Chereads / Kembali pada Pelukan Sang Pria Yang Tertinggal / Chapter 23 - Pertandingan Dimulai

Chapter 23 - Pertandingan Dimulai

Nadia melihat Rangga Perdana bersembunyi di belakang Ayu Lesmana, dan membuat dia sangat membenci Ayu Lesmana dalam hatinya, bahkan jika dia memang tidak menyukai Sigit Santoso.

Ini merupakan penghinaan bagi Nadia Santoso dan kakaknya.

Ayu Lesmana tertegun sejenak, dan ekspresinya sedikit bingung. Dia tidak menyangka bahwa itu adalah keputusan Sigit Santoso untuk tidak membiarkan Rangga Perdana memasuki tempat itu.

_ _ _ _ _ _

"Kenapa? Apa kamu takut?" Nadia Santoso mengangkat tangannya dan menampar Rangga Perdana lagi. Ayu Lesmana segera mundur ke samping dan membiarkan Rangga Perdana di tampar Nadia Santoso lagi.

Rangga Perdana masih tertekan dan Nadia Santoso menamparnya lagi, dan lagi, "Persetan dengan ibumu!" Rangga Perdana sangat marah dan berusaha memukul balik Nadia Santoso dengan punggung tangannya.

Ayu Lesmana mengangkat alisnya dan bergegas menahan Rangga Perdana, "Kak Rangga! Dia adalah adik perempuan Sigit Santoso!"

Rangga Perdana mengertakkan giginya, tetapi tidak berani melawan.

Ayu Lesmana mencibir dengan jijik dalam hatinya, membuktikan sekali lagi bahwa pengalamannya di kehidupan sebelumnya benar-benar buruk.

Ayu Lesmana kemudian mencoba membujuk.

Ayu Lesmana berkedip, lalu melihat ke arah Hardiono, "Tidak bisakah kami masuk? Aku pikir Sigit Santoso akan membiarkanku masuk."

Hardiono tercekik mendengar perkataan Ayu Lesmana dan Nadia Santoso hendak menyerangnya lagi. Tapi Hardiono mengulurkan tangan dan menangkapnya.

Dan kemudian Hardiono berkata, "Aku minta maaf, aku tidak seharusnya menelepon Nadia Santoso dan mengatakan kalau Sigit Santoso sudah kembali. Dan aku tidak tahu bahwa Sigit Santoso sudah kembali lagi ke barak setelah dua hari kembali, dan bahkan tidak meninggalkan pesan apa-apa untukku. Menyebabkanku berurusan dengan Nadia Santoso sekarang."

"Jika kamu ingin menelepon Sigit Santoso, aku bisa memberitahunya." Ayu Lesmana menambahkan.

Hardiono mengerutkan kening dan menatapnya, tapi Ayu Lesmana kemudian menunduk dan penampilan mengancam sebelumnya telah menghilang dalam dirinya.

Hardiono menggelengkan kepalanya dan melihat bahwa Ayu Lesmana masih tidak peduli dan tidak tahu bagaimana Sigit Santoso menyukai wanita seperti itu.

"Tidak, kamu bisa masuk." Hardiono melambaikan tangannya.

"Hardiono!" Ekspresi Nadia Santoso terkejut dan meledak.

Hardiono menyeretnya, "Ikutlah denganku!"

Hardiono tidak ingin Nadia Santoso mengacau lagi kali ini, lalu menyeretnya pergi.

Nadia Santoso masih berjuang melepaskan dirinya dari Hardiono.

"Sial!" Rangga Perdana mengutuk setelah melihat mereka pergi, "Itu adiknya Sigit Santoso?! Ada apa dengannya?"

Ayu Lesmana meliriknya, lalu mengulurkan tangan dan menarik lengan baju Rangga Perdana, "Kak Rangga, jangan marah."

"Jangan ganggu aku!" Rangga Perdana tiba-tiba menepis tangan Ayu Lesmana.

Rangga Perdana kemudian mengangkat kakinya dan berjalan ke dalam tanpa memperhatikan Ayu sama sekali.

Ayu Lesmana menyisir rambutnya dan tidak ada ekspresi di wajahnya. Setelah beberapa langkah, dia menarik sudut mulutnya dengan mengejek dan mengikuti perlahan.

Bang Edi, yang berdiri di meja depan, sedikit terkejut. Dia melihat Ayu Lesmana berjalan masuk dengan santai, mengangkat tangannya dan mengusap matanya. Dia merasa bahwa Ayu Lesmana agak menakutkan... Baru saja Ayu Lesmana tersenyum sedikit genit di hadapan Rangga Perdana dan sekarang penampilannya sudah berbeda.

Ada boks-boks tetap untuk pertandingan di aula biliar. Ketika mereka masuk, banyak orang yang sudah bermain.

Begitu Rangga Perdana memasuki arena, beberapa anak muda menyambutnya. Beberapa dari mereka juga menyebut Rangga Perdana sebagai guru.

Ayu Lesmana menatap tempat itu dengan cepat dan menemukan beberapa wajah yang tidak asing lagi, semua orang kaya generasi kedua di keluarga mereka. Tetapi ketika dia bertemu orang-orang ini di kehidupan sebelumnya, mereka sudah menikah dan memiliki anak. Mereka telah menjadi kaya dan memiliki kepala botak. Ayu tidak begitu berhubungan banyak dengan mereka, jadi dia tidak bisa menyapa orang-orang itu satu per satu.

"Rangga, kamu datang sedikit terlambat hari ini. Sudah dua pertandingan berjalan." Seorang pemuda yang bertugas di dalam ruangan itu menyapa Rangga Perdana.

Rangga Perdana melepas jaket seragam sekolahnya dan tersenyum, "Ada urusan yang tertunda."

"Apakah kamu akan bertanding sekarang?" Pemuda itu lalu menunjuk ke tempat uang yang disimpan di dalam arena.

Rangga Perdana mengangguk, mengambil uang sepuluh ribu dari saku celananya dan memasukkannya ke sebuah nampan.

Jelas itu hanya selembar uang sepuluh ribu, tapi rasanya dia baru saja mengeluarkan uang sepuluh juta.

Ayu Lesmana memegang tangannya dengan tenang di samping Rangga, dia memperhatikan dua orang yang sedang bermain di atas meja, setiap kali dia memasukkan bola, tepuk tangan pecah di sekitarnya.

Suasana panas di ruangan itu karena kerumunan orang dan asap rokok membuat mata Ayu Lesmana sedikit perih dan tidak nyaman.

"Siapa gadis itu? Apakah kamu yang membawanya ke sini?" Seorang pria yang sedang menyaksikan pertandingan bertanya pada Rangga Perdana saat menatap Ayu Lesmana.

Ada juga beberapa wanita cantik yang berada disitu sebelum Ayu Lesmana datang, dan mereka semua menjadi pusat perhatian. Tapi sekarang ketika seseorang menyebut Ayu Lesmana, semua orang kemudian menatapnya.

Luar biasa.

Para Laki-laki di ruangan itu semuanya adalah orang yang berkecimpung di bidang sensual. Dan mereka biasanya melihat wanita yang lebih glamor dan gerah dan bosan dengan semua itu. Tapi tiba-tiba melihat Ayu Lesmana, dengan seragam sekolah dan tubuh yang indah serta wajah yang cantik, membuat mereka semua terpana.

Melihat tatapan semua orang, Rangga Perdana tiba-tiba terlihat sombong di wajahnya. Dia berjalan dan mengulurkan tangannya untuk memegang bahu Ayu Lesmana, "Iya, teman sekolahku."

"Rangga, semoga berhasil!"

Rangga Perdana tersenyum, "Tenang saja, aku tidak mungkin kalah."

Beberapa pria tersenyum, "Rangga, semoga beruntung."

Rangga Perdana tersenyum bahagia. Penampilannya yang penuh kemenangan terlihat sangat sombong, dan membuat orang lain sangat tidak nyaman.

Ayu Lesmana hanya berdiri di sampingnya dengan tenang dan tidak mengatakan apa-apa. Dia telah menjalani hidupnya sebelumnya dan bertemu banyak pejabat dengan Sigit Santoso.

Sedangkan Rangga Perdana memang terbiasa dengan pujian orang lain, terutama teman sekelas perempuan di sekolah. Rangga juga selalu menjadi bos kecil di desa, dan selalu ingin menjadi tokoh sentral dengan mendengar pujian dan kekaguman dari orang lain.

Tetapi Ayu Lesmana tidak pernah mengira bahwa anak muda disini semuanya adalah anak-anak dari keluarga kaya. Mereka tumbuh dengan mengenakan emas dan perak, dan dilahirkan dengan ketinggian yang mulia. Bagaimana mungkin mereka bisa dibandingkan dengan Rangga Perdana.

Satu pertandingan telah berakhir, dan pemenangnya adalah seorang anak lelaki berkacamata, yang terlihat seperti siswa sekolah menengah atas, dan Rangga Perdana kemudian membuat isyarat dan berjalan maju.

Orang di seberang menatapnya dengan kekaguman di matanya, "Rangga Perdana, aku telah lama menunggumu datang."

Rangga Perdana tersenyum, "Terima kasih, aku akan bermain dengan baik, dan berusaha untuk tidak mengecewakan Anda."

Petugas kemudian menysun bola di atas meja, lalu menatap Rangga Perdana dan kemudian melangkah mundur.

Rangga Perdana memberi isyarat dengan mengangkat tangannya kepada lawan di seberang, "Silahkan, kamu yang duluan."

Pihak lawan menerima isyarat itu dan langsung memukul susunan bola hingga menyebar ke seluruh permukaan meja biliar, lalu kemudian memukul bola merah dan langsung masuk dalam satu tembakan. Dan pergi lagi untuk memukul bola kuning. Bola kuning adalah yang paling dekat ke lubang. Anak laki-laki itu kemudian membetulkan kacamatanya sebelum memukulnya.

Bola kuning itu menggelinding di atas meja, lalu bergerak sedikit melewati lubang itu.

Rangga Perdana tertawa, "Apakah babak ini dihitung sebagai pemanasan?"

Dia hanya perlu melakukan satu pukulan lagi untuk mendapatkan dua poin.

Anak laki-laki berkacamata itu tersenyum kecut dan telapak tangannya penuh keringat.