Chereads / Keraton Nyai Gendis / Chapter 3 - Kepala Yang Tergantung

Chapter 3 - Kepala Yang Tergantung

3) Kepala yang tergantung

"Terus, gimana keadaan Sabrina sama Faris?" celetuk Ines.

Posisi mereka yang serba salah, sekaligus belum tahu apa penyebab hal buruk menimpa mereka semua, membuat tak ada satupun orang yang berani mengambil spekulasi.

"Jangankan untuk mengetahui keberadaan mereka, kita sendiri saja tidak tahu makhluk apa yang ada diluar sana!" Zio meninggikan suaranya beberapa oktaf.

Gladis merasa ada sesosok makhluk di luar sana yang tengah mengawasi mereka semua.

Suhu tubuh gadis cantik itu menurun secara drastis. Gladis menggertakkan gigi-giginya karena kedinginan.

Sontak saja hal tersebut membuat Zio khawatir. "Honey, kamu kenapa?" Zio mengguncang pelan bahu Gladis.

"Gladis …." Ines kembali mencoba mendekat. Tapi lagi-lagi Gladis tak ingin sahabatnya itu mendekatinya.

Cepat-cepat Gladis menenggelamkan diri dalam rangkulan Zio.

Edwin menenangkan Ines. Dia mencengkeram kuat jemari Ines yang tentu semakin merasa bersalah.

"Kita gak mungkin bisa bertahan di sini. Kita harus keluar," tandas Edwin.

Tatapannya menyisir satu persatu wajah penuh kebingungan di dalam tenda tersebut.

Zio mendekap erat Gladis. Dia mengangguk tanda setuju. Begitu juga Ines.

"Gladis, Lo harus yakin kita bisa cari jalan keluar," ujar Edwin meyakinkan.

Gladis menarik diri, wajah pucatnya berusaha untuk menutupi ketakutan yang semakin merasuki jiwanya.

Entah apa yang sebenarnya terjadi pada Gladis. Selama ini, dia terkenal dengan keberanian serta kecerdikannya. Namun, kali ini, Gladis seperti bukan dirinya yang dulu.

"Usahakan, kita berempat jangan sampai terpisah!" Edwin memberi arahan.

Setelah mereka berempat mempersiapkan diri serta membawa ransel masing-masing, mereka pun bersiap untuk bergegas dari sana.

Baru saja keempat muda-mudi itu keluar tenda, aura dingin disertai hujan gerimis menyambut mereka di keremangan malam yang suram.

"Tunggu! Di tenda satunya masih ada senter. Biar gue bawa!" seru Zio. Langkah lebarnya setengah berlari menuju tenda yang lain.

Tepat setelah berada di depan tenda, Zio tidak langsung membuka resleting. Zio mengerutkan keningnya.

Di dalam tenda, seperti ada sesuatu yang bergerak-gerak. Zio sempat ragu untuk tetap mengambil senter di dalam sana.

"Zio!" panggil Edwin.

Zio berdecak. Dia tidak mau kejantanannya dipertanyakan. Tanpa basa-basi lagi, lelaki itu membuka tenda.

"Ahhh!!" pekik Zio. Tubuhnya sampai tersungkur ke belakang, mendapati hewan melata saling bertumpuk di dalam tenda.

"Astaga! Astaga!" Zio benar-benar terkejut. Dia berlari sekencang mungkin menghampiri yang lain.

"Ada apa?" tanya Gladis parau.

Kali ini, tubuh Zio juga bergetar ketakutan. Dia meraih tangan Gladis.

"Cepat kita pergi dari sini!" Tanpa mau menjelaskan terlebih dahulu, Zio memaksa rekan-rekannya untuk segera pergi.

Mereka tahu, pasti sesuatu yang buruk baru saja menimpa Zio. Dengan dada bergemuruh hebat--dikuasai rasa takut, mereka berjalan ke arah yang sebelumnya mereka lalui.

"Gimana sama Faris dan Sabrina?"

Di tengah perjalanan, Ines berhenti. Dia kembali mengingatkan bahwa dua teman mereka masih belum diketahui keberadaannya.

Edwin sebagai leader tidak bisa mengambil keputusan. Dia terdiam sambil tertunduk dalam.

"Win …." Ines mengiba.

Di tengah hutan, mereka seperti tengah berada di antara para makhluk buas yang siap menerkam dari kegelapan.

Baru saja Edwin akan membuka mulut, Zio lebih dulu menyosor, "masa bodo dengan mereka berdua. Kita harus keluar dulu dari hutan sialan ini!"

Ines melotot tajam. Dia tidak habis pikir Zio bisa seegois ini.

Ines mengarahkan jari telunjuknya tepat ke muka Zio. "Gue pikir Lo beneran cowok yang solid." Suara Ines bergetar menahan amarah.

"ternyata, Lo gak lebih dari seorang pengecut!" sambung Ines dengan ketus.

Plak! Zio menampar pipi gadis di depannya itu sekuat tenaga.

"Zio!" teriak Gladis. Dia menarik pacarnya agar menjauh dari Ines.

Edwin ternganga sendiri menyaksikan kejadian di depan mata kepalanya.

Mata Ines mulai memanas. Tanpa terasa, ceruk matanya mengalirkan air mata.

"Dasar bajingan!" umpat Ines seraya berbalik badan. Dia pergi seorang diri ke sisi lain hutan.

Edwin menatap Zio dan Gladis secara bergantian.

Zio yang merasa bersalah hanya mematung.

Gladis mengusap wajahnya frustasi. "Win, cepat kejar Ines. Jangan sampai dia dalam bahaya!"

Edwin mengangguk cepat. Dia lalu menyusul Ines yang seolah tertelan kabut, sudah pergi entah ke mana.

"Yang …."

"Stop!" Gladis menyela kalimat Zio. Dia mengangkat telapak tangannya.

Ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat. Saling menyalahkan mana yang benar dan mana yang salah.

Gladis hanya bisa mengutarakan kekecewaannya dengan menggeleng-gelengkan kepala.

Gladis lalu mengambil tempat duduk di sebatang pohon yang tumbang.

Pikirannya melayang ke sana kemari. Mencoba mencari jawaban atas hal-hal ganjil yang seperti mimpi baginya.

"Apa ini … ada hubungannya sama darah gue?" Gladis membatin.

Dia mengingat kejadian saat pertama kali aura mistis mulai menyelimuti mereka.

Dan lagi, saat di mana dia bisa dengan leluasa menendang tubuh Ines--sesaat setelah sebuah cakaran meninggalkan bekas guratan merah yang juga mengeluarkan sedikit darah.

Tanpa terasa, Zio sudah membungkuk tepat di hadapannya. Lelaki itu mengelus lembut bekas luka di pipi Gladis.

Lamunan Gladis buyar. Dia berusaha untuk membalas tatapan dalam Zio dengan seulas senyum.

"Kita susul mereka, lalu aku bakal minta maaf sama Ines," ucap Zio.

Gladis tersenyum mendengarnya. Mereka berdua berdiri lalu segera menyusul Ines dan Edwin.

Sepanjang perjalanan, Gladis mendekap erat dirinya sendiri. Setiap hembusan napas yang keluar dari mulutnya seperti kepulan asap rokok yang mencemari udara.

Semakin jauh mereka berjalan, semakin lebat hutan yang harus dijajaki.

Tak jarang, kaki Gladis tersandung akar pohon yang menyembul. Atau bahkan, justru sebuah tangan yang sengaja menarik kakinya.

Di kejauhan, samar terlihat beberapa orang. Gladis memastikan penglihatannya tidak salah.

"Zio, Zio! Itu!" Gladis begitu antusias menarik-narik lengan Zio sambil menunjuk ke arah yang dia lihat.

Anehnya, setelah beberapa saat, baru Gladis sadar, bahwa tangan yang dia pegang terasa sangat dingin dan lembek.

Gladis terdiam. Seakan kesadarannya perlahan mulai terkumpul.

Dada yang bertalu-talu memaksa Gladis untuk menoleh pada sosok yang berada tepat di sampingnya.

Begitu Gladis meliriknya. "Ahhh!!" Secara spontan teriakkannya menggema.

Sosok lelaki bertubuh kekar dengan kulit serta daging yang mengelupas membuat Gladis histeris. Dia lari tunggang langgang.

Di tengah pelariannya Gladis sadar bahwa dia masih membawa sesuatu di tangannya.

Lagi-lagi gadis itu berteriak seraya melemparkan potongan tangan yang dia bawa-bawa.

Setelah memastikan makhluk mengerikan itu tidak terlihat lagi, Gladis berhenti untuk mengambil napas.

Salah satu tangannya bertumpu di batang pohon besar yang berlumut.

Antara sadar atau tidak, semua yang telah Gladis alami membuatnya hampir gila.

Gladis menyeka keringat di dahi. Kali ini, dia sudah benar-benar bermandikan keringat dingin.

"Zio? Astaga, Zio?!" Gladis celingukan, dia melihat sekeliling dan tak melihat pacarnya ada di sekitar sana.

Dia hanya bisa menepuk jidat, lalu luruh di bawah pohon besar itu.

Gladis memutuskan untuk sejenak istirahat di sana. Punggungnya bersandar di batang pohon.

Perlahan, rasa kantuk yang semakin membiusnya tak dapat Gladis tahan.

Matanya semakin terasa berat untuk tetap terjaga. Belum juga kedua netranya benar-benar tertutup rapat, Gladis seketika terhenyak.

Dia merasakan sebuah cairan menetes di kepalanya.

"Apalagi, ini?" gumamnya. Gladis menelan saliva. Tangannya perlahan menyeka area yang terasa basah.

"Darah?" Gladis memastikan, tidak ada anggota tubuhnya yang terluka. Dia sempat mengendus cairan merah di tangannya tersebut.

Dan benar saja, itu darah.

Gladis perlahan bangkit. Dia tahu ada sesuatu yang tidak beres lagi-lagi mengusiknya.

Setelah menggendong ransel dan siap kembali melarikan diri, Gladis mendongak ke atas.

Alangkah terkejutnya Gladis saat mendapati sebuah kepala tergantung di salah satu dahan pohon.

Seluruh aliran darahnya terasa berhenti. Gladis membeku di tempat.

"E-edwin?"