"Aku gak akan pernah main-main dengan ucapanku, Kinan!"
Aku tidak boleh kalah, dan terlihat lemah di depannya. Jika itu terjadi, ia akan semakin memperlakukan aku semena-mena.
"Oh jadi ini, Mas! Di balik sikapmu yang lembut, yang kamu perlihatkan padaku sebelum menikah. Itu hanya tameng, untuk menutupi kebusukan kamu. Kamu menyimpan rahasia besar."
Keributan kami, sepetinya didengar oleh Ibu. Wanita itu mengetuk pintu kamar, dengan nada cemas ia memanggil, "Kinan! Biru! Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?"
Mas Biru semakin cemas, takut jika aku membongkar semuanya. Pria berhidung mancung itu bergerak dari tempat ia berdiri tadi, ke arah pintu.
"Biru!" ulang Ibu, belum mendapat sahutan dari kami.
Aku juga bingung harus seperti apa bersikap. Pilihannya hanya ada dua. Membongkar semuanya di depan keluarga, dengan konsekuensi berpisah dari Mas Biru. Atau justru menutup rapat dari mereka. Seperti yang diminta oleh Mas Biru tadi. Akan tetapi, aku juga gak mau dijadikan boneka olehnya. Jika memang harus bertahan dalam pernikahan ini. Yang aku mau, Mas Biru melupakan wanita itu. Dan membuka lembaran baru menjalin rumah tangga bersamaku, isteri sahnya.
"Ada apa, ini?" tanya Ibu lagi dengan nada bingung. Wanita yang memiliki tahi lalat di atas bibirnya itu mendekati aku. "Kinan, kamu nangis?" tanyanya, mengkhawatirkan aku.
"Emm, Kinan tadi cuma jatuh kok Bu. Mas Biru udah coba obati," timpal Mas Biru menjawabnya.
Wanita itu langsung merengkuh tubuhku. Membawaku duduk di tepi ranjang, dengan tangan yang mengelus rambut.
"Bener, kamu hanya jatuh?" Ibu memandang wajahku lekat, ada keraguan dalam dirinya. Mendengar ucapan Mas Biru.
"Iya, Bu. Kinan gak apa-apa," jawabku, menyeka air mata yang kembali keluar dari pelupuknya. Rasanya sakit, harus berbohong di depan orangtua.
"Ya sudah, kamu istirahat Kinan. Ibu khawatir terjadi apa-apa dengan kalian," pesan Ibu padaku. Membantu merebahkan diri ke ranjang.
"Terimakasih ya, Bu."
Beliau tersenyum hangat. "Ibu keluar dulu ya?"
Ibu bangkit dari ranjang, beralih menghampiri Mas Biru dengan tatapan yang tak bersahabat. "Ibu mau bicara sama kamu!" titahnya tegas, jalan lebih dulu. Di susul Mas Biru.
*********"*******
Aku masih berpikir keras, mencari solusi yang terbaik. Aku tidak mau jika rumah tangga yang aku impikan harus kandas hanya dalam hitungan hari. Tak berapa lama, Mas Biru masuk. Raut wajahnya terlihat kusut. Apa mungkin, Ibu memarahinya. Pria itu mendekat, duduk di bibir ranjang.
"Aku mohon sama kamu, rahasiakan semuanya dari Ibu." Suaranya terdengar parau, tak dapat lagi kulihat ketegasannya tadi.
"Maaf, Mas. Gak segampang itu aku melakukannya," sahutku, dengan nada lemah.
Entah apa yang disampaikan oleh Ibu. Sehingga bisa meluluhkan kerasnya Mas Biru. Apa aku harus berterima kasih, atau justru semakin menjadi beban.
"Kinan, tolong mengerti keadaanku?" sanggah pria itu, mulai panik. Ia memijit pelipisnya yang mungkin terasa nyeri.
"Mas juga harus ngerti keadaan aku?"
"Terus, apa maumu, Kinan?"
Mas Biru memberikan pilihan padaku. Ini waktu yang tepat untuk menguji seberapa besar cintanya pada gadis yang bernama 'Puspa' itu.
"Apa kamu sangat mencintai Puspa?" tegasku, dengan jantung berdebar-debar.
"Dia adalah cinta pertamaku, Kinan." Nada suaranya terdengar parau. Mas Biru terlihat lemah, jika sudah berhubungan dengan Puspa.
"Cinta pertama, bukan berarti menjadi cinta sejati, Mas. Kamu hanya belum membuka hatimu untuk wanita lain," ucapku, membuat dia menoleh. Menatap wajah ini dengan penuh tanya.
"Aku gak berniat membuka cinta baru untuk wanita manapun. Karena hatiku sudah terpaut namanya!" tandasnya, dengan nada parau.
"Jangan sombong, Mas. Tidak untuk sekarang, karena Mas Biru belum menemukan wanita itu. Aku yakin, aku bisa membuka hatimu. Menaburkan benih cinta yang baru. Karena aku isteri sahmu."
Entah, apa yang membuat aku berani mengatakan hal itu di depan Mas Biru. Perasaan cinta yang besar untuknya kah? Atau, aku tertantang untuk menyelami kerasnya hati pria di hadapanku ini. Yang jelas, semuanya sudah terbongkar sekarang.
"Heh," decihnya, tersenyum remeh. Tampak jelas dari sorot matanya, yang menganggap semua omonganku hanyalah sia-sia. "Kamu!!" tunjuknya, tepat di wajah ini. "Gak usah mimpi, Kinan!" Mas Biru kembali menyunggingkan senyumnya.
"Kenapa, Mas? Kamu gak percaya!" tantangku penuh keyakinan. "Aku akan buktikan, kalau aku bisa menyelami hatimu! Mengisi cintaku di sana!" tandasku lagi, semakin membuat ia terkesiap.
"Aku tawarkan dua pilihan sama kamu, Mas!" Aku sudah yakin, mengambil keputusan untuk tetap mempertahankan pernikahan ini. Aku punya cara sendiri untuk bisa mengambil alih semuanya. Tak akan kubiarkan orang yabg kucintai lepas begitu saja, dan menjadikan aku janda dalam hitungan hari.
"Yang pertama, aku akan bertahan dengan pernikahan ini. Tapi, Mas Biru harus belajar mencintaiku. Dengan cara, selama Tiga bulan Mas Biru gak boleh ketemu, atau berhubungan sama Puspa."
"Itu gak mungkin, Kinan. Jangan konyol, kamu!" Dengan tegas, ia menolaknya. Padahal, aku belum selesai berbicara.
Ku tatap tajam wajahnya yang merah. Penuh dengan amarah yang sejak tadi sudah meluap. Akan tetapi, tak sedikitpun membuat aku gencar, mundur satu langkah dari tujuanku.
"Berarti kaku memilih pilihan kedua, Mas!" Dengan tegas, aku mengatakan. Mas Biru sedikit melunak. Nampak jelas dari sorot matanya yang redup penuh tanya.
"Kita akhiri pernikahan ini, dan katakan semuanya pada keluarga!"
Aku tahu, ini adalah pilihan yang sulit. Yang akan diambil oleh Mas Biru. Aku tak punya pilihan lain. Aku tidak akan menyerah, sebelum berjuang. Bagiku pernikahan adalah momen yang sakral, yang tidak bisa dibuat main-main oleh siapapun. Seperti yang Mas Biru mau.
Sekuat tenaga, aku harus berjuang mempertahankan pernikahan ini. Walau aku tahu, itu sulit. Namun, aku akan mencobanya.
"Itu juga gak mungkin, Kinan. Sudah berulang kali, aku katakan, aku gak cinta sama kamu! Tapi aku gak mau kita pisah," ucapnya, kali ini dengan nada lemah.
"Kamu hanya bisa memilih satu, Mas. Pilih mana yang menurut kamu lebih baik!" Aku menegaskan sekali lagi padanya.
"Kinan!" serunya, memanggil. Tak sedikitpun menghentikan langkah kaki ini yang sudah berhasil keluar. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Memilih pergi sementara dari rumah. Paling tidak, sampai Mas Biru benar-benar sudah siap mengambil keputusan.
Ponsel aku matikan, sengaja. Agar Mas Biru tidak bisa menghubungi. Malam semakin pekat, dinginnya sampai menusuk ke tulang. Di pinggir jalan, aku hanya sendiri berjalan tak tahu kemana tujuan.
Deras air mata ini mengalir. Tubuh terasa pilu dan kaku. Meratapi nasib badan yang hina ini. Pernikahan yang aku impikan, terancam hancur. Hanya dalam hitungan jam. Begitu pelik takdir memberi ujian. Akankah aku bertahan dengan hinaan badan.
"Aku harus kemana, sekarang!" rintihku pilu.
Tubuh ini semakin menggigil, tersapu hembusan angin malam yang semakin dingin. Sementara aku, tidak punya tujuan. Kemana harus mengistirahatkan badan. Sempat berpikir untuk pulang ke rumah Bapak. Apa kata Bapak nanti, melihat kepulanganku yang tiba-tiba. Apalagi ini sudah tengah malam. Beliau pasti akan berpikir yang macam. Aku takut, nanti akan menjadi beban pikirannya.
Kutengok kanan kiri, mungkin ada tukang ojek atau kendaraan umum yang melintas. Yang bisa membantuku ke rumah Tina. Hanya nama itu yang terlintas di pikiran. Dan hanya dia yang bisa membantuku saat ini.
Ditengah paniknya aku yang mencari kendaraan. Sorot lampu sebuah mobil menyilaukan mata. Jaraknya semakin dekat, dan berhenti tepat di hadapanku.
Seorang pria yang baru saja membuat aku berada di jalanan seperti ini, keluar. Rahangnya yang mengerat, pertanda ada kemurkaan dalam dirinya.