalu berhasil membuat Anna mampu diam seribu bahasa.
''Tapi tuan, kemana dia akan tinggal?''
''Rumahnya 'kan ada. Cepat, bawa dia keluar dari rumah ini! Sudah terlalu enak dia hidup! Datang, minta uang senilai 1M! Walau memang belum kuberi, sama saja, memakan makanan yang seharusnya aku makan seharga langit pun mampu tercapai!''
Tampaknya tuan Ryan benar benar marah kali ini. Biasanya kalau sekedar mengerjai Anna, kata-katanya akan jauh lebih lembut walau memang intonasinya selalu tinggi.
Sekarang, bagaikan akan memakan Thelma, Ryan mengucapkan isi kepalanya.
Anna tahu Ryan kecewa pada wanita itu. Ryan mencintai Thelma, namun Thelma malah berhinat. Siapa laki-laki yang mau menerima semua itu? Selain satu persen dari banyaknya laki-laki di bumi ini, tidak ada.
''Cepat Anna! Jangan bengong saja kamu!''
Anna bergegas membangunkan Thelma, walau rasa ragu dan tak tega. Tapi apa daya, ini rumah Ryan. Peduli tidak peduli, kecewa tidak kecewa, tidak ada bandingannya jika pemilik rumah katakan. ''Jangan dia kulihat berada di sini!'' ucap Ryan sinis.
Meski rasanya berat untuk mengusir Thelma seperti ucapan Ryan, tapi dia harus lakukan. "Nona Thelma," seru Anna sambil menepuk pipi wanita itu perlahan. Sesegera mungkin nona Thelma beranjak bangun dari tidurnya.
''Eh, iya kenapa ya, nona Anna?'' suara serak dan wajah bantal yang baru saja nyenyak tidur membuat Anna hanya bisa tersenyum gentir. Ia tidak berani berucap. Hingga deheman Ryan membuat Anna harus melakukan kehinginan lelaki ini.
''Nona, jikalau merasa tersinggung tidak apa. Saya maklumi. Tetapi, tuan Ryan katakan, nona harus pergi dari sini.''
Termenung sementara. Tampaknya nona Thelma juga tak rela. Tetapi ketika nona Thelma menangkap wajah datar, dingin, marah Ryan begitu membuat nyalinya ciut untuk berkata-kata selain. ''Baiklah, nona Anna. Terima kasih atas perhatiannya,'' entahlah. Apa yang dimaksudkan wanita itu. Anna tersenyum sembari berkata, "Sama sama nona Thelma.''
Membantu nona Thelma berdiri, tubuh beratnya seperti tidak seimbang. Thelma memijit kening sekilas.
Wajah pucat menandakan Thelma benar-benar sakit dan tidak berpura-pura.
''Setelah ini, jangan pernah bawa diri kemari!''
'Baru kali ini tuan Ryan bersikap seperti laki-laki menjengkelkan,' Anna membantin. Ia tetap mempapah Thelma hingga ke luar ruangan.
''Maaf merepotkanmu,'' ungkap singkat Thelma sembari tersenyum disela air mata yang membasahi pipinya.
''Nona Thelma yakin, akan pulang sendirian?''
''Sudah biasa. Lagi pula saya perlu mengecek beberapa hal. Terima kasih untuk perhatiannya.''
''Iya. Tidak apa. Ini nona, obatnya. Diminum seperti yang kita bicarakan tadi.''
Setelah pembicaraan singkat itu, Anna bergegas masuk ruangan, ''Bicara apa tadi?'' tanya nada sombong Ryan.
Anna mengelus dada. Lantaran sempat terkejud, ternyata Ryan mengikuti Anna dan Thelma hingga ke depan teras.
Hanya saja Ryan berdiri menyembunyikan diri di balik salah satu daun pintu, menampakkan diri setelah mendengar langkah kaki Anna mendekat.
''Tut-tuan… Saya hanya bicara mengenai obat milik nona Thelma. Itu saja.''
Ryan mengangguk, ''Kemari.''
Sempat terkejud. Tangan Anna tiba-tiba ditarik oleh tangan besar milik Ryan. Hampir berteriak, tetap ditahannya.
"Siapkan aku makanan baru!''
Kini keduanya sudah berada di dapur. Berdiri menatap meja penuh makanan enak buatan Anna..
'Tuan.. Makanan ini, bukan kah masih layak di makan?'"
Anna sendiri merasa begitu khawatir. Bagaimana masakannya sendiri harus diganti dengan yang baru? Terasa aneh! Sementara belum basi karena ia memasak tiga menu enak itu sekitar 2 jam yang lalu.
''Tidak ada tapi-tapian! Itu hukumanmu karena membiarkan wanita licik, arogan dan sombong itu masuk bahkan melayani dia!''
''Tapi tuan.…''
''Saya tau maksudmu. Wanita itu memang sakit! Saya masih maklumi kalau makan dan istirahat sebelum dokter Wilman tadi datang! Tapi untuk istirahat di sofa saya dalam jangka waktu terbilang lama? Bukankah sama saja dia menginap!?''
Anna menggit gigi dan mengepal jemari, menganggkat kepala begitu memperlihatkan kening, raut wajah penuh emosi langsung terlihat.
''Lalu tuan, bagaimana dengan saya!? Saya sering istirahat di sini. Makan dan minum, bahkan sering ketika tuan tidak ada saya bersenang senang di rumah ini! Melompat, berteriak, bahkan lebih hebatnya saya beberapa kali makan porsi banyak juga merutuki tuan atas segala keinginan konyol tuan! Lalu bagaimana dengan nona Thelma? Dia sedang sakit! Hanya sekali saja ia istirahat di sofa anda yang indah ini, tak sampai setengah jam, tuan! Dan hal yang lebih mengerikan dari tuan yang paling tidak saya sukai, tuan tidak punya pikiran, bagaimana bayinya ikut bersama ibunya, sedang ibunya lelah, dan perlu istirahat! Sudah pakaian ibunya juga begitu minim! Apa tuan mau kalau dia dilirik dan diperkosa orang dan dicampakkan ke sungai, ngarai atau danau yang ada di sekitar sini!? Bukan kah tetap menjadi kemalangan tersendiri bagi tuan?" Lepas berkata seperti itu. Dalam hati Anna sungguh memuji diri, 'Wah, bagaimana kamu bisa mengatakan hal itu, Anna? Sungguh mustahil…'
''Sudah siap meneriaki saya?'' Masih bisa datar nada suaranya? Anna tidak percaya.
Tap. Tap. Tap.
Langkah pria itu sedikit menjauh dari Anna. Membelakangi tubuh Anna dengan menggengam di belakang.
Menghela napas, "Huh! Yang pertama, wanita itu bukan siapa-siapa bagi saya lagi."
''Saya juga bukan siapa-siapa bagi anda! Kenapa saya tidak pernah diusir untuk hal yang lebih besar daripada kemalangan nona Thelma?'' saut Anna tak mau kalah.
''Kamu pembantu saya! Ah, Anna. Masalah kecil itu saja susah sekali…''
"Bukan susah tuan! Tuan yang buat semuanya jadi repot. Gimana sih tuan ini. Apa hanya orang-orang kepentingan tuan saja diperbolehkan istirahat di sana? Hanya setengah jam lho tuan. Setengah jam! Tidak lebih! Lihat, wajahnya tadi itu, pucat sekali! Anda tidak kasihan?"
"Kesetiaan Anna! Kesetiaaan!" tekan Ryan sampai suaranya serak.
"Kesetiaan apa yang tuan maksud! Bukan kah tuan juga tidak setia? Kekasih yang datang kemari tuan itu sudah banyak! Tiga bulan saya kerja di sini dan dalam tiga bulan itu juga sudah sekitar 13 wanita datang mencari anda."
"Ah! Penggemar saya banyak. Mereka saja yang mengaku. Sedangkan Thelma, dia hamil sebelum menkikah. Apa bukan merupakan sebuah penghinatan bagi saya?"
"Tidak, tuan juga pernah kok melakukannnya. wanita ke sembilan yang datang ke rumah, tepatnya sebulan lalu. Ia datang membawa seorang bayi. Dan apa tuan tau, dia sangat mirip dengan anda."
"Itu…" ungkapan terhenti. Ryan seperti kehilangan bicara kali ini.
"Kan tetap saja," Anna merasa senang. Akhirnya dia menang dan tuannya kalah.
Namun Ryan berbalik dan berjalan mendekati Anna, mencengkram dagunya, berhasil membuat Anna yang bahagia kini merintih kesakitan, "Awh!"
Ryan menatap mata Anna bulat-bulat. Seakan tidak membiarkan Anna untuk melepas pakuan pandangan terhadap Ryan.
''Sudah berani ya, kamu melawan saya? Sekarang, katakan, apa mau kamu, kekasihku!''
Anna membisu. Pikirannya tertuju dari bagaimana caranya berucap tadi.
'Aduh Anna. Kenapa kamu bisa sebodoh ini sih!' ia merutuki kesalahannya'.
Mengingat bagaimana ia berkata nada tinggi hingga tuan yang tak pernah mendengarkan ucapannya terdiam membisu, seakan terpaksa mendengarkan setiap ucapan pelayannya sendiri.
Tapi ia kemudian teringat sesuatu…
Kekasihku.
Hey, bukan kah itu yang dikatakannya?
Anna rasa kini mempunyai jawaban atas ungkapan yang akan dikatakannya sebentar lagi.