Mulut Ayna mendadak kaku. Tidak tahu caranya bagaimana menyapa lelaki yang tengah duduk tepat dihadapannya itu. Namun, Abinya yang meminta. Maka ia harus tetap melakukannya.
Ayna memandang ke arah lelaki yang disapa Gus Birru. Ia tersenyum. "Assalammualaikum, Gus. Salam kenal dari Ayna Zainisa."
Gus Birru membalas senyum Ayna. "Waalaikumsalam. Salam kenal kembali. Hanan Albirruni." Ia menyebutkan nama lengkapnya. Nama yang terdengar begitu sejuk ditelinga Ayna. Sesejuk wajah Gus Birru yang segar dipandang mata. Auranya sangat tenang. Seperti memiliki medan magnet tersendiri untuk memikat hati Ayna. Apalagi Monolid eyesnya yang jernih, semakin membuat Ayna menyimpan takjub diam-diam.
"Masyallah. Pertemuan pertama ini semoga menjadi berkah. Pembukaan awal silaturahmi dari keluarga kita," ucap Kiai Zauhar dengan menatap Syekh Ahmed dan Ummi Marwah secara bergantian.
Ayna kembali mengambil duduk disebelah Abinya. Perasaan canggung bercampur bahagia menyelimuti jiwanya saat ini. Bahagia karena bisa dipertemukan dengan seorang pria seperti Gus Birru. Entah mengapa, Ayna langsung jatuh hati padanya.
"Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama?" batin Ayna bertanya sendiri pada dirinya.
"Begini Nduk Ayna, tujuan pertemuan kita selain membuka jalinan silaturahmi, kami memang berniat untuk memperkenalkan Nduk Ayna dengan putra kami, Hanan Albirruni. Siapa tahu kalian sama-sama cocok, agar bisa disegerakan untuk menikah dalam waktu dekat." Kiai Zauhar membuka suara. Memberitahu Ayna perihal tujuan yang sebenarnya.
"Betul, Nak. Abi dengan Kiai Zauhar sudah lama ingin menjodohkan kalian. Usia Ayna sudah 28 tahun. Memang sudah waktunya untuk segera menikah," tambah Syekh Ahmed.
Kiai Zauhar berkata, "Usia Birru sudah kepala tiga. Sudah dari dulu kami desak untuk menikah, tapi anaknya terlalu santai. Padahalkan orang tuanya sudah kebelet pingin punya cucu." Perkataan Kiai Zauhar disambut tawa oleh Syekh Ahmed, Ummi Marwah dan istrinya.
Sementara itu wajah Gus Birru memerah. Merasa malu karena dirinya baru saja dijadikan topik lelucon oleh Ayahnya sendiri.
"Betul. Ananda kami ini kalau dikode untuk segera menikah, tamengnya selalu pendidikan yang dibawa-bawa. Mau jadi profesor dulu katanya. Yah, selak jadi perjaka tua toh!" Giliran Ibu Kiai yang bersuara. Logat jawanya sangat kental.
Langsung disambut Ummi Marwah dengan heboh. "Wah, sama dong Nyai. Ayna kami juga begitu, katanya mau kelarin S1 dulu baru menikah. Udah selesai, eehhh tunggu selesai S2 dulu katanya. Jadi Abi dan Umminya gemes juga."
Terjadilah saling sahut-menyahut antara orang tua dari Ayna dan Gus Birru. Mereka asyik sekali membicarakan tentang anak-anaknya. Sementara yang dibicarakan berusaha menahan malu.
"Birru, ayo perkenalkan dirimu pada Ayna," pinta Kiai Zauhar pada anaknya setelah perbincangan hangat antara Ummi Marwah dan Ibu Kiai berhenti begitu saja.
Gus Birru mengangguk sopan. Ia berdehem sejenak sebelum mengatakan sesuatu. "Senang bertemu denganmu, Ayna. Saya Birru, baru saja menyelesaikan disertasi untuk program Doktor di bidang Fiqih Perbandingan Universitas Al-Azhar, Cairo. Tinggal menunggu sidang Munaqasyah bulan depan. Saat ini saya tinggal di Alexandria untuk sementara sambil mengajar dan menjalani bisnis kuliner kecil-kecilan."
"Masyallah Tabarakallah. Tahniah dan sukses selalu untuk pendidikanmu, Gus Birru. Semoga ilmu ananda barokah dan dapat bermanfaat untuk ummat," ucap Syekh Ahmed. Gus Birru memandang ke arah Abinya Ayna itu. "Terimakasih, Syekh."
"Ayo, giliran Ayna." Sykeh Ahmed bersuara. Mempersilakan puterinya untuk berkenalan.
Suara Ayna sangat lembut. Terdengar candu ditelinga siapapun. Sampai-sampai Kiai Zauhar dan istrinya terkesima setiap kali Ayna berbicara. "Senang juga bertemu dengan sampean, Gus Birru. Saya Ayna, saat ini sedang berproses untuk menyelesaikan Thesis dalam bidang ilmu kesusastraan di Universitas Alexandria."
"Masyallah. Semoga selaga proses dan langkah Nduk Ayna dipermudah oleh Allah SWT." Kiai Zauhar memberi doa untuk Ayna, yang dilangsung di aminkan oleh mereka semua.
"Ayna, apakah kamu memiliki pria lain dihatimu yang kamu cintai? Maaf jika pertanyaan ini lancang. Tapi, ini harus ditanyakan terlebih dahulu sebelum perjodohan ini berlanjut." Kiai Zauhar melontarkan sebuah pertanyaan kepada Ayna. Perempuan berkerudung merah marun itu menunduk malu. Ia menjawab dengan menggelengkan kepalanya terlebih dulu. "Punten, untuk saat ini tidak ada, Kiai."
"Alhamdulillah. Jadi, Apakah Nduk Ayna menerima perjodohan ini? Apakah Nduk Ayna bersedia menjadi istri dari ananda kami, Hanan Albirruni?" Kiai Zauhar kembali bertanya untuk memastikan.
Ayna belum menjawab pertanyaan itu. Ia memandang Abi dan Umminya. Meminta restu lewat tatapan mata mereka.
Syekh Ahmed mengangguk dengan senyum teduh. Memberi izin atas jawaban apapun yang akan Ayna katakan nantinya. Syekh Ahmed orang tua yang baik. Beliau tidak akan memaksa kehendak anaknya, dan tidak akan memaksa perjodohan ini. Ia hanya ingin menawarkan sesuatu yang menurutnya baik untuk puterinya itu.
Ayna menjawab dengan mantap. "Iya, Kiai. Saya menerima perjodohan ini. Inshallah, saya bersedia menjadi istri dari Gus Birru."
Semuanya berucap syukur. Para orang tua itu bahagia luar biasa. Karena akhirnya, anak mereka akan segera menjalani ibadah sakral yang sudah lama diimpikan, yaitu pernikahan.
Ayna tersipu malu. Ia menatap sesekali ke arah Gus Birru. Akhirnya setelah sekian lama menunggu, Ayna menemukan nahkodanya. Pemimpin hidup yang akan membawanya bermuara kemanapun Tuhak berkehendak. Mengarungi lautan kehidupan yang luas, yang nanti akan sampai ke jannah-NYA. Sesuai dengan impian Ayna. Menjadi istri solehah adalah misi dihidupnya.
"Birru, bagaimana perasaanmu, Nak? Ayo jawab ucapan Ayna." Kiai Zauhar menegur puteranya yang mendadak melamun.
"A-ah, iya." Birru membenarkan posisi duduknya dengan tegak. "Terimakasih, Ayna. Semoga ini awal dari kita untuk bisa membangun istana kecil yang diridhoi-NYA."
Ayna tersenyum sembari mengangguk. Ummi Marwah diam-diam memerhatikan mimik wajah puterinya yang pipinya sudah memerah seperti kepiting rebus. Kalau saja hanya ada mereka berdua, Ummi Marwah pasti sudah menggoda Ayna habis-habisan. Begitulah Ummi Marwah, suka menjahili puterinya sendiri.
"Alhamdulillah. Saya terharu sekali menyaksikan perjodohan ini," ucap Ibu Nyai sambil menyeka air matanya yang sudah membasahi pipi keriputnya. "Ayna, terimakasih ya." Kedua tangan Ibu Nyai terbuka lebar. Mengajak Ayna untuk berpelukan. Kemudian, Ayna menerima pelukan itu dengan hangat.
Akhir dari perjodohan itu penuh haru bagi kedua orang tua seperti mereka yang telah lama memiliki harapan untuk anak-anaknya dapat menikmati indahnya sebuah bahtera rumah tangga.
"Lembaran baru telah dibuka. Tapi, aku masih berada dihalaman lama. Halaman yang paling aku sukai." Guss Birru berucap dalam hatinya sambil memandang ibunya dan Ayna yang berpelukan dengan suka cita. Ada sebongkah rasa lain yang masih bersemayam. Sebuah rasa yang dengan terpaksa harus ia kubur dalam-dalam. Karena, kasihnya tak akan sampai jika ia menyuarakannya.
"Ayna, mengapa hatiku tidak bergetar ketika melihatmu? Tidak seperti saat aku melihatnya." Isi hati Gus Birru kembali bersuara, yang hanya dapat didengar oleh sukmanya.