Chereads / Pernikahan Tanpa Sentuhan / Chapter 2 - Puspa? siapa wanita itu

Chapter 2 - Puspa? siapa wanita itu

Mas Biru tampak kesulitan menjawabnya. Bibirnya sulit untuk digerakkan. "Itu, anu. Em, iya semalam aku ketiduran di kamar sebelah. Usai meeting sama klien," jawabnya terlihat gugup. Bahkan, pandangan matanya menatap ke arah lain.

Apa aku harus percaya dengan pengakuannya itu. Rasanya sulit, dan tidak meyakinkan. Disela-sela lamunan, Mas Biru kembali bersuara. "Udah, gak usah banyak mikir gitu. Aku gak mungkin aneh-aneh," ucapnya, menepis rasa curiga yang sempat memenuhi hati ini.

"Jadi, Mas Biru itu meetingnya di hotel ini juga?" Aku berusaha percaya. Meski, masih ragu.

"Iya, Kinan. Tadi malam lupa mau ngabarin," jawabnya meringis kuda. "Aku mandi dulu, ya? Habis itu kita cari sarapan," sambung pria itu, buru-buru pergi ke kamar mandi.

Pekerjaannya sebagai CEO dari perusahaan yang sekarang ia pimpin. Menjadikan Mas Biru sedikit sibuk dalam pekerjaannya. Sampai-sampai ia harus mengorbankan momen penting kami, tadi malam.

Putra pertama dari Wira Admadja dan Arumi Bawen. Menjadikan pria itu sosok yang bertanggung jawab dalam segala hal. Termasuk kemajuan perusahaan keluarga mereka.

Aku sendiri tidak keberatan dengan hal itu. Dari sebelum kami menikah, aku sudah tahu pekerjaan suamiku seperti apa. Sebagai seorang istri, apapun yang dilakukan oleh pasangannya. Harus mendukung seratus persen. Yang terpenting masih dalam jalur yang tepat.

Selang berapa lama, Mas Biru keluar sudah mengenakan pakaian yang lengkap. Lelaki itu mendekatiku yang kebetulan sedang asyik dengan benda pipih yang aku pegang.

"Kinan," panggilnya, sangat merdu di telinga. Aku pun menoleh ke samping. Aroma dari lavender dari wangi sabun di tubuh pria itu menghipnotis diri, untuk memejamkan mata sejenak. Hingga aku tersadar, saat ia kembali bersuara. "Kejadian semalam, ibu sama bapak jangan ada yang tahu, ya?" sambung pria itu memohon.

Astaga, gak mungkin juga, kan. Aku mengatakan pada mereka. Yang ada, itu akan aku tutupi. Karena bagiku itu aib suami yang harus kita jaga. Mas Biru punya alasan lain. Yang membuat pria itu memilih menyelesaikan kepentingannya, dibanding melakukan malam pertama denganku. Karena momen itu, bisa kami lakukan kapanpun dan di manapun kami berada.

Aku tersenyum menanggapinya. "Gak mungkin lah, Mas. Aku cerita ke mereka," jawabku, ia tersenyum lega.

Sambil mengusap kepalaku, ia berkata, "terimakasih, ya? Kamu udah mau ngertiin posisi aku." Sumpah demi apa, hanya mendapat sentuhan kecil darinya. Darah ini berdesir hebat, meninggalkan rasa hangat di sekujur tubuh. "Kita cari makan, yuk!" ajaknya, mulai bangkit dari tempat duduk kami.

Aku tersadar, dari angan yang beberapa saat terlihat indah. Melihat sosok yang selama ini aku damba, nyata di depan mata. Membuat aku seolah tak percaya, dia adalah suamiku. Teman dalam hidupku, sekarang, nanti, bahkan selamanya. Aamiin, itu yang sejatinya selalu dalam anganku selama ini.

Awal mula aku tertarik padanya, saat keluarga kami melakukan pertemuan. Di situlah, aku kagum dengan sosoknya. Selain tampan, dia juga manis. Yang terpenting dia sangat bertanggungjawab. Terbukti, saat kunci mobil kami hilang entah kemana. Dengan suka rela, ia mengantarkan kami pulang ke rumah. Tipe suami yang idaman, bukan?"

"Aku udah terlanjur pesan makanan, Mas," jawabku tersenyum kuda.

"Simpan untuk nanti. Kita makan di luar aja," ujar pria itu, aku tak bisa menolaknya. Aku beranjak, menyambut uluran tangannya. Kami pergi bersama, untuk mengisi perut yang sudah sangat lapar ini.

"Kamu mau makan, apa?" Pria itu kembali bertanya.

"Apa aja, Mas. Yang penting makannya sama kamu." Ups, bibirku keceplosan. Ya ampun, aku ini ngomong apa sih. Kan jadi malu, kalau kek gini. Em, sekarang Mas Biru pasti wajahnya bersemu merah, habis kena gombalan dari aku, sih.

Kupandangi wajahnya yang tampan. Tampak biasa-biasa saja. Bahkan datar seperti jalan tol, yang bebas tanpa hambatan. Em, aneh sih menurutku. Tapi, ya sudahlah. Aku gak mau ambil pusing dengan masalah itu. Yang penting, dia sekarang milikku. Selamanya akan tetap menjadi milikku.

**************

Sebuah resto, yang letaknya hanya beberapa kilometer dari hotel kami menginap. Menjadi pilihan Mas Biru. Kami berdua masuk ke dalam. Kebetulan, tempatnya sedikit senggang. Mungkin, waktunya yang nanggung. Jam makan siang belum waktunya, sedangkan jam sarapan sudah lewat sejak tadi.

"Kita makan di sini aja, ya!" seru Mas Biru menunjuk kursi kosong, di sebelah jendela.

"Iya, Mas." Aku mengangguk, kami pun duduk di tempat itu. Tak berapa lama, pelayan datang. Menawarkan menu yang dijual di sana.

"Kamu mau apa?" Mas Biru bertanya padaku, sambil membuka buku menunya.

"Samain aja, Mas,", jawabku singkat.

"Ya udah, saya pesan roti bakar selai kacang cokelat dua. Sama minumnya teh hangat aja," sebut Mas Biru memilih menu yang akan kami makan.

"Baik, Pak. Saya siapkan dulu," ujar pelayanan itu, pergi.

Ekor mataku mengelilingi tempat ini. Sangat nyaman untuk sekedar bersantai dengan pasangan. Selain itu, menu-menu yang ditawarkan cukup lengkap. Ada makanan pembuka, menu utama, dan disert sebagai menu penutup juga ada. Sepertinya, tempat ini sering di kunjungi oleh Mas Biru.

"Aku ke toilet dulu, ya?" ucapnya pamit padaku. Lelaki yang memakai celana jeans biru, dan kaos distro lengan pendek berwarna putih berjalan ke arah barat. Setelah sampai di depan kasir, ia belok ke kanan. Berarti, benar dugaan aku. Mas Biru sudah sering ke tempat ini.

Sembari menunggu makanan dan Mas Biru. Aku membuka gedgedku yang sejak tadi berbunyi. Banyak notif pesan lewat WhatsApp masuk. Semua isi pesannya ucapan selamat atas pernikahan kami. Yang menarik perhatian aku adalah pesan dari salah satu temen kuliah yang ada di grup. Dia mengomentari foto yang aku share di sana. Foto pernikahan aku dengan Mas Biru.

[Kinan, keknya wajah suami kamu gak asing deh buat aku]

Tina, mengirim balasan postingan aku di grup. Sontak, membuat mata ini terbelalak, dengan alis saling menyaut.

[Masa sih]

Aku pun membalasnya. Selang beberapa detik, terlihat di layar Tina sedang mengetik balasan.

[Iya, aku baru ingat. Dia itu cowok yang dibawa sepupu aku di hari pernikahan kakakku, tiga hari yang lalu]

Membaca balasan dari Tina, hatiku sedikit panas. Pikiran ini mulai tak terkendali. Mulai menebak-nebak apa yang terjadi. Antara ingin percaya dan tidak. Akan tetapi, aku tidak boleh diam saja. Tidak ada salahnya jika aku bertanya langsung pada Mas Biru. Yang kebetulan sudah sampai di meja. Ku simpan benda itu ke dalam tas, saat Mas Biru sudah ada di hadapanku.

"Belum datang, ya?" tanyanya, fokus melihat ke meja.

"Belum, Mas."

Tak berapa lama, ada seorang wanita yang seumuran dengan Mas Biru menegur kami.

"Biru," tunjuk wanita itu ragu-ragu. "Kamu Biru, 'kan?" Kemudian bertanya untuk menyakinkan dirinya.

"I--ya," jawab suamiku dengan wajah yang gugup. Seperti maling yang tertangkap basah.

"Wah, gak nyangka ketemu di sini. Oh, iya. Mana, Puspa? Kok kamu gak sama dia?"

Pertanyaan dari wanita itu semakin membuat Mas Biru merasa tersudut. Entah apa yang ditakutkan oleh suamiku ini. Aku sendiri juga bingung.