Pagi-pagi sekali, Rain sudah berkutat dengan alat-alat masak yang ada di dapur. Mulai dari memasak nasi hingga lauk-pauknya. Dia harus belajar bangun pagi agar saat ke kantor tak telat. Selain itu, agar tak kena omel dari bos galaknya itu.
Hari ini, rencana Rain ingin membawa bekal untuk ke kantor. Lumayan untuk menghemat pengeluaran, pikirnya. Hidup di perantauan harus pintar-pintar mengurus keuangan. Sebab, jauh dari keluarga dan orang terdekat. Mau minta tolong siapa jika sampai kehabisan uang, minta orang tua juga tak mungkin, atau abangnya juga tak mungkin. Dia tak ingin merepotkan keluarganya, pun tak ingin membuat khawatir. Jadi itulah yang ada di pikiran Rain saat ini.
"Nah, tinggal goreng ayamnya," gumam Rain seraya meletakkan sayur asam di meja makan.
Menu hari ini cukup sayur asam dan ayam goreng. Tak lupa sambal terasi yang menjadi pelengkap makanan pagi ini. Sedangkan, menu untuk bekal, Rain cukup membawa ayam goreng dan sambal terasi saja. Karena dia tak mau repot membawa sayur asam yang pastinya berkuah. Sederhana memang, tetapi bagi Rain itu sudah lebih dari cukup untuk dirinya.
Tak berapa lama, notif pesan masuk berbunyi.
[Dek, jangan lupa sarapan!] Pesan dari abangnya.
[Iya, Abang bawel.] Balas Rain dengan tersenyum.
Antara sedih dan senang bercampur menjadi satu. Senang, karena dia bisa bekerja di perusahaan tempatnya melamar pekerjaan. Ya, walaupun harus bertemu dengan orang yang begitu menyebalkan.
Rasa sedih, lantaran harus tinggal jauh dengan keluarganya. Padahal, baru sebentar dia di Jakarta, malah sudah rindu dengan orang tuanya.
Hanya butuh waktu lima belas menit, Rain bisa menyelesaikan menggoreng ayam untuk dirinya. Setelah itu, seperti biasa. Rain menikmati waktu sarapan paginya seorang diri.
Setelah makan dan mencuci piring, Rain segera bersiap menuju kantor. Sebab, hari ini adalah hari pertama masuk kerja. Dia tak ingin terlambat.
"Maaf, Pak, menunggu lama." Rain menerima helm dan langsung duduk di atas motor.
Tak berapa lama, dia sudah di kantor. Namun, terlihat masih sangat sepi. Mungkin karena masih terlalu pagi, pikirnya.
Setelan kerja dengan paduan hijab yang cocok untuk melengkapi penampilannya itu membuat Rain percaya diri. Terlihat sederhana, akan tetapi masih bagus dan pas untuk dipakai Rain.
Rain melangkah menuju ruang kerjanya sembari menenteng paper bag yang isinya bekal makan siang tadi. Meskipun ada rasa aneh lantaran belum memiliki teman. Namun, Rain berusaha terlihat tenang, mungkin nanti akan menemukan seseorang yang mau berteman dengannya, pikir Rain.
"Pagi, Mbak." Rain menyapa seseorang di balik meja resepsionis.
Seseorang itu tersenyum, "pagi juga, Mbak. karyawan baru, ya," tanyanya kepada Rain.
"Iya, Mbak. Saya karyawan baru di sini." Rain menjawab dengan tersenyum ramah.
"Kalau begitu saya permisi, Mbak," sambung Rain diangguki oleh resepsionis.
'Astaga, ruangannya jauh banget, sih. Perasaan kemarin nggak sejauh ini. Atau aku aja yang mager,' batin Rain sembari terus berjalan.
"Heh! Jangan mager, Rain. Ini hari pertama kamu masuk kerja," ucap Rain kepada dirinya sendiri.
"Siapa yang mager?" tanya seseorang yang tiba-tiba berada di belakang Rain. Sontak membuat Rain sangat terkejut.
"Astagfirullah, hantu!" teriak Rain saat terkejut mendengar seseorang yang berbicara tadi.
"Tolong! Tolong!" Rain yang panik pun hanya bisa menutup matanya sembari berteriak sangat keras. Dia tak mampu berlari lantaran sangat takut.
Seseorang itu juga tampak terkejut mendengar teriakan Rain, langsung saja dia membekap mulut Rain agar suara teriakan tak terdengar sampai bawah. Untung saja lorong ini sepi, kalau ada orang sudah dipastikan akan sangat memalukan.
"Heh! Gadis rese, ini aku. Bisa diam tidak!" kesal Kevin lantaran Rain menganggapnya hantu.
"Gadis rese! Diam!" Kevin berusaha memberitahu Rain jika dirinya bukan hantu, melainkan bosnya sendiri.
Sisi lain, Rain yang memang ketakutan pun tak mendengarkan apa yang dikatakan Kevin. Dia terus memberontak dan berusaha teriak, akan tetapi tenaganya tak sekuat Kevin. Dia tak bisa berbuat apa-apa lagi.
"Astaga, gadis ini." Kevin lumayan frustrasi lantaran Rain yang terus memberontak.
Akhirnya, Kevin langsung memojokkan Rain ke tembok. Berharap gadis itu bisa diam.
"Hei! Ini aku!" ucap Kevin dengan nada keras dan berhasil membuat Rian diam.
"Buka matamu." Rain yang tak bisa berkutik pun hanya menuruti perintah Kevin. Dia membuka matanya perlahan, dan betapa terkejutnya saat melihat bosnya berada di depannya.
"Ba-," ucapan Rain terhenti.
"Diam!" Kevin langsung membekap mulut Rain dengan tangannya lagi, sesaat ketika Rain akan berteriak lagi.
"Diam! Suaramu berisik sekali." Rain hanya memandang Kevin dengan matanya yang berkedip-kedip membuat Rian terlihat lucu.
'Cantik,' batin Kevin.
"Kau tahu siapa aku?" tanya Kevin, sedangkan Rain hanya mengangguk mengiyakan.
"Ya salam, bos nyebelin ini bikin spot jantung. Datang-datang bikin kaget,' gerutu Rain dalam hati.
"Kenapa masih teriak? Pake sebut hantu pula," sambung Kevin kesal, sedangkan Rain hanya menggeleng.
Posisi keduanya sangat dekat, apalagi Rain, dia masih tergugu dengan posisinya seperti ini. Dia juga berusaha memberitahu Kevin agar dilepaskan.
"Apa? Kalau mau bicara, ya bicara. Kenapa diam?" Kevin masih belum sadar jika dirinya membuat Rian tak bisa bergerak.
"Eh, astaga." Kevin langsung melepaskan tangannya dari mulut Rain, dan melangkah mundur. Rain bernapas lega, akhrinya Kevin melepaskan dirinya.
"Hah, bagaimana saya bisa bicara, Pak. Sedangkan, mulut saya dibekap sama Bapak," jelas Rain dengan napas terengah-engah seperti orang yang baru selesai lari maraton.
"Ya, salah sendiri kenapa tidak bilang," ucap Kevin yang tak mau kalah.
"Gimana caranya, Pak bos?" kesal Rain.
"Ya, pikir aja sendiri. Itu urusanmu," ketus Kevin membuat Rain mencebik.
"Dasar bos nyebelin," gerutu Rain yang masih terdengar oleh Kevin.
"Apa katamu?" tanya Kevin.
"Eh, ti-tidak. Saya tidak bicara apapun. Memangnya saya bicara apa? Perasaan nggak bicara apa-apa, Pak," ucap Rain pura-pura. Bisa-bisa bosnya mengomel lagi nanti.
"Ya sudah, kembali ke ruangan kamu." Kevin memilih untuk menyuruh Rain menuju ruangannya, daripada terus berdebat dengannya.
"Baik, Pak."
"Buatkan saya kopi, seperti kemarin. Jangan sampai salah!" ucap Kevin dengan nada datarnya, dan berlalu begitu saja tanpa memedulikan Rain.
'Hah, bisa-bisa aku punya bos kayak dia. Lama-lama bisa darah tinggi kalo ngadepin dia. Butuh kesabaran yang banyak ini mah,' batin Rain.
Rain berlalu menuju pantri, dia tak mau kena omel bosnya lagi. Sesampainya di sana, Rain segera mengambil cangkir dan kopi. Tak lupa gula sesuai takaran kemarin. Untung saja Rain masih hafal kopi selera bosnya, jadi besar harapannya agar tak kena omel Kevin.
"Ini, Pak." Rain meletakkan kopi di meja Kevin setelah mengetuk pintu ruangan Kevin. Dia paham adab saat akan masuk ke ruangan orang lain, apalagi ini bosnya sendiri. Tentu saja dia mengetuk pintu dan izin masuk, daripada kena marah lagi.
"Kamu boleh pergi," ucap Kevin tanpa melihat Rain, bahkan mengucapkan terima kasih pun tidak. Memang benar-benar bos dingin.
"Oh iya, atur jadwalku hari ini. Kamu bisa tanyakan ke Radit," sambung Kevin.
"Baik, Pak. Permisi!"
"Hmm." Kevin lebih fokus ke dokumen yang ada di tangannya. Rain segera meraih handel pintu agar segera keluar dari ruangan bosnya.
'Ya salam, seperti masuk kandang singa,' batin Rain seraya menggelengkan kepalanya. Akhirnya dia bisa terbebas dari bosnya, meskipun cuma sebentar, setidaknya dia bisa bernapas lega.
Rain kembali ke meja kerjanya. Tak lupa dia juga mengatur jadwal Kevin untuk hari ini sesuai perintah bos killernya.
.
.