"Bilang ke ibu sama bapak, agar kita bisa tinggal berdua. Gak di sini. Aku harap kamu bisa membujuk mereka," pintanya, setengah memelas.
Mas Biru memang penuh kejutan. Aku sendiri tak bisa menyelami isi hatinya. Apa yang sedang ia rencanakan, saat ini.
"Tapi kenapa harus aku, Mas. Kenapa, gak Mas sendiri yang ngomong?" Kutatap wajahnya yang memperlihatkan kegusaran. Apa tujuan Mas Biru ingin tinggal di rumah sendiri. Padahal, orangtuanya sudah memberi ultimatum. Jika kami menikah, kami akan tetap tinggal di sini.
Lelaki pemilik senyuman manis itu berdiri dari sofa. Melipat kedua tangannya di perut, sembari berjalan beberapa langkah dari kami duduk tadi.
"Tolong, Kinan. Jangan kamu tanyakan alasannya ke aku. Yang jelas, aku punya alasan sendiri untuk melakukan itu. Maaf, aku belum bisa mengatakannya padamu, sekarang!" seru Mas Biru dengan nada tegas. Kemudian, berlalu pergi meninggalkan seribu pertanyaan di benakku.
Apa yang sebenarnya sedang disembunyikan oleh Mas Biru padaku?
**********
Setelah perdebatan kecil tadi, aku tidak menemukan Mas Biru di manapun. Seisi rumah ini, sudah aku telusuri. Semua orang juga sudah aku tanyai. Namun, tidak ada yang tahu kemana Mas Biru pergi.
"Kinan, suamimu belum pulang juga sampai sekarang?" tanya ibu mertua yang langsung masuk ke kamar. Karena pintu terbuka.
Aku segera beranjak dari tempat duduk, melihat kedatangan beliau. "Belum, Bu," jawabku jujur. Raut wajahnya nampak gusar, tak ada kabar dari putra sulungnya.
"Kemana, Biru? Apa kalian bertengkar?" Ibu kembali mencecar pertanyaan padaku.
"Kinan juga gak tau, Bu. Mas Biru gak pamit sama Kinan." Aku menjawabnya dengan gugup. Tak enak hati, baru satu hari menjadi menantunya. Aku sudah membuat masalah di rumah ini.
Hati ibu mana yang tak khawatir. Hari sudah semakin larut. Sedangkan kami baru saja melangsungkan pernikahan. Seharusnya, saat ini sedang mesra-mesranya. Akan tetapi, Mas Biru pergi tanpa pamit dan kasih kabar.
"Ya Allah, sudah lima jam lebih Biru pergi. Sampai sekarang, hpnya juga di nonaktifkan. Kemana anak itu?" gumam beliau cemas.
Tak berapa lama, terdengar derap langkah kaki ke arah kami. Ibu langsung bangkit dari duduknya. Mengira orang tersebut adalah Mas Biru. Wajahnya sudah semringah. Namun, hanya dalam hitungan detik. Wajahnya kembali suram. Saat mendapati Pelangi yang datang.
"Bu ..., Mbak Kinan. Mas Biru, Bu," ujar Pelangi dengan nada cemas.
"Ada apa, ini?" Ibu langsung melempar tanya, pada anak bungsunya. "Ada apa dengan Biru?"
**************
Pelangi mengajak kami berdua ke ruang tamu. Gadis remaja yang baru menginjak usia lima belas tahun itu, tak sanggup berkata-kata. Sontak kekhawatiran Ibu semakin menjadi, takut terjadi sesuatu pada anak lelakinya.
"Biru!" pekik Ibu mendapati Mas Biru terkulai di sofa dengan mata tertutup rapat. Namun, bibirnya sesekali mengigau. "Apa yang terjadi padanya!" sambung wanita itu, mendekat.
"Mas, bangun!" Aku yang lebih dulu sampai, menepuk pipinya pelan. Bau menyengat dari tubuh dan wajahnya, sudah dapat ku pastikan. Mas Biru sedang mabuk, sekarang.
"Kinan, pergi kamu Kinan!" Mas Biru meracau, menyebut namaku. "Pergi kamu dari hidupku."
Kalimat yang baru saja aku denger, sedikit menggelitik di hati. Bagaimana tidak? Mas Biru seolah menunjukkan permasalahan rumah tangga kami di hadapan keluarganya. Termasuk, di depan Ibu. Wanita paruh baya itu langsung menatapku dengan tatapan menuntut.
"Maaf, Bu. Kinan bawa Mas Biru masuk dulu, ya?" Aku segera merangkul pundak Mas Biru, membantunya bangun. Segera kubawa pria ini pergi dari sana.
"Hati-hati, Kinan!" pesan Ibu, saat melihat aku yang kesulitan memapah Mas Biru, pergi.
"Lepaskan aku!" sentaknya, kesal. Ia mendorong tubuhku nyaris jatuh ke lantai. Beruntung, ibu dan yang lain tidak melihatnya. Karena kami sudah berada di depan kamar.
"Mas, kenapa bisa seperti ini?" Kucoba untuk mendekat, lagi-lagi ia bersikap dingin. Bahkan, sorot matanya yang memerah menatap tajam ke arahku.
"Pergi, menjauh dariku!"
Aku tak bisa lagi berkata-kata. Air mata yang mulai jatuh, mewakili perasaan ini. Segitu rendah kah, Mas Biru menilaiku? Sampai-sampai tak mau melihat, bahkan menyentuhku.
Perlahan ia masuk ke dalam. Meski dengan tubuh yang sempoyongan, pria itu berhasil merebahkan diri di ranjang. Aku segera menyusulnya ke dalam, berniat membantu melepaskan pakaian yang menempel di badan.
Perlahan, aku melepaskan kancing kemejanya. Aku bisa melihat dengan jelas, bulu-bulu halus yang menempel di bidang dadanya saat kemejanya sudah terbuka.. Naluri ku sebagai seorang wanita tak bisa lagi disembunyikan. Bulu kudukku meremang, melihat otot-otot perutnya yang sispect. Hanya bisa menganggumi, sembari menelan ludah.
Selesai dengan kemejanya, aku berniat membantu melepaskan celana Mas Biru. Lagi-lagi, nyaliku kembali menciut. Melihat sesuatu yang menonjol di balik kain hitam yang membungkus bagian tubuhnya. Jika dilihat dari bentuknya, Mas Biru memiliki junior yang cukup besar.
"Astaga, apa yang aku pikirkan, sih! Bisa-bisanya di saat genting begini, aku memikirkan hal itu." Aku bermonolog sendiri, sembari berusaha membuka pengait ikat pinggang yang sedikit susah terlepas.
Belum juga berhasil, konsentrasiku harus terbagi dengan suara dering ponsel dari balik celananya. Membuat jiwa kepoku meronta. Untuk mencari tahu, siapa yang menghubungi suamiku malam-malam begini.
"Puspa?" Aku menyebut nama gadis yang dicintai Mas Biru. Ia mengangguk pasti, sorot matanya menggambarkan cinta yang besar untuk gadis itu.
Aku benar-benar tak mengerti dengan semua ini. Lelaki yang aku kenal baik, penyanyang, ternyata menyimpan rahasia yang besar dari keluarganya. Namun, dalam hati yang paling dalam. Sulit untuk mempercayai itu.
"Gak, Mas. Aku gak bisa terima semua ini!!"
"Apa maksud kamu, Kinan?" Manik matanya menuntut. "Kamu gak mau terima ini?" desisnya tersenyum getir. "Kamu pikir, kamu punya pilihan lain?" sambungnya dengan nada mengejek. "Gak, sama sekali. Kamu harus terima semua ini. Karena ini adalah buah dari kejahatan bapak kamu!!" Dengan lantang, dan penuh amarah Mas Biru menyudutkan aku.
Sakit, rasanya mendengar itu. Tidakkah ada pilihan lain, yang sedikit menyembuhkan hati ini. Selamanya, aku akan terjebak dalam pernikahan palsu ini. Yang tidak ada cinta dan kasih sayang di dalamnya. Akankah aku bertahan.
Derai air mataku, sama sekali tak dihiraukan olehnya. Pria pewaris perusahaan Cahya gemilang ini membuatku terpaku, akan ketegasannya. Namun, aku tak ingin menjadi korban dari masalah yang aku sendiri belum yakin kebenarannya.
"Gak, Mas!" tegasku, kali ini membuat dia tercengang. "Kamu bisa ceraikan aku, dan menikahi Puspa," ucapku dengan nada lantang, seolah tanpa beban di dalamnya. Padahal, aku tidak rela jika pernikahan ini harus berakhir. Namun, aku juga gak mau bertahan dalam keegoisan Mas Biru.
"Gak, Kinan!" sarkas Mas Biru tak terima. Pria itu menggeleng, menyimpan ketakutan yang membuat aku semakin yakin. Apa yang ia katakan tidak benar adanya.
"Kenapa, Mas? Pernikahan ini tidak kamu inginkan. Kamu mencintai wanita lain. Jadi, untuk apa dipertahankan?" tandasku, semakin membuat ia tak berkutik. Aku ingin mendengar, jawabannya setelah ini.
"Aku akan bilang ke orang tua Mas, semuanya. Termasuk kejahatan Bapak, seperti apa yang Mas katakan tadi!"
Aku mulai bergerak. Mas Biru langsung bertindak. Tangan ini ia tarik kuat. Sehingga, aku jatuh ke pelukannya. Mata kami saling bertemu. Debaran dalam dadaku masih sama, walaupun Mas Biru sudah menghinaku, memperlakukan aku seperti musuh. Namun, cinta yang sejatinya sudah ada dalam hati. Tak bergeser sedikit pun dari tempatnya.
Lama, kami larut dalam pikiran masing-masing. Aku sendiri tak bisa menebak, apa yang ada di kepala Mas Biru. Sehingga, ia tak melepaskan tubuhku dari dekapannya. Yang jelas, aku bisa merasakan detak jantungnya yang memacu cepat. Mungkinkah ia merasakan hal apa yang ada dalam hatiku. Ahh, naif. Itu tidak mungkin terjadi. Mengingat betapa menjijikannya diri ini di matanya.
"Aku gak akan membiarkan kamu pergi, Kinan!" Mas Biru tersadar dari angannya. Tubuh ini langsung terhempas ke lantai. Karena Mas Biru mendorongnya kuat.