"Kakak, kakak ipar, apa yang kalian lakukan di dalam rumah? Kenapa pintunya ditutup?" Teddy Lesmana membuka mata bulat besarnya dan menggaruk bagian belakang kepalanya dengan bingung, sama sekali tidak dapat memahami mengapa mereka berdua didalam rumah dan menutup pintunya.
Daun telinga Ayu Lesmana terlihat memerah, dan dengan terbatuk-batuk berjalan mendekati meja dan meletakkan cangkir di tangannya di atas meja, tangannya terasa kaku agak mati rasa.
Ayu memegang tangannya yang sakit dan kemudian melihat ke Teddy Lesmana, "Apakah kamu sudah menemukan Jamal?"
"Ya." Teddy Lesmana berkata dengan kesal setelah mengatakan itu, dan mengerang, "Kakak, apakah kita akan melawannya? Memukul dia? Apakah kamu ingin aku mencari kayu atau semacamnya untuk memukulnya?"
"Tidak, kerjakan pekerjaan rumahmu sekarang." Ayu Lesmana mendorong tangan Teddy, lalu membuka laci. Ada kantong plastik di dalam laci dengan sekantong permen, Ayu kemudian mengambil beberapa bungkus keluar.
"Kakak, apa yang kamu lakukan? Kamu tidak ingin memberinya permen bukan?!" Teddy Lesmana terkejut saat Ayu mengambil permen dari dalam laci.
Teddy tidak tahu apa yang akan dilakukan kakak perempuannya, tetapi Jamal sudah menghancurkan tanaman di kebun mereka.
"Jangan khawatir tentang itu!" Ayu Lesmana menatap Teddy dengan serius.
Tatapan Ayu sangat serius, dan langsung mendiamkan Teddy Lesmana.
Ayu Lesmana mengangkat kelopak matanya dan menaruh semua amarahnya di wajahnya.
Ayu Lesmana mengambil permen itu dan berjalan keluar. Beberapa anak berusia lima atau enam tahun sedang berdiri di halaman luar rumah. Ayu Lesmana tidak dapat mengenali satu pun dari mereka. Dia tersenyum dan melihat ke arah sekelompok anak itu, dan berteriak dengan manis: "Jamal."
Anak lelaki gemuk menggunakan baju berwarna abu-abu itu bereaksi dan menatapnya dengan waspada.
"Apa yang akan kamu lakukan?"
Senyum Ayu Lesmana menjadi lebih manis, "Jamal, apakah kamu tadi datang ke kebun lobak belakang rumah?"
Jamal menjadi lebih waspada, dan kakinya yang gemuk mundur selangkah secara langsung, "Tidak! Kebun apa? Aku tidak tahu apa maksudmu."
Dia jelas masih seorang bocah berusia lima atau enam tahun, tetapi telah belajar untuk berbohong.
Bola matanya berputar terus menerus, membuat Ayu Lesmana tidak tahu sudah berapa banyak kebohongan yang tersembunyi di dalamnya.
Ayu Lesmana mencibir di dalam hatinya, tetapi lalu menunjukkan ekspresi penyesalan di wajahnya, "Jadi, apakah kamu tahu siapa yang tadi datang ke kebun kita? Dia sudah membantu kami di rumah dan adikku ingin memberinya permen. Terima kasih banyak ya."
Ayu Lesmana kemudian menghela nafas, "Kakak mengira itu kamu, jadi kakak sudah menyiapkan semua permen ini."
Dia membentangkan tangannya dan terlihat beberapa permen warna-warni di telapak tangannya.
Mata Jamal di wajah yang berlemak itu tiba-tiba bebinar. Dia menjilat bibirnya dan mulai terprovokasi., "Dia mengeluarkan tanaman mu dari tanah, tapi mengapa kamu ingin berterima kasih padanya?"
Anak ini benar-benar pintar.
Ayu Lesmana kemudian tertawa, "Karena tanaman-tanaman itu memang dimaksudkan untuk ditarik keluar, ibuku memintaku untuk menariknya keluar beberapa hari yang lalu, tetapi aku malas dan tidak mau. Tapi aku tidak menyangka ada orang yang akan membantu secara gratis malam ini."
Jamal dan anak-anak lain saling menatap
"Benarkah?"
"Tentu saja itu benar. Kenapa aku berbohong padamu? Tidak ada gunanya aku berbohong padamu." Ayu Lesmana mendengus, berdiri tegak, dan menatap mereka seperti anak kecil,
"Apa kalian tidak tahu, bukankah kita memang harus mencabut sayuran pada akhirnya? Lihatlah rumah kepala desa pada musim panen setiap tahun, bukankah dia sering meminta orang untuk membantu mencabut sayuran-sayuran itu? Mereka yang membantu pekerjaan bisa mendapatkan puluhan ribu setiap harinya. Tidak ada kepala desa yang tidak punya uang dan tidak mampu mempekerjakan orang, karena butuh banyak waktu untuk mencabut semua sayuran itu."
Setelah selesai berbicara, Ayu melirik mereka lagi dan anak-anak itu terlihat kebingungan.
Ayu Lesmana menyipitkan matanya, "Ngomong-ngomong, apakah Rangga Perdana yang meminta bantuanmu?"
Kalimat itu membuat Jamal dan yang lainnya mengangkat mata.
"Bagaimana kamu tahu?" Jamal kemudian bertanya.
Ayu Lesmana tersenyum semakin dalam, "Karena dia menyukaiku, dia mencintaiku, dia pasti tidak ingin melihatku bekerja keras."
"Tapi kak Rangga berkata dia ingin memberi kamu punya pelajaran! "Jamal membalas dengan keras.
Biasanya Rangga Perdana sering membeli makanan ringan dan memberikannya kepada anak-anak ini jika mereka sedang ingin makan. Oleh karena itu, Rangga Perdana sangat terkenal di antara anak-anak ini, yang setara seperti seorang raja untuk anak-anak.
Sedangkan Ayu Lesmana adalah gadis yang lemah lembut di pandangan anak-anak ini. Mereka memandang rendah gadis-gadis di usia seperti ini.
Ketika raja anak-anak menurunkan status mereka untuk anak perempuan dan mahkota raja itu akan segera menghilang, dan Rangga tentu saja akan mempertahankan statusnya sebagai raja anak-anak.
"Itu karena dia malu." Ayu Lesmana membela diri dengan tenang.
Kemudian dia tersenyum dan melihat mereka, "Ngomong-ngomong, permen ini harus diberikan kepada kalian. Karena perman ini adalah hadiah untuk kalian semua."
Permen di tangan Ayu sangat menarik dan penuh tipuan. Jamal menatapnya cukup lama sebelum melangkah maju untuk mengambilnya.
Ayu Lesmana tersenyum pada mereka, "Terima kasih banyak. Ngomong-ngomong, kalian bisa membantu lagi lain kali. Semakin bersih kebun itu makan kan semakin banyak pahala kalian. Aku biasa membantu rumah kepala desa dan kepala desa memberiku beberapa coklat sebagai hadiah!"
"Cokelat!"
"Iya!" Ayu Lesmana tersenyum manis dan tulus.
Jamal saling memandang dengan anak-anak lain.
"Apa itu coklat?" Ada anak-anak yang bahkan tidak tahu apa itu coklat.
Jamal segera menjawab, "Bodoh! Cokelat adalah permen, tapi diimpor dan hanya ada di Amerika Serikat!"
"Wow." Tatapan anak-anak lain penuh dengan rasa iri.
"Ayo pergi." Jamal mengambil permen itu dan mengabaikan Ayu Lesmana, lalu berlari keluar halaman bersama anak-anak lainnya.
Ayu Lesmana memperhatikan mereka pergi semakin jauh dan senyum di wajahnya menghilang perlahan.
Karena mereka adalah anak-anak dari desa yang sama, tidak mungkin bagi keluarganya untuk membuat onar, karena selalu saja ada seseorang yang bisa membuat onar di desa itu.
Dia berbalik dengan cuek dan bertemu dengan tatapan Sigit Santoso.
Dia terkejut, raut wajahnya agak bingung.
Sigit Santoso berdiri di depan pintu. Setelah beberapa saat, dia kemudian melangkah keluar dan berjalan mendekati Ayu Lesmana.
Dia mengangkat tangannya dan menyentuh kepala Ayu, "Kerja bagus." Dia memahami maksud Ayu Lesmana tadi hampir seketika, saat Ayu memberi anak-anak itu permen.
Jika Ayu Lesmana mengajar mereka kali ini dan memberitahu mereka bahwa yang mereka lakukan salah, mereka tidak hanya tidak akan mendapatkan kompensasi apapun, tetapi juga orang tua mereka akan datang dan mengatakan bahwa Ayu telah menindas anak-anak mereka.
Tetapi beritahu anak-anak itu bahwa yang mereka lakukan benar, dan beri mereka penghargaan, mereka akan berpikir bahwa perilaku mereka benar dan bisa mendapatkan hadiah, sekarang selama mereka bekerja lebih keras, seseorang akan memberi mereka hadiah atas kerja keras mereka. Begitulah seharusnya mendidik manusia sedari kecil.
Pertama kali Sigit Santoso memandang Ayu Lesmana, ada rasa penghargaan yang kuat di matanya.
Dia jatuh cinta dengan Ayu Lesmana pada pandangan pertama, tetapi perasaannya saat ini lebih merasa Ayu Lesmana sebagai miliknya.
Dan sekarang, Sigit Santoso sepertinya menyadari bahwa jantungnya kali ini berdebar-debar.