"Gus Birru memanggil saya?" tanya Ayna memastikan ketika ia sudah menoleh ke arah pria itu. Ia langsung berdiri dan menundukkan kepalanya. Ia tahu bahwa menjaga pandangan bagi seorang muslimah adalah sebuah kewajiban. Meskipun keduanya sudah dijodohkan, Ayna tidak ingin ada celah nafsu diantara mereka.
"Iya betul." Gus Birru berjalan tiga langkah mendekati Ayna. Pria itu pun tidak begitu berani memandang Ayna dengan lama. Sesekali matanya melirik ke arah pelanggan yang sedang sibuk memilih oleh-oleh kuliner ditoko barunya itu.
"Ehem." Gus Birru berdehem. Berniat ingin mengatakan sesuatu pada Ayna. Namun, Ayna lebih dulu angkat bicara karena rasa penasarannya sudah tidak bisa ditoleransi lagi.
"K-kenapa sampean pura-pura nggak ngenalin aku didepan Shana?" Pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Ayna. Sesuatu yang sedari tadi mengganjal dihatinya. Ayna perlu jawaban dan penjelasan dari Gus Birru. Ia merasa berhak untuk tahu alasan calon suaminya itu tidak mengenalinya didepan Shana.
Hening. Gus Birru tidak langsung menjawab pertanyaan Ayna. Pria itu terdiam memandang ke arah jalanan depan. Tatapannya kosong. Isi kepalanya seperti dipenuhi riuh suara yang berisik. Sama seperti keadaan jalanan kota Alexandria siang itu.
"Bahkan sampean nggak bisa jawab," ujar Ayna lirih. Ia memberanikan diri menatap lekat-lekat mata Gus Birru yang sama sekali tidak membalas tatapnya.
Setelah beberapa detik saling terdiam, akhirnya Gus Birru bersuara.
"Kemarin kita belum sempat tukaran nomor handphone. Aku mau minta nomor WA kamu. Berapa?" Pria itu membuka gawainya. Jemarinya sudah bersiap menari diatas keyboard untuk mengetik digit nomor yang akan Ayna sebutkan nanti.
Memang betul, setelah perjodohan mereka kemarin, keduanya belum sempat berkomunikasi lebih lanjut. Tidak terpikirkan sebelumnya bahwa meminta nomor ponsel adalah hal penting untuk proses pendekatan dan pengenalan mereka sebelum sah menjadi pasangan suami istri.
Hati Ayna mendadak seperti dihujani duri-duri tajam. Ia kecewa karena tidak ada penjelasan yang ia harapkan.
Riak air dimatanya sudah tidak sabar ingin keluar untuk membasahi pipi. Namun, Ayna menahannya. Dalam keadaan tidak dianggap pun, ia masih berusaha untuk berpikir yang tidak-tidak. "Tenangkan hatimu, Ayna! Dia meminta nomor handphonemu. Itu artinya dia ingin memberimu penjelasan via handphone." Seperti peran tritagonis yang menjadi penengah, seolah-olah suara batinnya dapat memberinya ketenangan.
Ayna langsung menyebutkan dua belas nomor.
Setelah selesai mengetik nomor handphone Ayna, mulut Gus Birru tampak ingin bergerak mengatakan sesuatu. Namun, ia urungkan niatnya ketika Shana tiba.
"Huh, aku mules banget. Salah makan apa ya," keluh Shana sambil memegang perutnya. Wajahnya tergambar bahwa ia sedang menahan sakit.
"Kenapa? Kamu makan pedes? Kan udah Mas ingetin jangan makan sembarangan. Kamu harus jaga kesehatan, Dek. Kamu Dokter tapi suka lalai jaga kesehatan." Gus Birru langsung mengomel kepada adik angkatnya itu. Dapat dilihat bahwa saat ini raut mukanya berubah menjadi cemas.
Bibir Shana mengerucut. Merasa bersalah karena tidak bisa menjaga kesehatannya. "M-maaf, Mas. Aku kemarin makan rujak sama anak-anak asrama karena lagi pengen aja." Shana menyengir diakhir kalimat yang ia ucapkan.
"Lain kali jangan begitu. Ayo istirahat dulu. Nanti Mas buatin wedang jahe," kata pria itu lagi kepada Shana. Suatu kebiasaannya untuk membuat ramuan tradisional itu ketika Shana sakit. Meskipun gadis itu seorang Dokter, tapi obat-obatan kimia tidak mempan untuknya.
Ayna diam-diam memerhatikan rasa khawatir yang sangat jelas diwajah Gus Birru. Setiap kali pria itu memandang Shana, sorot matanya selalu dapat bertahan lama menatap wajah adik angkatnya itu. Ada rasa sesak didada Ayna.
"Apakah ini yang dinamakan cemburu?" Batin Ayna bertanya. "T-tapi, mereka saudara. Aku nggak berhak untuk cemburu kan?" imbuhnya lagi.
Ayna menggigit bibir bawahnya. Merasa dilema dengan kecemburuan yang ia rasakan. "T-tapi, mereka itu nggak saudara kandung. Shana hanya adik angkat Gus Birru. Aku berhak juga cemburu. Mereka nggak sedarah! Bisa aja rasa cinta diantara keduanya muncul."
Ayna menghela napasnya. Ia langsung sadar karena baru sajar dirinya bersuudzon kepada sahabatnya dan juga calon suaminya. "Astaghfirullahaladzim!" Ayna beristighfar sambil mengusap dadanya.
"Jangan lakukan ini lagi, Ayna! Allah membenci hambanya yang bersuudzon!" Batin Ayna berbicara. Mengingatkan dirinya.
"Mas Anan, please jangan repot-repot. Buatin wedang jahe aja deh. Bentar lagi aku juga mau pulang ke asrama. Mau istirahat disana aja," kata Shana kepada abang angkatnya itu yang langsung sibuk membuatkan makanan dan mempersiapkan kamar untuk Shana bisa beristirahat.
"Tapi muka kamu pucet lho, Dek. Lihat tuh!" Gus Birru dari balik dapur toko yang sedang mempersiapkan segelas wedang jahe menunjuk ke arah wajah Shana yang memang sudah sedikit pucat.
"Lebih baik kamu istirahat disini aja dulu," imbuh Gus Birru yang mencemaskan adik angkatnya.
Shana tersenyum. "Mas, aku nggak anak kecil lagi, lho! Malu aku tuh sama Ayna kalau mas Anan memperlakukan aku berlebihan gini. Padahal aku cuman diare lho, Mas!" Shana terkekeh. Merasa geli melihat abang angkatnya itu yang langsung bergerak cepat ketika mendengar keluhan sakit darinya.
Namun, pria yang disapa Mas Anan oleh Shana itu tidak mengindahkan perkataan adiknya. Ia tetap sibuk meracik ramuan khusus untuk Shana agar bisa sembuh dari diarenya.
Hanya hitungan menit, Gus Birru kembali mendekati Shana dengan membawa segelas yang berisikan wedang jahe-Minuman yang dibuat dari irisan jahe segar dan gula jawa yang dicampur ke dalam air panas.
"Nih, minum dulu." Gus Birru memberikannya kepada Shana.
Gadis itu menerimanya dengan manja dan tersenyum sumringah. "Terimakasih, Mas Anan. You are my lovely brother!"
Shana segera meneguknya. Setelah setengah tegukan, ia letakkan gelas itu diatas meja.
"Mas Anan memang gini, Ay. Dari dulu nggak pernah berubah. Meskipun aku sakit gigi, obat andalan dari Mas Anan buatku ya tetap wedang jahe," ujar Shana kepada Ayna yang sedang duduk disebelahnya.
Ayna langsung tersadar dari lamunannya. Ia berusaha untuk menyunggingkan bibirnya. "Oh ya?" Hanya tanggapan itu yang dapat keluar dari mulut Ayna. Tidak tahu harus bagaimana lagi menanggapi cerita manis Gus Birru dan Shana disaat kondisi hatinya tidak bisa terhubung dengan kepalanya saat ini. Ia merasa sedih. Namun, Ayna mengerti bahwa kesedihannya harus ia tutupi.
Shana bersemangat lagi untuk bercerita mengenai dirinya dan juga Mas Anannya itu kepada Ayna. Terpaksa Ayna harus mendengarkannya meskipun ada gejolak sesak yang kian terasa diulu hatinya.
Ting!
Di sela-sela Shana asik bercerita, ponsel Ayna berbunyi. Pertanda sebuah pesan via WhatsApp telah masuk. Ayna segera membukanya.
"Ayna, kita perlu berbicara tanpa Shana."
"Tolong jangan beri tahu Shana dulu tentang perjodohan kita."
Begitu isi dua pesan yang dikirim dari nomor tanpa nama. Setelah membaca pesan yang kedua, Ayna langsung tahu siapa pengirimnya.