Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Keraton Nyai Gendis

Winter_San_7503
--
chs / week
--
NOT RATINGS
15.4k
Views
Synopsis
Gladis adalah seorang gadis keturunan Nyai Keraton di masa lampau. Takdir membawanya pada garis yang telah diguratkan. Pendakian yang dilakukan bersama beberapa kawan, membuat dia mengaktifkan kekuatan magis yang selama ini bersemayam dalam dirinya.  Banyak kejadian diluar nalar mengusik hidup yang semula damai. Hal-hal ganjil terus saja menyeretnya ke dasar lembah penuh pertikaian. Karena, sebuah dendam dari masa lalu harus dituntaskan.  Akibat 'kutukan' itu, Gladis bahkan tidak punya lagi kendali penuh atas dirinya sendiri. Mau tak mau, Ia harus mencari jalan keluar, agar kehidupannya bisa kembali berjalan normal. Berbekal beberapa peninggalan kuno dari masa lampau, juga dibantu seorang Cenayang, Gladis mencoba menyingkap misteri di masa lalu yang menuntut keadilan. Mampukah sang garis keturunan yang terpilih sekaligus dikutuk itu menuntaskan tugasnya? Mari kita ikuti jalan cerita seru penuh kejutan dalam Sebuah Novel berjudul KERATON NYAI GENDIS.
VIEW MORE

Chapter 1 - Pendakian

1)Pendakian

.

Gladis berhenti sejenak. Dia setengah membungkuk dengan kedua tangan bertumpu di lutut.

Setelahnya ia mendongak ke jalan menanjak di hadapan.

"Masih jauhkah?" tanyanya dengan napas terengah-engah.

"Yaelah, Nyi dompret! Baru aja jalan lima menit, udah kayak Ikan klepek-klepek di daratan," ketus sahabat lelakinya yang berbalik arah dan berniat untuk membantu.

Tanpa bertanya, lelaki itu menarik tangan Gladis.

"Eh, hah?" Gladis terhenyak, dia ditarik begitu saja.

"Makanya, kalau dibilangin tuh, nurut napah!"

"Udah gue tegesin, 'kan sama semua, kalau dua Minggu sebelum berangkat harus rajin olahraga, biar tubuh kita ada pemanasan," grundel si lelaki.

Gladis menarik tangannya. Dia sangat kesal terus-terusan diceramahi.

"Ada apa lagi, Non Ndoro?" decak temannya itu sambil berkacak pinggang.

Gladis melihat sekeliling. Hanya ada hamparan hutan lebat. Akar-akar pohon yang merambat menyembul ke permukaan, menegaskan betapa tuanya tumbuhan yang ada di sana.

"Ngeri gue," gumam Gladis.

Dia memeluk dirinya sendiri dengan kedua tangan, semilir angin yang berembus seolah jarum yang menusuk hingga tulang.

"Woii! Ngapain, ngab?" teriak teman lain yang sudah cukup jauh di depan.

Gladis dan temannya saling bersitatap lalu sama-sama melanjutkan langkah.

Menembus belantara hutan di tengah gulita malam menciptakan sensasi tersendiri bagi mereka.

Sekelompok remaja memutuskan untuk naik gunung.

Ajang itu tercetus sebagai salah satu acara kelulusan mereka atas diterimanya di universitas dalam negeri.

Menantang diri dengan berusaha untuk menaklukan salah satu Gunung tertinggi di kepulauan Jawa, adalah suatu ambisi bagi beberapa orang di antara mereka

Atau juga hanya sebagai ajang rekreasi bagi yang lainnya.

Tiba di sebuah dataran yang cukup luas, mereka berhenti.

"Gimana, nih, guys? Cuacanya gak mendukung. Kayaknya bakal turun hujan, deh," ujar leader pendakian.

Sahabat wanita Gladis menimpali, "malam ini, kita istirahat di sini aja, Win. Lagian kita cewek-cewek udah gak kuat lagi." Ines menatap bergantian dua teman wanitanya yang sudah bermandikan peluh.

Pacar Gladis yang sedari awal berjalan paling depan menghampiri.

"Capek, Yang?"

Gladis mengendikkan sebelah bahunya yang ditenggeri oleh lengan Zio.

"Kamu kenapa, Beb? Marah?" tanya lelaki berpostur tegap itu.

Gladis berdecak. Sorot matanya tajam menghunus pada sosok di depannya.

"Kenapa baru nanya? Kamu tahu, 'kan ini pertama kalinya aku naik gunung?" geram Gladis.

"dasar pacar kurang akhlak!" lanjutnya sembari membuang muka.

Sebenarnya sedari awal Gladis tidak mau ikut menanjak gunung. Namun, untuk menghargai pacar serta para sahabatnya mau tidak mau gadis itu ikut.

"Yaudah, Ines, Sabrina sama Gladis istirahat dulu, sana. Biar kita cowok-cowok yang diriin tenda," tandas Edwin memerintah.

Tanpa harus menunggu sang leader kembali berucap mereka langsung bergerak.

Tiga wanita dari total enam orang yang mendaki duduk di hamparan rumput liar.

Mereka yang sama-sama awam dalam masalah pendakian merasa benar-benar tidak lagi memiliki tenaga.

"Gila! Tahu gini, gue gak mau naik gunung!" tegas Ines sambil menelonjorkan kedua kaki.

Sabrina dan Gladis tersenyum mendengarnya.

"Air minum gue udah mau habis, nih. Gimana, dong?" Sabrina memperlihatkan botol air minum berukuran jumpo yang tinggal menyisakan seperempat.

Gladis terkekeh. Dia menyikut lengan Sabrina. "Lagian, Lo naek gunung udah kayak jalan di Padang pasir. Dikit-dikit minum, dikit-dikit minum!" ejek Gladis.

Ketiga gadis tersebut bersenda gurau melepas penat. Sedangkan, tiga laki-laki yang sebaya dengan mereka tengah sibuk mendirikan tenda.

Sesekali ekor mata Gladis menangkap siluet aneh yang dia pikir hanyalah halusinasinya saja.

"Ladies! Kalian bisa masak buat kami?" teriak Faris yang berdiri tak jauh dari mereka.

Ines memajukan bibirnya beberapa senti. "Baru aja nyantai dikit, udah disuruh aja!" protesnya spontan.

"Udahlah, gak papa. Lagian kasian, 'kan mereka bertiga. Udah masang tenda, masa harus masak juga," kekeh Gladis seraya bangkit.

Gladis menarik kedua sahabatnya, mengajak mereka untuk gegas menyiapkan alat masak.

"Zio, kita cari kayu bakar. Sambil nunggu makanan siap," ajak Edwin tanpa basa-basi.

Zio melirik leader kawanan mereka. Karena gengsinya yang cukup besar, lelaki itu malah berdecih.

"Kenapa gak Lo sendiri aja, Win? Lo gak liat gue masih sibuk?!" tolak Zio angkuh.

Edwin menggelengkan kepala. Dia berjalan menuju Zio yang terlihat masih sibuk merapikan pasak tenda yang posisinya paling ujung.

"Dalam keadaan kayak gini, kita harus ngilangin gengsi, Bro!" tegas Edwin tepat di belakang Zio.

Zio terlihat gusar. Kilatan emosi terpancar dari sorot mata tajamnya.

Bruk! Zio mendorong tubuh Edwin dengan kasar. Edwin tidak terima dia balas melakukan hal serupa.

"Eh, eh lihat, tuh! Edwin sama Zio kayaknya bakal ribut!" seloroh Ines. Dia mengguncang-guncang bahu Gladis yang tengah sibuk memanaskan air.

Gladis acuh tak acuh. Dia tidak habis pikir, ego lelaki yang tinggi memang tidak bisa ditolerir.

Faris sadar akan situasi yang mulai memanas, lantas setengah berlari Faris menghampiri dua kawannya.

Tentu saja, dia langsung menengahi kedua pejantan yang tidak bisa menempatkan ego masing-masing.

"Udah-udah! Biar gue aja yang nyari. Lagian gak bakal lama. Noh, di sana kayaknya banyak ranting!" Faris memajukan dagunya, menunjuk ke salah satu sisi hutan.

Zio dan Edwin saling menatap tajam. Sampai salah satu dari mereka beranjak dari tempatnya.

Syukurlah, suasana masih terkendali.

Faris berjalan menuju tempat yang tadi dia tunjuk. Dia pikir di bibir hutan akan mudah menemukan ranting.

Sabrina tidak tega melihat Faris yang berangkat sendirian. Akhirnya, dia memutuskan untuk ikut membantu.

"Tunggu gue, Ris!" teriak Sabrina.

Faris membulatkan matanya. "Lah, ngapain kamu di sini? Cepat balik lagi sama yang lain!"

Lelaki kalem yang senantiasa bersikap bijaksana itu, mana mungkin tega membiarkan seorang gadis ikut masuk ke tengah hutan.

"Gak mau ditemenin, gitu?" Sabrina mengulum senyum. Kedua tangannya saling tertaut di bawah kemeja yang ia kenakan.

Faris tersenyum lebar. Samar binar matanya tertangkap di bawah redup cahaya rembulan.

Akhirnya, keduanya saling bersampingan berjalan masuk menembus hutan.

"Awww!" pekik Gladis tertahan. Jarinya terluka oleh cutter yang dia gunakan untuk mengiris sayuran.

Gladis meringis, dia mengibas-ngibaskan jari tangannya yang terluka.

Hushhh!! Tiba-tiba, embusan angin menguarkan bau tak sedap membuat Gladis terkesiap.

Bulu kuduknya meremang.

Gladis memicingkan netra indahnya yang nampak menyiratkan kelelahan sekaligus rasa was-was.

Pandangan Gladis menyisir kegelapan yang mengarah tepat ke puncak gunung.

"Itu apaan, Nes?" gumam Gladis pada Ines.

Samar Gladis seperti melihat sesosok makhluk di kegelapan.

Ines tidak dapat mendengarnya. Tanpa terduga dia malah sibuk cekikikan sendiri di depan tenda.

"Nes!" ujar Gladis lagi.

Beberapa saat lalu, Ines padahal masih duduk manis di samping Gladis.

Tak kunjung mendapat sahutan wanita cantik itu menoleh ke belakang.

"Astaga!" Gladis terperanjat. Tubuhnya secara refleks terjungkal ke belakang. Hingga membuat satu wadah masakan yang baru siap disajikan menjadi tercecer.

Sesosok bayangan hitam besar berdiri tepat di atas tenda. Ines yang ada di bawahnya melotot tajam dengan kuku jari yang membentuk cakaran.

"I-ines, Lo kenapa?" Gelagapan suara Gladis hampir tidak terdengar.

Bola mata Ines berwarna merah terang. Urat-urat wajahnya menegang menyembul di bawah lapisan kulit wajah terawatnya.

Gladis berusaha untuk bersikap setenang mungkin. Ekor matanya melirik ke sana kemari mencari sosok kawan yang lain.

"Kamu sudah datang … hahaha!" Tiba-tiba Ines mengeluarkan suara berat. Jelas itu bukanlah suaranya.

Entah makhluk apa yang merasuki Ines. Suasana kian mencekam.

Langit gulita mengarak awan pekat. Cahaya keperakan perlahan sirna berganti aura mistis yang kuat.

"Ya Tuhan … ada apa, ini?" Deretan gigi rapi Gladis bergemeletuk menahan dingin yang tak terkira.

Sungguh, ini bukanlah fenomena alam semata.

Gladis beringsut mundur, tatapan menghunus dari Ines benar-benar membuat Gladis tidak berdaya.

Tidak mau memberi kesempatan bagi mangsanya untuk melarikan diri, dengan gerakan kilat Ines menerkam Gladis.

"Arrrr!!" geramnya seraya melompat tinggi.

"Ahhhh!!"