Waktu makan siang pun tiba. Akan tetapi bulan tidak sama sekali keluar dari ruangannya. Ia bahkan tidak terlihat bergeser dari tempat duduknya. Fokusnya tidak terbagi meski sudah waktunya ia untuk mengisi kembali energi dengan memakan sesuatu. Jari jemarinya terus menari di atas keyboard. Matanya tak kalah fokus untuk terus menatap layar terpa.
Deva yang mulai mengkhawatirkan keadaan bulan. Ia hendak masuk kembali ke ruangan yang bulan untuk memeriksanya. Tak biasanya bulat kekasihnya itu tidak makan siang. Biasanya begitu waktu makan siang telah tiba ia. Saling bersegera untuk keluar tarik ruangannya dan mencari makanan di bawah.
"Kamu mau ngapain Deva? Sudah jam makan siang dan kamu masih di sini," ujar Dinda melihat wajah Deva yang tampak cemas sedang memikirkan sesuatu. Deva sesekali melihat ke arah ruangannya Bulan.
Dinda yang tak direspon sama sekali oleh Deva mengerti apa yang sedang dilakukan. Ia lantas kembali menegur Deva.
"Apa yang sedang kau pikirkan? Jangan bilang yang kau berniat untuk kembali masuk ke ruangannya Bulan dan merayunya agar bisa memaafkan mu."
"Bukan itu. Aku sama sekali tidak berniat untuk melakukan itu. Kalau memang dia sedang marah padaku maka lebih baik aku membiarkannya sampai emosinya benar-benar reda."
"Kalau begitu Apa yang kau pikirkan sampai-sampai apa yang aku katakan kepadamu tidak mendapatkan jawaban titik kau bahkan terlihat seperti orang yang sedang cemas memikirkan sesuatu. Jika memang Apa yang kau yakin itu benar maka untuk apa kau khawatir lagi? Kita tinggal menunggunya untuk menenangkan diri kalau setelah itu kita ajak ia bicara dan meminta maaf padanya."
"Kau bahkan tidak mengerti jalan pikiranku. Maka berhentilah untuk menarik kesimpulan. Aku sama sekali tak memikirkan hal yang terjadi di antara kita. Aku tidak memikirkan amarahnya Bulan. Aku hanya memikirkan kondisinya saat ini. Biar bagaimanapun, ia baru keluar dari rumah sakit. Aku takut kalau ia akan kembali masuk ke rumah sakit kalau ia sampai telat makan. Begitu saja kau tidak paham," kata Deva dengan suara agak keras.
"Aku yakin kau bisa berkata dengan pelan dan biasa saja. Tak perlu sampai membentakku begini. Kalau kau memang benar menyayangi nya. Lakukan saja! Kenapa kau menunggu di sini sampai ia keluar? Kau bisa tunjukkan padanya kalau kau peduli dengan kesehatannya!" Dinda yang merasa Deva berkata kasar dan melukai hatinya. Ia kemudian pergi dari dekat Deva.
"Din, bukan seperti itu yang kumaksud! Kau jangan salah paham!"
"Lupakan saja. Aku sadar akan posisiku!" Dinda yang marah pergi. Deva tak bisa menahannya tetap di sana.
Pikirannya terbagi pada siapa ia harus perduli. Ia kemudian memberanikan diri untuk masuk ke dalam ruangan Bulan. Diketuknya pintu ruangan Bulan. Meski tau ia akan mendapatkan perlakuan yang kasar dari Bulan. Rasa khawatirnya akan kesehatan Bulan lebih dari rasa takutnya.
Ketukannya diberikan respon dari Bulan. Bulan meminta siapapun yang mengetuk dari luar agar masuk ke dalam ruangannya. Kesempatan itu sama sekali tak Deva sia-siakan. Ia kemudian masuk secara perlahan. Bulan masih belum menyadari orang yang masuk ke dalam ruangannya. Fokusnya sama sekali tak terbagi.
"Iya, ada apa? Katakan aku sedang sibuk. Kalau ingin menaruh berkas silahkan taruh lalu silahkan keluar dari ruangan saya. Nanti saya lihat berkasnya setelah itu saya akan menandatanganinya bila perlu," kata Bulan tanpa menoleh dan melihat siapa yang tengah ia ajak bicara.
"Kenapa kamu tidak keluar dari ruanganmu? Sudah waktunya makan siang. Kenapa kau tidak mengisi perutmu dan mengembalikan tenagamu yang sudah terkuras. Kau baru keluar dari rumah sakit. Nanti sakit bila kau sampai telat makan," kata Deva.
Suara khas Deva mudah dikenali oleh Bulan. Ekspresi wajahnya seketika berubah menjadi jutek. Tapi ia tak menoleh dan memalingkan matanya dari layar monitor.
"Peduli apa kau tentang kesehatan diriku? Bukannya ada yang lebih kamu pedulikan ketimbang kesehatanku? Memangnya kenapa kalau aku sakit? Bukankah justru itu hal yang bagus. Dengan begitu kau bisa bermesraan dan berduaan lagi bersama Dinda di ruanganmu. Iya kan?" Bulan masih mengungkit apa yang terjadi pagi tadi di ruangannya. Ia sudah berusaha melupakannya tapi tak bisa. Emosi itu terlalu menggebu.
"Aku minta maaf untuk kejadian yang terjadi tadi pagi. Itu tidak seperti yang kau kira. Iya maksudku itu hanya kesalahpahaman saja. Aku hanya kebetulan mencari barang yang sama di ruanganmu. Tidak ada hal lain yang kami lakuka." Deva mencoba memberikan penjelasan.
"Begiu? Kalau memang ingin mencari berkas kenapa harus sampai pegangan tangan dan begitu dekat? Terlihat seperti sedang mesra mesaraan."
"Iya, itu terjadi secara manusiawi. Maksudku itu tidak sama sekali aku rencanakan dan Dinda rencanakan. Terjadi begitu saja. Aku sama sekali Riska bermaksud untuk selingkuh darimu. Tidak ada hal itu. Percayalah," kata Deva.
"Aku percaya mungkin saja. Tapi kejadian itu terjadi di depan mataku. Kau masuk ke ruangan ku saja sudah salah. Ditambah kau seolah ingin mengatur bagaimana ini terjadi ke depannya. Seandainya aku tidak datang ke kantor mungkin kamu lebih leluasa. Aneh sekali aku tak membiarkan orang yang aku sayang menghabiskan waktunya bersama orang lain."
"Aku datang ke sini bukan mengajakmu berdebat Bulan. Aku ke sini untuk memeriksa keadaanmu. Aku khawatir dengan kondisimu karena kamu baru kembali dari rumah sakit. Baru pulih dari sakit. Jika kamu sakit karena telat untuk makan. Maka itu bukan suatu hal yang bagus. Kumohon makanlah sesuatu."
"Keluarlah dari ruangan ku. Aku masih banyak kerjaan yang harus ku selesaikan. Kalau kau sudah tidak memiliki apapun kepentingan untuk disampaikan. Maka aku lebih menyukaimu meninggalkan ruangan ini dengan sopan dan santun. Sebelum aku panggil pihak keamanan untuk mengeluarkanmu secara paksa dari ruanganku. Kau bisa memilihnya," ujar Bulan yang jengkel.
"Baiklah aku akan keluar! Kau tak perlu memanggil pihak keamanan. Aku akan keluar dengan sendirinya. Aku hanya khawatir dengan keadaanmu itu saja. Sekarang aku sudah melihat kau dalam keadaan baik-baik saja. Maka aku akan keluar. Permisi." Deva keluar dengan rasa kesal dan putus asa. Niat baiknya tetap tak digubris. Penyebabnya karena ulahnya sendiri.
Deva tak kehabisan akal. Ia kemudian pergi ke kantin untuk membeli beberapa makanan. Ia lalu membawanya naik ke ruangannya. Setelah memisahkan pesanan yang ia pesan. Ia kemudian membawa sebuah kotak berisi makanan. Hendak diberikan kepada Bulan. Salah satu cara agar Bulan mau mengisi perutnya yang kosong.
Ia kembali mengetuk tapi diberikan respon yang sama. Sebelum benar-benar diusir Deva segera menaruh kantong plastik putik berisi sebuah kotak yang di dalamnya ada makanan. Meletakkannya di atas meja Bulan. Deva harap-harap cemas. Karena Bulan sedang dalam kondisi larut dengan pekerjaannya.