Dua hari setelahnya.
Pagi itu sedang mendung. Anna berjalan menyusuri lorong rumah Ryan. Kedua tangan memegang mampan berisi sup beruap panas.
Di depan terdapat sebuah pintu. Pintu terbuka seperempatnya. Ia melirik celah pintu.
''Masih sama, huh… Tuan Ryan."
Ia menggeleng sedikit kasihan dengan lelaki itu. Lantaran dua hari ini Ryan selalu di sana, duduk di sudut ruangan dengan kesedihan sungguh mendalam.
Satu emosi 'kesedihan' yang tidak pernah Anna lihat sebelumnya—walau tiga bulan lebih ia tinggal di sini.
Glek.
Meneguk saliva. Anna memberanikan diri memasuki kamar. Bayangan mengenai kejadian lima hari yang lalu ketika masa itu Ryan menyuruh Anna melakukan 'ciuman' padanya. Sungguh membekas dalam ingatan Anna.
Tok, tok, tok.
Terlebih dahulu gadis itu mengetuk. Akan tetapi tidak ada jawaban.
Membuka pintu lebih lebar, perlahan seji ia berjalan dekati Ryan, meletakkan mampan panas di atas meja guna meminimize kejadian yang tak diinginkan.
Berjongkok menatap dengan kasihan Ryan, ''Tuan… Saya tahu tuan tengah bersedih sekarang. Tetapi jangan kesedihan tuan menurun drastiskan kesehatan anda,'' ia menasehati lelaki itu.
Suara lirih masih terdengar dari Ryan pria yang tengah meringkuk memeluk lutut itu.
''Tuan… Apa tuan tahu. Tuan sudah seperti anak kecil lho. Dua hari ini tuan tidak mandi. Bau tuan. Bau! Apa tuan tidak malu jika ada orang lain melihat tuan seperti ini?'' ia mencoba menyadarkan Ryan atas tingkah konyolnya ini.
Sementara hanya kebohongan semata jika tubuh Ryan bau. Parfum dan deterjen yang dipakai lelaki itu pada pakaiannya adalah merek ternama.
Adem dan nyaman. Tak menyengat bau ketiak seperti parfum dan deterjen kebanyakan. Justru ketika semakin lama dipakai semakin harum adanya.
''Hangatkan tubuhku.''
Ungkapan singkat disertai pelukan mendarat tanpa aba-aba mendekap tubuh Anna.
Deg!
Sontak kedua bola mata Anna membulat. Tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Tanpa menolak langsung didekap.
Hembusan napas hangat dan halus melewati lehernya. Menerbangkan kecil sulur-sulur rambit cokelat tebal sisa dari rambut ia ikat.
Cukup lama keduanya seperti ini. Perlahan sekali Anna mencoba melepas pelukan itu.
''M-maaf tuan. Tidak sepantasnya…'' ia merasa canggung menyebabkan suara kembali gemetar.
"Kamu… Sudah 'kah melupakannya?" ia berkata lirih wajah pucat laki-laki itu menatap wajah penuh tanya Anna.
"Tapi tidak sepantasnya tuan."
Berat hati mengatakannya.. Sejujurnya Anna hanya terkejud. Hinga tanpa ia sadari berkata seperti itu. Kata yang terasa menyakitkan hati Ryan.
***
Kejadian mengenai Thelma di rumah sakit, sungguh mempengaruhi Ryan hingga saat ini. Lepas Ryan memasuki kamar istirahat Thelma, begitu tahu Ryan pertama dilihatnya, wanita itu langsung berteriak begitu histerisnya.
"Pergi kamu, lelaki bajingan!!"
Saat itu, Anna segera memperlihatkan diri, membelakangi Ryan guna menenangkan wanita itu, "Nona, nona… Jangan emosi begini, tolong. Kasihan tenaga nona."
"Tidak nona Anna! Pria tak punya hati nurani itu barus pergi dari sini! Usir dia, nona Anna. Usir dia!"
Anna dengan perasaan berat hatinya kini membelakangi Thelma, berhadapan pada Ryan, "Tuan, ini demi kebaikan nona Thelma."
Berpikir untuk beberapa detik, Ryan akhirnya menyetujuinya, "Lakukan sesui keinginanku tadi!" peringat lelaki itu.
Ryan bergegas pergi dari tempat itu. Anna tahu, ada rasa bersalah sungguh besar dirasakan Ryan.
Terlihat dari wajah tertunduk Ryan yang menyembunyikan sejuta penyesalan mendalam sejak Anna memberitahu kejadian yang sebenarnya.
Anna kini berdiri berhadapan dengan Thelma, "Nona, nona.… Nona tenang dulu ya. Tuan Ryan sudah pergi. Anda tidak perlu histeris seperti tadi. Semua sudah stabil.. Anda tak perlu merasa terancam seperti tadi."
"Nona Anna..… Semuanya sungguh jahat padaku!" ia mengadu. Sepertinya Anna sudah menjadi temannya. Teman paling baik, atau mungkin Thelma sudah percaya padanya? Tapi masa iya secepat itu?
"Sudah ya nona Thelma, sudah. Jangan menangis. Aku ada di sini," Anna merangkul tubuh Thelma dari samping. Membasuh bening air mata yang membasahi pipi Thelma dengan jari telunjukknya.
"Nona Anna sungguh baik," ia terisak. "Beruntung tuan Ryan mendapatkan anda menjadi kekasihnya," tidak sepertiku. Lanjut perempuan itu dalam hati.
Berhenti sejenak. Tidak mengatakan apapun… Anna berpikir.
"Non, nona Thelma… Tidak nona. Saya bukan kekasih tuan Ryan. Bukan! Hanya pelayannya, tidak lebih nona!"
Seulas senyum kecil menghiasi bibir Thelma, "Nona tidak perlu merasa sungkan saya tahu semuanya."
"Bagaimana tahu, bukankah…" tentu saja penasaran. Bagaimana mungkin seorang yang pingsan mendengar setiap percakapan. Atau…
"Cara kerja orang pingsan tidak seperti itu, nona Anna. Mereka tahu apa yang terjadi lewat indra pendengaran. Hanya tubuh melemah seperti mayat. Bahkan susah membuka kedua bola mata ataupun berucap."
"Jadi, nona tahu kalau nona…"
"Iya. Saya mengetahuinya nona Anna. Saya hamil," Thelma mengelus perut ratanya. Ia menghela napas berat, "Tapi syukurlah, anak itu sudah tiada," sepertinya wanita itu begitu bahagia sekaligus menyesal.
"Nona tahu jika nona mengalami keguguran?" Anna bertanya hati-hati.
"Tahu. Ya, saya tahu," Thelma mengangguk.
Lagi-lagi berhenti sejenak. Anna tampak berpikir.
''Kalau boleh tahu Nona Thelma, kenapa nona tidak mau melihat wajah tuan Ryan?"
''D-dia sungguh kejam, Nonna. Tettapi, bukan.. Kah, saya belum selesai berbicara," nona Thelma berkata nada ragu menatap Anna.
Entah mengapa ada sesuatu yang disembunyikan wanita itu dari Anna. Tetapi perasaan curiga ia tepis. Tidak baik menganggap orang buruk jika belum tahu kebenaran perstiwanya.
''Nona Thelma coba cerita. Saya janji akan menyimpannya dan tidak akan memberitahu pada siapa pun kalau merasa tidak nyaman,'' Anna bahkan memberi waktu bagi wanita itu.
''Ses-sebenarnya, anak itu anak tuan Ryan.''
''Apa!?''
***
''Aku perlu pelukanmu Anna. A-aku janji, akan berbuat baik kapadamu… Tolong, kita sudah sah menjadi kekasih. Tidak kah kamu mengetahui kalau menjadi kekasih artinya bisa berpelukan."
Dari mana tuan Ryan dapat teori seperti itu?
"Tuan janji kan tidak akan berbuat macam-macam?" Anna bertanya ragu.
"Tidak. Untuk apa saya melakukan tindak pelecehan terhadapmu. Saya ini lelaki setia Ann."
Kapan? Anak tuan saja tidak tuan ketahui gimana kabarnya sekarang…!
Anna menggerutu dalam hati. Pertanyaan mengenai bagaimana mungkin, selalu menghiasi kepalanya.
Informasi dari Thelma sungguh membuka lebar kedua matanya. Kejadian yang menimpa Thelma nerupakan salah Ryan sepenuhnya.
Bagaimana tidak? Ryan yang tidak sadar meniduri seorang gadis… Setelahnya ia terbangun tanpa salah sama sekali.
Hanya saja masa itu Thelma disekap oleh seseorang yang tak dikenal lalu ia pingsan dan terbangun bersama seorang pria hidung belang yang katanya sudah membelinya.
Tuan Ryan ada di sana. Dan dia benar kecewa. Lelaki pembeli Thelma merasa cocok dengan wanita itu.
Tetapi hanya bisa memandangnya–tidak mencicipinya karena Thelma ingin lelaki itu berpisah dengan ketiga istrinya yang lain.
Juga dalam sekejap Thelma dijadikan ratu di rumah itu. Barang-barang mewah selalu mudah ia beli. Tinggal gesek, sudah siap.
Tetapi ia rasa hampa dan memutuskan melarikan diri. Lelaki itu ternyata mengetahuinya selangkah lebih jauh dari pada Thelma, ia menculik sepasang manusia yang paling Thelma sayangi, ayah dan Ibunya.