Seorang gadis berusia 22 tahun setengah berlari menuju rumah. Senyum di wajahnya tak pernah luntur dari wajah cantiknya, dengan toga dalam genggamannya. Perjuangan kuliah selama empat tahun akhirnya selesai juga. Rasa senang dan haru bercampur menjadi satu.
Riasan wajahnya yang natural membuatnya semakin cantik, apalagi dengan paduan kebaya dan pasmina yang dipakai membuat dia sangat anggun dan cantik. Senyumnya yang manis memperlihatkan lesung pipit yang dia punya.
"Assalamualaikum," ucapnya saat masuk ke dalam rumah. Dilihatnya, sepi seperti tak ada orang sama sekali. Entah ke mana orang-orang rumah, dia tak tahu.
Memilih abai, mungkin mama dan papa sedang istirahat. Sebab, mereka baru pulang dari acara wisuda. Sedangkan, berbeda dengannya yang izin pulang terlambat lantaran ada acara dengan teman-temannya.
Gadis itu bernama Raina Putri Anjani. Gadis cantik dan imut ini biasa dipanggil Rain. Ya, dia lebih suka dipanggil Rain yang artinya hujan, sebab dia sangat suka hujan. Tak jarang juga dia suka menikmati waktu saat hujan. Menikmati tiap tetes air yang jatuh ke bumi. Baginya, hujan memberi ketenangan selain salat. Selain itu, ada kisah yang mengharukan bersama hujan.
Rain memilih masuk ke kamarnya, dan melepas pernak pernik yang dia gunakan. Rasanya sudah sangat lengket tubuhnya, dia butuh mandi.
"Gerah," keluh Rain sembari melepas pasminanya, dan langsung mengambil handuk untuk mandi.
Setelah selesai mandi, dia segera membuat surat lamaran pekerjaan. Sebab semalam dia sudah mencari lowongan pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya. Sebenarnya, ada lowongan pekerjaan di kotanya, tetapi tak sesuai dengan bidang yang dia kuasai. Jadi, dia memutuskan untuk melamar di salah satu perusahaan yang ada di Jakarta. Tak masalah baginya meski harus merantau ke kota Jakarta.
Dirasa berkas-berkas yang diperlukan sudah siap, langsung saja dia mengirim e-mail surat lamaran pekerjaan miliknya.
Teringat, bahwa dia belum meminta izin pada kedua orang tuanya. Namun, dia yakin jika orang tuanya akan mendukungnya.
***
"Ma, Pa. Rain mau ngomong sesuatu." Di sela Rain dan kedua orang tuanya tengah menikmati minum teh bersama. Bersantai bersama saling bercanda tawa.
"Iya, Sayang?" tanya mama.
"Ma, Pa, Rain izin cari kerja, ya. Kebetulan tadi Rain udah nemu lowongan. Tadi Rain juga udah kirim lamaran kerjanya," ucap Rain dengan yakin.
Mamanya tersenyum, dia tahu apa yang dirasakan Rain. Ingin menjadi wanita mandiri, dan membahagiakan orang tua. Itulah yang tak sengaja dia dengarkan saat Rain bergumam sendirian.
"Sayang, Mama dukung kamu. Apapun itu yang kamu lakukan, asalkan terbaik buat kamu," ucap Mamanya dengan lembut.
"Papa juga dukung kamu." Rain memeluk kedua orang tuanya.
"Hayo! Ngapain peluk-peluk." Seseorang mengagetkan ketiga orang yang tengah berpelukan.
Pemuda itu langsung duduk di sebelah Rain. Ya, dia adalah Reno, kakak dari Rain. Dia baru pulang dari dinas.
"Eh, bocil udah wisuda nih. Traktirannya dong," ledek Reno dengan menadahkan tangannya ke arah Rain.
Rain mencebik, "Aku lagi nggak kenal sama Abang. Sana, jauh-jauh." Rain mengibas-ngibaskan tangannya.
Reno tertawa kecil, dia tahu Rain pasti kesal lantaran dia tak datang saat wisudanya. "Yakin mau ngambek," ucap Reno dengan menunjukkan satu kantung plastik es krim. Ini adalah senjata jitu untuk membujuk Rain.
Rain yang melihat sekantung es krim kesukaannya pun menelan ludahnya kasar.
'Sial! Abang ini selalu aja punya senjata,' batin Rain. Mau tak mau Rain akhirnya luluh juga, demi es krim kesukaannya.
"Siniin." Rain merebut paksa kantung plastik itu dan berjalan menuju taman belakang rumah.
"Katanya nggak mau," ledek Reno.
"Nggak tau, aku nggak denger apa-apa, aku cuma lihat esklim doang," ucap Rain membuat yang lain ikut tertawa.
Seperti inilah keributan yang selalu terjadi jika berkumpul bersama. Ada rasa tak rela jika harus melepaskan Rain seorang diri untuk bekerja. Namun, sebagai orang tua, tentunya Rey dan Risa tak mungkin mencegahnya. Sebab, Rain sudah dewasa, dia berhak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Dia pasti tahu mana yang baik dan mana yang tidak.
"Ma, Pa, tadi lagi ngobrolin apa? Keknya serius banget," tanya Reno seraya menyomot camilan di meja.
"Kepo!" teriak Rain dari arah dapur, dia tengah meletakkan sebagian es krim ke kulkas dan kembali ke taman belakang lagi.
"Astaghfirullah, bocil. Tuh anak bener-bener minta digetok," gerutu Reno yang terkejut mendengar teriakan dari adiknya yang usil itu.
"Adik kamu mau kerja." Papa Rey menyesap kopi.
"What? Seriosly?" hampir saja Reno tersedak camilan kalau saja dia tak hati-hati.
"Biasa aja kali, Bang. Adik kamu kan udah besar, biarin aja dia nentuin sendiri. Mama sama Papa juga nggak ngelarang, kok," jelas Mama Risa.
"Kerja di mana? Di perusahaan mana?" tanya Reno.
"Kayaknya di salah satu perusahaan yang ada di Jakarta," ucap Papa Rey santai, membuat Reno terperangah. Bisa-bisanya Rain ingin merantau ke Jakarta. Selama ini, Renolah yang membantu keuangan di keluarganya. Dia tak menyangka jika adik kecilnya akan merantau ke Jakarta.
"Tapi, dia masih kecil, Ma. Reno takut terjadi sesuatu dengannya, apalagi dia sendirian di Jakarta." Sebagai seorang kakak, dia sangat khawatir akan keselamatan sang adik. Dia sangat menyayangi adik satu-satunya itu. Meskipun, terkadang suka jahil, akan tetapi mereka berdua saling menyayangi satu sama lain.
"Kenapa nggak di sini aja, sih? Kan banyak perusahaan di sini, ngapain jauh-jauh ke Jakarta?" Lama-lama Reno kesal lantaran Rain akan ke Jakarta seorang diri.
"Sudahlah, Bang. Biarkan adikmu mandiri, kalo nggak sekarang, kapan lagi? Lagian Papa juga nggak akan tinggal diam. Di sana ada sahabat Papa yang bakal jagain Rain dari jauh," jelas Papa Rey dengan panjang lebar, mencoba memberi pengertian kepada si sulung. Dia tahu, jika Reno khawatir dengan adiknya.
"Dah, kamu sendiri kapan nikah? Mau jadi perjaka tua kamu?" ledek Mama Risa, berusaha mengalihkan pembicaraan agar si sulung tak tak terlalu membahas perkara Rain, pun bisa menerima keputusan Rain.
Reno mendengus, "aih, ya nggaklah, Ma. Lagian Reno juga udah punya pacar," celetuk Reno.
"Siapa? Anak mana? Cantik, nggak? Kenalin dong, Bang. Jangan pelit-pelit sama Mama. Mama juga pengen kenal sama calon menantu." Deretan pertanyaan keluar dari mulut Mama Risa yang super cerewet itu.
Reno yang sadar akan ucapannya pun hanya menggaruk tengkuknya, bisa-bisanya dia keceplosan soal ini. Pacar saja tak punya, apalagi calon. Untung saja Rain di taman belakang, kalau sampai dia mendengarkan semua, bisa habis diledekin oleh adik tak punya akhlak itu.
"Siapa, Ren?" tanya Papa Rey.
"Hehe, becanda," ucap Reno, lalu segara berlari menuju kamarnya, sebelum Mamanya ngamuk.
"Dasar anak nggak ada akhlak. Bohongin orang tua mulu," gerutu Mama Risa, sedangkan Papa Rey hanya geleng kepala.
"Sudahlah, Sayang. Kamu tahu sendiri betapa jahilnya anak-anak kamu," ucap Papa Rey.
"Anak Papa juga kalo Papa lupa," kesal Mama Risa membuat Papa Rey terkekeh geli.
"Mama lucu kalo lagi kesal," goda Papa Rey membuat Mama Risa mencebik.
"Mau cium di sini, Ma? Manyun-manyun gitu," tawar Papa Rey mendapat pelototan dari Mama Risa, sebab wajahnya sudah memerah menahan malu.
"Au ah, terserah Papa. Mama mau tidur," ucap Mama Risa seraya beranjak dari tempat duduk dan berjalan menuju kamarnya.
"Ma, tungguin Papa. Masa ditinggal." Papa Rey tertawa kecil melihat istrinya menuju kamar, apalagi melihat sang pujaan hati malu. Padahal, pernikahan mereka sudah berjalan puluhan tahun, masih saja istrinya malu.
.
.