Pagi harinya, alarm di ponsel Rain berbunyi cukup nyaring di dalam kamar yang tak terlalu luas. Namun, masih muat dan nyaman untuk ditempati satu orang.
Alarm ponsel itu terus berbunyi tanpa henti, membuat gadis yang masih berada dalam gulungan selimut terpaksa mengerjapkan mata beberapa kali. Dia menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya.
"Ya salam, berisik banget. Emang jam berapa sekarang?" gerutu Rain dengan mengucek matanya. Maklum, nyawanya belum terkumpul sempurna, makanya masih ngelantur.
"Astaghfirllah." Rain terduduk kaget, sebab hari ini ada interview kerja.
Dia menatap jam yang ada di ponsel sudah menunjukkan pukul lima. Untungnya tadi dia sudah salat shubuh, akan tetapi tidur lagi. Rain beranjak dari tempat tidur. Lalu, membuat sarapan seadanya saja.
Tak butuh waktu lama buat Rain memasak. Hanya tiga puluh menit, nasi goreng dan telur mata sapi sudah tersaji di meja makan.
Rain bergegas melahap sarapannya, lantaran dia sudah sangat lapar. Tak peduli sudah mandi atau belum, yang terpenting adalah makan dan kenyang dulu. Urusan mandi bisa nanti saja, toh interview kerjanya pukul sembilan. Sekarang saja masih pukul enam pagi, jadi dia bisa sedikit bersantai dulu.
[Jangan lupa sarapan, bocil.] satu pesan masuk dari sang abang jahilnya.
"Iya-iya, yaelah abang satu Ini cerewet amat, sih. Kek mama lama-lama," gerutu Rain dengan tertawa kecil. Meskipun jauh, tetapi abangnya masih perhatian dengannya. Dia sangat beruntung mempunyai abang yang sangat menyayanginya. Juga orang tua yang selalu mendukung apapun yang menjadi pilihan Rain, termasuk merantau.
Setelah itu, Rain mencuci piring dan segera bersiap untuk interview kerja. Meski masih pagi, tetapi dia tak ingin terlambat.
Tibalah saat Rain sudah siap dengan segala keperluannya untuk interview kerja. Atasan lengan panjang berwarna putih. Rok warna hitam menjadi pilihannya hari ini, tak lupa pasmina hitam yang menjadi perpaduan sempurna untuk penampilannya hari ini.
Cantik dan manis, dua kata itu yang mewakili penampilan Rain saat ini.
"Okay, sudah siap semua. Semangat, Rain, kamu pasti bisa." Rain berbicara dengan dirinya sendiri, memberi semangat untuk dirinya sendiri.
Rain berangkat ke kantor dengan taksi online. Ingin menghemat dengan naik angkutan umum lainnya, tetapi sudah tak memungkinkan. Sebab, dia takut terlambat. Bisa gawat kalau sampai terlambat.
Empat puluh menit kemudian, Rain sudah sampai di sebuah gedung pencakar langit. Perusahaan yang bernama Anggara Company menjadi tujuannya bekerja di Jakarta.
"Kenapa tiba-tiba aku nervous, sih. Ayolah Rain, kamu bisa. Harus tenang, rilex, jangan panik. Kendalikan diri kamu, Rain." Berkali-kali Rain menarik mengembuskan napasnya. Rasa gugup hinggap begitu saja. Padahal, dia tak boleh gugup.
Rain melangkahkan kakinya ke dalam kantor. Namun, tiba-tiba.
Bruk!
Berkas Rain terjatuh lantaran ada yang menabraknya. Kesal, sebab berkasnya berceceran di lantai.
"Punya mata, nggak? Jalan pake mata, jangan ngelamun aja," ucap seseorang yang menabrak Rain.
"Ish, Bapak kan yang nabrak. Kenapa jadi marahnya ke saya, sih," gerutu Rain tanpa melihat siapa yang menabraknya kali ini.
"Harusnya bapak hati-hati ka-, bapak lagi, bapak lagi. Bosen saya. Bapak yang nabrak, saya yang dimarahin lagi. Heran saya, perasaan Jakarta itu luas, kenapa saya ketemu bapak mulu, sih," ucap Rain.
"Nggak ada waktu buat bicara sama kamu," ucap orang itu, lalu pergi meninggalkan Rain sendirian. Tanpa membantu Rain membereskan berkas-berkas milik Rain.
Rain belum tahu, jika seseorang yang menabraknya dua kali adalah Kevin Anggara Saputra, pria dingin dan cuek, berusia 26 tahun. Dia seorang Presdir di perusahaan Anggara Company. Jarang berinteraksi dengan lawan jenis, kecuali ada hal penting. Sebab, dia sudah malas untuk berhubungan dengan lawan jenis. Makanya, Kevin tak terlalu menanggapi apa yang keluar dari mulut Rain.
"Dasar bapak-bapak galak, kenapa coba harus ketemu dia lagi, dia lagi. Nggak ada orang lain lagi apa? Ngeselin amat jadi orang," gerutu Rain sembari merapikan berkas-berkas miliknya.
"Mbak, saya Rain. Kemarin saya dapat email dari perusahaan, kalau saya dipanggill untuk interview kerja," ucap Rain dengan sopan kepada pihak HRD. Setelah drama bertemu dengan bapak-bapak galak tadi. Untungnya, belum terlambat.
"Ah, iya. Mbak tunggu di sini saja," ucapnya mendapat anggukan dari Rain.
Beberapa menit kemudian, Rain dipanggil untuk interview. Namun, tak membutuhkan waktu lama dia interview. Sebab, dia bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan dengan baik saat di ruangan tadi.
Di sisi lain, Kevin berjalan masuk ke dalam ruangannya. Dibukanya jas hitam yang dia kenakan. Lalu, melempar tubuhnya ke kursi kebesaran miliknya.
"Hah, menyebalkan. Lagi-lagi ketemu gadis itu. Siapa, sih, dia. Kenapa bisa ada di sini?" kesal Kevin saat mengingat kejadian yang menimpanya saat bertemu Rain. Bahkan, sudah dua kali ini dia bertemu dengan gadis pecicilan itu. Ingin saja dia melempar gadis itu ke Antartika, tetapi dia masih punya hati untuk tak melakukan itu.
Kevin mengingat-ingat penampilan Rain dari atas hingga ujung kaki. Sepertinya, dia adalah salah satu pelamar pekerjaan di kantor, pikirnya.
Tiba-tiba ada ide yang terbesit dalam pikirannya untuk mengerjai Rain. Hitung-hitung untuk membalas dendam, sebab Rain sudah berani melawan seorang Kevin.
"Radit, ke ruanganku sekarang. Sekalian bawa data para pelamar kerja, ya. Aku ingin melihat siapa saja kandidat yang akan aku angkat sebagai sekretarisku," ucap Kevin dalam sambungan telepon.
"Baik, Tuan," jawab Radit dengan sopan. Ada yang aneh pikirnya, kenapa bosnya tiba-tiba meminta data pelamar kerja. Tak biasanya bosnya seperti itu.
"Ini, Tuan." Radit memberikan map yang berisi nama-nama pelamar pekerjaan di kantor milik Kevin.
"Hmm." Seperti biasa, hanya deheman yang keluar dari mulut Kevin. Maklum, si dingin antartika memang malas bicara panjang lebar.
"Ada lagi yang dibutuhkan, Tuan?" tanya Radit hati-hati.
"Tunggu di situ," ucap Kevin dengan nada datarnya.
"Baik, Tuan."
Kevin mulai mengecek siapa saja yang melamar di perusahaan miliknya. Sampai pada lembar ke lima, tangannya berhenti membolak-balikkan kertas itu.
Matanya menangkap foto seorang gadis yang baru-baru ini membuatnya kesal. Ya, gadis itu tak lain adalah Rain.
"Raina," gumam Kevin dengan senyum smiriknya.
"Emm, bagus juga CV kamu," guman Kevin sembari memperhatikan CV milik Rain.
"Radit, terima gadis ini. Tempatkan dia sebagai sekretarisku," tegas Kevin.
"Baik, Tuan. Anda sudah yakin?" tanya Radit.
"Kau meragukanku?" Kevin kembali bertanya dengan sorot matanya yang tajam.
"Ah, tidak, Tuan. Mana mungkin saya meragukan, Tuan," ucap Radit sedikit terbata.
"Sebentar, saya urus semuanya dulu, Tuan." Kevin hanya menganggukkan kepala tanda setuju.
"Suruh dia menemuiku!" perintah Kevin pada Radit.
"Baik, Tuan."
Radit bergegas melakukan apa yang diperintahkan oleh bosnya. Termasuk memanggil Rain untuk menemui Kevin.
Rain yang senang lantaran diterima kerja di perusahaan ini, tak menaruh curiga mengapa dirinya bisa diterima. Tak terlalu mudah sebernarnya, sebab Rain juga mengikuti seleksi yang ada.
Rasa gugup tiba-tiba datang, lantaran Rain harus menemui bosnya di ruangan presdir. Entah, dia tak tahu mengapa dirinya dipanggil ke ruangan bosnya. Memilih untuk menuruti perintah, daripada dipecat.
"Permisi!" ucap Rain saat sudah di depan ruangan presdir.
"Masuk." Suara presdir membuat Rain segera memutar knop pintu, dan berjalan ke dalam. Dilihatnya, seseorang yang tengah duduk di kursi kebesaran dengan membelakangi Rain.
Mencoba rilex, Rain memberanikan diri bertanya.
"Maaf, Pak. Bapak manggil saya?" tanya Rain dibalas deheman oleh presdir. Tiba-tiba presdir itu memutar kursinya menghadap Rain.
"Kamu!" pekik Rain saat melihat siapa yang ada di depannya.
.
.