Chereads / Cintai Aku Walau Sejenak / Chapter 27 - Rasa tuk ingin peduli

Chapter 27 - Rasa tuk ingin peduli

"Tidak ada yang sedang terjadi, dan aku tekankan sekali lagi padamu, Larissa. Jangan meminta Kya melakukan tugasmu yang seharusnya bukan tugasnya. Kamu masih memiliki tangan dan kaki yang lengkap, jadi urus saja sendiri, dan ini juga masalah cinta atau tidak tetapi karena sikapmu sudah berlebihan. Dia bukan pembantu walaupun kita semua tahu kedatangannya hanya akan dimanfaatkan hartanya bukan tenaganya, paham?" Gary menegaskan bahwa semua itu adalah perbuatan yang salah.

Namun, adik kandungnya itu semakin keras kepala, dan bahkan hanya bisa menatap dengan penuh ketidak percayaan di saat kakaknya memarahinya.

"Wow! Aku bahkan sampai terkejut sekarang. Kakak juga berusaha membuat Kya betah di sini, ya ampun aku pikir cinta sudah membuatmu buta, benarkan? Kalau begitu mudah saja kalau aku akan memberitahukan kepada Sera bahwa ternyata kakak telah memiliki istri," ancam Larissa tanpa ada rasa takut sama sekali.

Lagi-lagi Gary merasa bingung dengan ulah adiknya itu yang sama sekali tidak bisa dibilang. Ia pun geram dan ingin marah, namun ia tahu bahwa amarahnya hanya akan membuat dirinya sendiri yang salah, dan terlebih Larissa yang selalu menjadi putri kesayangan ayahnya.

"Jangan lakukan hal bodoh karena itu sama saja dengan membuat daddy marah denganku. Tapi, sepertinya memang Daddy yang harusnya membuatmu lebih mengerti. Sudahlah aku benci keributan ini, lebih baik pergi saja dengan cepat ke London. Lama-lama aku kesal denganmu," cetus Gary yang sudah merasa muak akan sikap semena-mena adiknya itu.

"Aku ini adikmu, kak. Di saat aku pergi kamu selalu memintaku untuk pulang, tapi sekarang kamu ingin aku lebih cepat menghilang dari sini. Aku yakin sekali, kalau aku tidak ada kamu akan merindukanku. Awas saja aku akan mengadu kepada Daddy!" ancam Larissa.

"Ya ngadu saja sana. Memang itu yang bisa kamu lakukan." Gary pun pasrah. "Sudah besar, tapi selalu ingin mengerti tanpa bisa mengerti dengan orang lain," gumam Gary.

"Tapi, apa benar Larissa akan pergi ke makam papanya? Ah untuk apa aku harus peduli?"

Gary pun tak ingin memberatkan pikirannya dengan hal yang tidak berguna, dan memilih untuk mengambil ponselnya saat itu. Namun ternyata, ada sebuah pesan masuk yang belum sempat terbalaskan serta panggilan masuk yang juga tidak ia lihat.

"Ben? Oh jadi anak itu telah kembali?" gumam Gary ketika melihat isi pesan tentang seorang pria yang selalu menjadi tangan kanannya itu telah pulang kembali dari kampung halamannya. Isi pesan berisi tentang meminta pertolongan agar Gary mau menjemputnya di bandara.

"Ada-ada aja pulang-pulang kok minta dijemput? Dia yang bos atau aku? Heran." Gary mengomel, dan berusaha kembali untuk memanggil ulang.

"Hallo, Ben. Kamu serius mau dijemput? Kok kaya gadis manja gitu sih? Enggak sekalian minta digendong, hah? Ada-ada saja kamu. Udah sana naik taksi kek atau apa gitu kan banyak yang bisa kamu naikin."

"Ampun, Tuan Muda. Kebetulan dompet saya kecopetan, mungkin saat saya tinggal pas buang air sebentar tadi. Ayo dong, please! Tuan Muda, jemput saya ke sini, kasian kan sama saya." Ben Bagas mencoba memohon.

"Iya deh iya!" Gary pun terpaksa, dan memang ia juga tidak tega kalau harus membiarkan orang kepercayaannya itu merasa kebingungan di jalanan.

Terdengar tawa lepas dari Ben Bagas di saat Gary mengiyakan permintaannya itu. Gary segera bergegas pergi untuk menjemput, dan lima belas menit kemudian ia pun sampai.

"Haduh ... bawa mobil nih," perintah Gary.

"Siap, Tuan Muda." Ben mengacungkan jempolnya dengan senyum ceria.

"Oh ya, Tuan Gary. Kebetulan semenjak saya berada di kampung halaman, kebetulan ada sebuah perusahaan yang ingin bekerjasama dengan kita, dan ternyata dia juga ingin menanam saham dalam jumlah yang besar. Jadi, bagaimana, Tuan Gary, apakah saya mengiyakan saja untuk kita bisa membuat pertemuan dengan perusahaan tersebut?" tanya Ben yang memang sekaligus menjadi tangan kanan Gary dalam segala bidang sembari ia terus mengemudi.

"Kedengarannya menarik sekali, memangnya apa nama perusahaannya itu dan siapa nama pemiliknya?" tanya Gary yang merasa menarik hati dengan tawaran kerjasama itu. Ia terlihat sangat penasaran.

"Nama perusahaannya adalah Cahya Helsen Company, dan pemiliknya setahu saya bernama Jeon Helsen, Tuan Gary. Sepertinya dia ingin sekali bekerjasama dengan kita karena sempat beberapa kali dia mengirimkan tawaran kerjasama itu bahkan saya sudah membuat jadwal waktu tertutup di waktu itu," jelas Ben.

"Jeon Helsen? Sepertinya aku pernah mendengarnya. Kamu tahu dengan profilnya tidak?"

"Tidak tahu, Tuan Gary. Tapi, coba saja nanti saya akan mencari tahunya. Lalu sekarang apakah kita akan segera pulang ke rumah atau ingin mengunjungi tempat yang lainnya, Tuan?"

"Kita ke arah pemakaman papanya Kya. Aku ingin melihat untuk apa dia ke sana," perintah Gary.

"Siap, Tuan Gary."

Di sisi lain, Kya tidak lupa menghentikan mobilnya di sebuah toko bunga yang indah. Ia ingin memberikan hadiah untuk papanya, dan juga bingkai foto cantik yang juga tidak ingin ia lewatkan. Dalam kesempatan itu, Kya juga berharap papanya dapat melihat kondisinya yang sekarang walaupun sudah berbeda alam.

Setiba di pemakaman, Kya terlihat bersedih, dan air matanya kembali berjatuhan ketika menatap kearah batu nisan yang bertulisan nama seorang pria yang selama ini menjadi penguat dalam hidupnya.

POV Kya Christine.

Hai, Papa. Aku datang untukmu, dan aku harap Papa bisa melihatku di sini. Bunga ini aku bawakan khusus seperti bunda yang selalu sama untuk bunda. Walaupun sampai kini, aku juga tidak tahu di mana keberadaan bunda yang sebenarnya, ibu kandungku sendiri. Entah bagaimana caranya aku bisa bertemu lagi dengan bunda.

Tapi, apa Papa tahu kalau sekarang ini aku telah menikah dengan pria yang awalnya aku kira dia adalah harapan baru untukku, namun akhirnya aku menyadari kalau sikap manjaku itu tidak semua bisa diterima dengan mudah oleh banyak orang, dan terutama dengan suamiku sendiri. Namanya Gary, dia pria yang sangat tampan sekali, Papa. Namun, aku sadar bahwa mungkin saja di dalam hatinya masih belum tersimpan namaku sepenuhnya.

Kini, hanya di sinilah tempat agar aku bisa menceritakan segalanya, walaupun sebenarnya aku sangat menginginkan pelukan dan perhatian sepenuhnya untukku seperti yang dulu Papa berikan.

Tapi, jujur meskipun sekarang semuanya terjadi seperti ini, namun aku merasa bahwa pilihan Papa itu sudah benar. Meskipun hati kecilku begitu menginginkan sebuah keluarga yang utuh, dan bisa memberikan kebahagiaan untuk sendiri. Akan tetapi, aku tahu jalan hidupku ini pasti memperlihatkan sebuah kebahagiaan di depan sana.

Rasanya sekarang, aku benar-benar merindukan mu, Papa, andaikan saja aku kembali bisa memeluknya dari dekat.