''Anda katakan jika saya adalah kekasih tuan 'kan? Maka sebagai jabatan baik yang anda berikan, saya minta tolong supaya anda mencari dan meminta maaf kepada nona Thelma, sekarang juga!'' tekan Anna begitu percaya diri.
Entah mengapa raut wajah Ryan berubah drastis. Seakan merasa bodoh dengan diri kenapa ia mengatakan kata yang tanpa ia sadari membuatnya hilang kata-kata yang sudah ia simpan dalam kepala.
''Tidak," tolak Ryan. Ia menggeleng, kembali berkata. "Untuk apa saya meminta maaf padanya? Dia banyak salah pada saya. Seharusnya dia yang meminta maaf pada saya,'' lanjut Ryan yang tampaknya tidak mau lepas dari kata—kata pembelaannya.
Anna melihat Ryan tak kunjung menunjukkan ekpresi sedih seperti keinginan Anna, kemudian merasa semakin geram dengan laki-laki ini, 'Tidak mau kalah, 'ya… Owh, baiklah,' ia mengangguk kecil.
Cup.
Memajukan tubuh menghadap Ryan, satu kecupan singkat mendarat di pipi kanan Ryan. ''Bagaimana tuan. Masih mengelak?'' Anna menatap Ryan dengan ekspresi menggoda.
''Berani sekali kamu 'ya?'' geram Ryan yang terpaksa menjauhkan diri dari hadapan Anna. Ia habis mengelap kasar pipinya seakan jijik dengan sentuhan oleh bibir kecil nan kenyal milik Anna tersebut.
Anna tersenyum kecil. Walau tahu bagaimana rasa kesalnya mencium sendiri tuannya, dia mendekat pada Ryan. ''Bukan 'kah tiga hari yang lalu tuan yang minta melakukannya. Dan saya belum siap. Akaaan ada lagi hal terjadi setelah ini lho tuan. Tuan mau tahu?'' mencolek pipi yang baru dikecup Anna, dan menempelkan di pipinya.
'Kok Anna jadi seperti ini! Aneh tau!' dalam hati Ryan merutuki ucapan berartinya pada Anna. Rasa menjadi manusia paling bodoh di dunia jika seperti ini.
''Mau ya tuan. Mau?'' mata bermain. Sikap Anna yang mirip seperti wanita penggoda, ish, sungguh membuat Ryan risih.
Tidak menjawab. Ya, Ryan memilih tidak menjawabnya sama sekali.
Tak lama setelahnya, suara kacau riuh orang agak jauh dari sini. Mereka tampak panik membuat Ryan dan Anna menghentikan perdebatananya.
Anna terlebih dahulu berlari ke sana. Disusul Ryan. ''An! Kamu mau kemana?'' ish, Anna kok jadi suka-sukanya bertindak! Jadi kesal aku!
''Mau kesana lah tuan. Mau kemana lagi? Melarikan diri? Enggak lah, aku orangnya setia!''
Sesampainya ke TKP, langkah Anna perlahan berhenti. Sebuah mobil saling bertabrak di sana. Anna menutup mulut rapat mulut dengan kedua tangannya.
Terutama saat seorang perempuan mirip seperti Thelma berbaling secara tertelungkup di sana. Darah bercucuran dari kepala dan beberapa bagian tubuhnya lecet.
"Nona Thelma?"
Air mata menetes deras. Apalagi tubuh yang tak bisa bergerak karena kerumunan orang mengganggu pergerakan tubuhnya. Rasa memori itu kembali terulang dalam kepalanya.
"Nona Thelma …" ia menyeret ucapannya.
***
"Siapa keluarga pasien?"
"Kami hanya temannya dok."
Anna langsung menjawab. Ia ikut-ikutan bersama mobil ambulance. Tak lupa memaksa Ryan yang seperti baru diikat Anna dengan setiap ungkapan keluar dari mulut gadis itu.
"Bayi dalam kandungan teman anda, dia sangat lemah, kritis, seperti keadaan ibu janin. Kami perlu tanda tangan kalian karena ini darurat," dokter memberikan selembar kertas yang sudah ditulis perjanjiannya.
"Iya baiklah dok. Di mana letak yang perlu saya tanda tangani?"
"Di sini," dokter menunjuknya.
"Owh. Baiklah," lepas mengangguk, Anna membaca sekilas serta memahaminya. Menandatangani. "Sudah dok," ia memberikan kertas kertas berpapan ujian kepada dokter.
Dokter pergi lepas berpamitan, "Baiklah, kami akan melakukan segalanya semampu kami. Hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi."
Anna mengangguk.
Dia berbalik badan dan melihat tuan Ryannya tengah duduk di kursi tunggu memaku pandangan dinginnya kepada Anna.
Anna duduk di samping Ryan, "Fiuh… Hari yang melelahkan, ya."
Ryan terdengar berdecih, "Melelahkan apa? Menyusahkan tau ngak!"
'Kapan tuan Ryan bahasanya non baku?'
"Semakin banyak orang yang ditolong, semakin peluang masuk surga lebih besar tuan."
Ryan menatap jijik Anna, "Kamu mau cepat-cepat mati, ya An!?" ia menegaskan kata dalam metode berbisik.
"Wow, berarti tuan sayang sekali pada saya ya, tuan?"
"Ish, sayang dari mana? Benci tau liat kamu. Mengesalkan!" membuang wajah dan bergumam kecil tak tentu arah.
"Kenapa tuan katakan saya mau cepat-cepat mati? …"
"… Tahu ngak tuan, kalau ada pria yang katakan hal seperti itu pada seorang perempuan, itu artinya dia tak merelakan perempuannya pergi darinya."
Sedikit menggoda tuan Ryan, tidak apa 'kan? Lagi pula saling menuduh seperti ini sangat menyenangkan…
…Anna juga pikir, Ryan sepertinya orang yang bisa di ajak bercanda. Lihatlah, Ryan tetap menjawab ungkapannya walau caranya berbeda.
Ryan menatap tersenyum mata melebar dirinya pada Anna, "Secepat itu kah, kekasih yang baru berjalan dua jamku?" ia menyentuh gemas pipi Anna. Padahal ia ingin memukul gadis itu dengan caranya, sekarang!
"Mungkin saja tuan," ia mengangguk yakin.
"Wish, jangan kata kamu yang sudah jatuh cinta pada saya," ia memperlihatkan senyuman 'tampang' tampannya.
"Kapan tuan? Rasanya tak ada perempuan mana pun yang mau pada laki-laki garang dan suka memerintah."
"Kamu," jawab singkat Ryan. Tanpa disadari, kata-kata memanaskan hati Ryan oleh Anna berhasil membuat Ryan tersenyum tulus.
"Oke. Oke. Anna jujur deh, sama tuan."
"Jujur?" beo Ryan. Ryab memperlihatkan raut wajah menanti-nanti dengan fantasinya.
"Iya jujur…" Anna mengangguk disela ucapannya.
Namun harus terpotong saat seorang dokter datang dan mengatakan sesuatu.
"Selamat siang nona, tuan. Kami membawa dua berita bahagia dan sedih. Berita bahagianya, nyawa pasien—teman anda selamat. Dan berita buruknya bayi pasien meninggal hingga terpaksa dikorek oleh kami. Atas kemalangan ini, kami ikut berduka cita."
Dokter pergi. Anna menteskan air mata dilihat Ryan, "Kamu kenapa sih peduli sama si penghinat itu?" ia bertanya kasihan.
"Dia bukan penghianat tuan. Nona Thelma bukan penghianat. Dia dijebak malam itu kemudian disekap oleh pria yang mengambil kesuciannya sampai akhirnya ia bebas," menatap sembari meneteskan air mata. Anna berkata nada serak.
Ryan menepuk punggung Anna, "Dari mana kamu tahu mengenai informasinya?"
"Nona Thelma yang cerita. Dia kata begitu, tuan."
Banyak pertimbangan dalam pikiran Ryan lewat wajahnya berhasil di tangkap Anna terutama saat Ryan melepas tepukan lembut pada punggung Anna.
Ryan berdiri, diikuti Anna, "Tuan mau kemana?"
"Jumpa Thelma. Dia pasti tersakiti dengan kenyataan ini."
***
Ryan dan Anna memasuki ruang perawatan Thelma. Setelah berbincang sembari membayar administrasi, Ryan segera ke sana bersama Anna.
"Jangan terlalu berisik ya, tuan. Pasien perlu istirahat banyak," seperti tahu saja bagaimana Ryan Anna. Keduanya hampir ribut sepanjang waktu walau hanya berbisik.
Dingin bisa berbicara. Mungkin seperti pepatah lama, dinding rumah sakit ini juga punya mulut.
"Pergi kalian! Hiks, hiks, hiks..."
Bersambung…