5)Liontin Merah Delima
.
"Ahhem, emm!" Ines berdeham, mengusir tanda tanya yang tercekat di tenggorokan.
"Seriously, Gladis? Lo kesamber petir?" sungut Ines akhirnya, raut wajah gadis petakilan itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutan.
Gladis mengangguk singkat. Seingatnya, dia memang tersambar petir hingga akhirnya tak sadarkan diri dan terjebak di suatu tempat yang aneh.
"Udahlah, yang penting si cantik kita ini baik-baik aja," hibur Sabrina seraya mengalungkan lengannya di leher Gladis.
Gladis tersenyum. Beruntung dia masih memiliki kesempatan untuk kembali bersama para sahabatnya.
*
Separuh perjalanan tanpa arah membuat engsel kaki mereka terasa hampir copot.
Terlebih, sudah tidak adalagi perbekalan yang dapat mengganjal perut mereka.
Ines merengek kelaparan. Bibirnya juga mulai pecah-pecah akibat dehidrasi.
Faris sudah sejak beberapa waktu lalu mencoba mengandalkan kemampuannya tentang survival di alam bebas. Sayangnya, hasilnya nihil.
Di hutan lebat itu, tak ada satupun jenis tumbuhan yang layak untuk mereka konsumsi.
Rasa lapar Gladis teralihkan pada bayangan kepala Edwin yang menggantung.
Sejauh ini, dia belum menceritakan hal tersebut pada yang lain.
"Kelinci! Itu kelinci!" sergah Ines antusias. Dia berlari mencoba mengejar hewan yang melompat-lompat itu.
Ketiga temannya mengalihkan perhatian pada Ines. Tak ada apapun dari mereka yang juga melihat kelinci.
"Ines! Balik ke sini, Nes!" teriak Sabrina. Gadis itu bangkit dan hendak menyusul Ines.
Tetapi, Faris lebih dulu mengejar. "Biar gue!" sergahnya, sebelum mengejar Ines, Faris sempat menoleh pada Sabrina dan Gladis.
Sabrina terlihat sangat khawatir. Dua orang rekannya sudah tidak terlihat dari jangkauan mata.
"Mereka pasti balik!" Gladis menenangkan Sabrina.
Benar saja, tak lama kemudian, terlihat Faris melambaikan tangannya.
"Hei! Cepat ke sini, ada sumber mata air di bawah sana!"
Mendengar penuturan Faris, dua gadis tersebut seperti melihat oase di gurun tandus.
Cepat-cepat saja keduanya menyusul Faris dan Ines.
Mereka berempat sangat antusias menuruni jalan berbatu menuju sebuah kubangan kecil yang menampung air jernih.
Keempatnya langsung memburu sumber kehidupan itu dengan meminum air menggunakan kedua telapak tangan mereka.
"Airnya seger banget!" sumringah Ines. Dia tak henti-hentinya meminum air yang entah darimana asalnya.
Mungkin saja, rembesan air tanah, atau air hujan.
Mereka berempat mencuci muka dan membersihkan beberapa bagian tubuh yang terasa lengket dan kotor.
Sampai akhirnya, Gladis mengendus bau busuk yang menusuk hidung.
Hoek! Hoekk! Gladis muntah, dia mengeluarkan sisa cairan yang masih ada di dalam perutnya.
Ketiga temannya langsung menoleh, melihat Gladis yang seperti itu, mereka juga mulai merasakan sesuatu yang ganjil.
"Ahhh!!" teriak Ines dan Sabrina.
Genangan air yang semula jernih berubah menjadi kubangan hitam yang mengeluarkan bau busuk. Di baju mereka pun menempel belatung menjijikkan.
Mereka berempat histeris dan berusaha menyingkirkan belatung dari tubuh mereka.
Tak bisa dipungkiri, rasa mual membuat kepala mereka pening. Air yang melicinkan leher mereka rupanya merupakan cairan yang menjijikkan.
Dengan bersusah payah, mereka kembali naik ke atas. Sempat terjadi pertikaian kecil antara Ines dan Faris.
Ines menyalahkan Faris atas insiden menjijikkan itu. Dia menuduh Faris tidak jeli melihat sumber mata air itu.
Untungnya, keadaan bisa kembali membaik berkat Sabrina dan Gladis yang memberikan pengertian pada Ines.
*
Tanpa terasa, waktu beranjak gelap. Mereka sudah benar-benar lesu.
"Kita istirahat di goa itu aja, gimana?"
Tangan Faris menunjuk sebuah tebing yang di bawahnya terdapat cekungan membentuk goa kecil.
"Yang menurutnya Lo aman, aja, Ris," sahut Sabrina dengan suara yang nyaris tenggelam.
Suaranya terdengar sangat serak.
Mereka berjalan berduyun-duyun menuju tempat yang dituju. Dengan sangat hati-hati mereka menginjak bebatuan licin menuju goa itu.
"Gue udah gak punya tenaga. Rasanya udah kayak mau mati," lirih Ines. Tubuhnya langsung ambruk di goa tersebut.
Untuk beberapa saat, suasana sangat hening. Alam yang berbeda membuat tak ada satupun suara hewan-hewan kecil bersahutan.
Gladis dan Sabrina saling bersandar satu sama lain. Mereka sudah terlelap begitu saja.
Faris merasa dirinya sangat bertanggung jawab atas ketiga gadis ini. Dia memutuskan untuk berjaga sepanjang waktu.
"Gue laper," racau Ines yang terbaring lemah.
Faris tersenyum kecut. Dia perhatian, Ines cukup menggemaskan saat terlelap.
Sorot mata Faris tak henti-hentinya melirik ke sana ke mari.
Di tengah gulita malam, dia merasa banyak pasang mata yang tengah mengintai mereka semua.
Gladis bermimpi. Dia didatangi Edwin yang dari lehernya terus mengeluarkan darah.
Gladis mencoba bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Edwin malah menggeleng-gelengkan kepalanya.
Lelaki itu menjulurkan tangan, memberikan sebuah liontin yang di tengahnya terdapat semacam benda berwarna merah delima.
Liontin itu menyala terang di tengah kegelapan. Gladis ingin berteriak, tapi suaranya seperti hilang begitu saja.
"Itu milik, Lo, Gladis. Gue bersalah karena mencoba mengambilnya. Kalian harus pulang. Jangan cari gue. Besok pagi, kalian pergi ke arah barat!"
Edwin berkata dengan raut wajah datar. Suaranya terdengar begitu asing tapi sangat meyakinkan.
Gladis mencoba meraih tangan Edwin. Sayangnya, Edwin malah ditarik oleh banyak tangan yang tak kasat mata.
Seketika, sosok Edwin pun lenyap. Seperti ada dorongan yang membuat tangan Gladis bergerak, sehingga dia memakai liotin itu.
*
"Edwin! Edwin …." Gladis mengigau, hal tersebut membuat Sabrina bangun dan langsung memeluknya.
"Gladis, tenang. Lo aman sama kita." Sabrina mengelus-elus puncak kepala Gladis.
Faris tidak bisa berbuat banyak. Dia hanya bisa memasrahkan nasib mereka semua pada sang pemilik kehidupan.
Satu malam panjang penuh misteri berhasil mereka lewati.
Sabrina dan Faris terjaga. Ines dan Gladis yang mulai bangun tidak sadar bahwa semalaman mereka mengingau.
"Kalian gak tidur?" tanya Gladis, dia keheranan kenapa posisi tidurnya berubah.
Sabrina tersenyum. Dia menyeka keringat di wajah Gladis.
"Lo baik-baik aja, 'kan?"
Melihat tatapan dalam Sabrina, membuat Gladis langsung tahu bahwa pasti semalam terjadi hal aneh lagi pada dirinya.
Mendapati mentari yang perlahan merangkak naik, Gladis langsung teringat pada ucapan Edwin.
"Ke Barat! Jalan pulang ada di Barat!" Gladis antusias.
Dia menatap satu persatu temannya. Tentu saja mereka keheranan. Darimana Gladis tahu hal itu?
Tanpa menghiraukan tatapan teman-temannya, Gladis langsung beranjak, memimpin mereka semua menuju arah pulang.
Benar, baru saja mereka menaiki sebuah bukit, terlihat di kejauhan pemukiman penduduk.
"Itu pemukiman, 'kan? Gue gak salah lihat?!" Gladis menunjuk-nunjuk.
Tiga temannya yang tertinggal di belakang langsung berlari dan melihat hal serupa.
"Bener! Itu beneran rumah penduduk!" sergah Faris yang tak kalah antusias.
Mereka berempat bersorak kegirangan, lalu mereka saling berpelukan.
Seakan semua rasa lelah sirna begitu saja, mereka langsung berlarian melewati hamparan luas tanah lapang yang dtumbuhi banyak bunga-bunga indah.
Baru saja kebahagiaan mereka rasa, perasaan was-was kembali menyergap.
Mereka berempat melihat sesosok tubuh yang bersandar di bawah pohon rindang.
Mereka saling bersitatap penuh arti. Setelah mereka amati untuk beberapa saat.
Akhirnya mereka sadar bahwa itu adalah Zio.
"Zio? Itu Zio?!" pekik Gladis. Seakan tak percaya dia langsung berlari memastikan.
Semakin dekat, semakin jelas sosok itu. Benar saja itu Zio.
Kondisinya sangat mengkhawatirkan. Sekujur tubuhnya penuh luka.
Gladis tak kuasa menahan haru. Dia pun langsung memeluk kekasihnya.
"Zio, sayang … kamu baik-baik aja." Gladis benar-benar mendekap erat Zio.
Lelaki itu tak berdaya. Antara sadar dan tidak sadar, Zio perlahan membuka matanya.
Dia tersenyum lebar, melihat kawan-kawannya ada di sana.
Mereka lagi-lagi berpelukan. Rasa lapang menghinggapi dada mereka semua.
Kondisi Zio yang lemah membuatnya tidak kuat lagi untuk berjalan.
Faris memutuskan untuk mencari bantuan. Dan syukurlah, kebetulan terdapat beberapa warga sekitar yang tengah bertani di sekitar lereng gunung.
Secara bahu membahu warga dan tim SAR membantu mereka semua.
Berita tentang hilangnya kelompok pendakian yang diketuai oleh Edwin telah menyebar luas.
Selama berhari-hari tim penolong mengitari area gunung yang disinyalir menjadi track yang dilalui oleh Gladis dan kelompoknya.
Orang tua mereka semua bahkan meminta bantuan dari banyak pihak. Mereka tak segan menggelontorkan banyak dana demi mencari keberadaan anak-anak mereka yang hilang di gunung.
Mereka berlima di bawa ke posko terdekat. Zio yang mengalami luka-luka di sekujur tubuhnya mendapat perawatan paling utama.
Syukurlah, Gladis dan yang lainnya baik-baik saja.
"Edwin, Lo di mana, Win?" Gladis masih belum bisa bernapas lega.
Sampai saat ini, belum ada berita mengenai Edwin. Sampai, tim SAR yang baru datang dari arah lain tengah membawa kantung jenazah.
Sontak saja, keributan kembali terjadi.
Dan rupanya, itu memang mayat Edwin. Gladis tak kuasa menahan tangis. Begitu juga teman yang lainnya.
Berita itu terlalu menyakitkan bagi mereka semua.
Dada Gladis terasa sesak. Dia menekan kuat-kuat dadanya, lalu darisana dia sadar, bahwa di lehernya--tersembunyi dibalik baju serta jaket, tengah menggantung sebuah liontin.