"Pa, kalian gak bisa egois kayak gitu dong. Aku mencintai Zia dan—"
"Kamu mencintainya, kan? Kamu mau menikah dengan Zia, kan? Lantas apa masalahnya?" tanya Zafran.
Zafran dan Nadia mulai melancarkan aksi mereka. Jika tidak berbohong seperti itu, maka Nathan tidak akan pernah mau meninggalkan Zia. "Selesaikan sekolah kamu, kuliah dengan lulusan terbaik. Ya, itu bisa membuat Paman kamu mau menerima kamu, Nath."
"Papa yakin?"
"Dia tidak akan mencarikan calon suami yang sembarangan. Harus jelas bibit dan bobotnya. Kamu hanya seorang anak remaja, yang belum bisa mencari uang sendiri. Kalau kamu sekolah di luar negeri, bisa memiliki pengalaman kerja di sana, tidak menuntut kemungkinan kamu bisa berdiri tanpa nama Carter. Mengerti!"
Semua yang Zafran katakan hanyalah kebohongan semata. Tetap saja, bagaimanapun juga Nathan dan Zia tidak akan pernah bersama. Tidak pernah ada dalam sejarah, mereka menikah dengan satu darah yang sama. Pernikahan sedarah tidak akan pernah berhasil, Carter selalu menganggap itu adalah suatu kutukan bagi keluarga besarnya.
Keenan membuat rencana itu agar dia bisa menikahkan Zia dengan laki-laki lain. Tentunya yang sesuai dengan kriterianya.
Nathan hanya terdiam, membuat Nadia dan Zafran mendekat. Keduanya tahu, berbohong seperti ini adalah kesalahan. Akan tetapi, tidak ada cara lagi agar Nathan menjauh dari Zia.
Walaupun Nadia tidak bisa yakin, apa dia akan mampu jauh dari putranya ini atau tidak. "Nath, ini juga berat buat Mama. Cuma, ini memang yang terbaik buat kamu dan masa depan kamu."
"Aku mau bicara ini dulu sama Zia. Gak apa-apa, kan?"
"Nathan! Mama harap kamu gak bakalan menolaknya, ini kesempatan yang bagus buat kamu," tambah Nadia.
Nathan mengangguk dan pergi. Nathan yakin, tentu saja dia yakin kalau Nadia tidak mungkin melakukan hal yang salah. Hubungannya dengan Zia memang salah, tetapi Nadia tidak pernah menyalahkan dirinya ataupun Zia.
Jadi Nathan pikir, semuanya memang akan baik-baik saja. Kepergian Nathan membuat Nadia terdiam, melihat istrinya yang dilema, Zafran pun memeluknya sembari mengangguk.
Zafran berusaha meyakinkan Nadia terus menerus, kalau ini adalah keputusan yang tepat. Zafran mengelus tangan Nadia, membuat Nadia membuang napasnya dan mengangguk.
Berbeda dengan Nathan, saat ini Keenan tidak mengatakan apa pun pada Zia. Bahkan di meja makan pun, seperti biasanya, tida ada obrolan apa-apa. Mereka berdua diam, seperti dua orang yang tidak saling mengenal ada di meja yang sama.
"Pa!"
"Saya sudah selesai, tolong bereskan!" ucap Keenan sembari pergi.
Selalu seperti itu. Zia adalah putri Keenan, bahkan putri satu-satunya. Akan tetapi, entah kenapa Keenan begitu acuh padanya.
Zia membuang napasnya, dia kemudian kembali ke kamar tanpa menghabiskan makanannya. Rasanya lelah ada di keluarga seperti ini. Zia duduk di balkon kamarnya, memeluk lututnya sendiri, sembari menatap hitamnya malam.
Bosan.
Tentu saja dia merasa bosan, andai tidak ada Nathan dalam hidupnya. Andai Zia tidak terlahir sebagai putri Keenan, mungkin semua akan jauh lebih membuatnya bahagia. Walaupun tidak semua hal, membuatnya muak.
Dering ponsel Zia berbunyi, membuatnya meraih ponselnya yang tergeletak di samping tubuhnya.
Nathan.
"Halo, Nath. Kenapa?"
[Kamu lagi apa, udah makan?]
"Udah. Nathan udah makan belum? Hari ini gimana?"
Nathan terdiam sesaat. Dia ingin menceritakan semuanya pada Zia. Namun, apa mungkin dia rela meninggalkan Zia di sini sendirian?
"Nath, kenapa?"
[Bisa gak besok kita ketemu. Di tempat biasa?]
"Bisa kok, kamu kenapa? Kalau ada apa-apa itu cerita, jangan dipendam sendiri." Nathan terdiam beberapa saat, lantas dia mematikan panggilan itu.
Entah bagaimana cara Nathan menjelaskan pada Zia. Namun, dia akan berusaha meyakinkan Zia kalau dirinya hanya akan pergi sebentar. Lantas kembali lagi untuk meminangnya.
Keesokan harinya, Zia sudah ada di taman bunga yang biasa dia dan Nathan kunjungi. Nathan sendiri belum datang, Zia sudah lebih dulu ada di sana.
Nathan menyempatkan diri membeli bunga matahari, dia berjalan dengan tatapan yang terarah pada Zia. Senyuman Zia membuat Nathan merasa semakin takut, ya dia takut kehilangan perempuan itu. "Kamu kenapa?"
"Gak kenapa-napa. Udah lama, Zia?" tanya Nathan sembari memberikan bunga yang dibelinya itu.
Zia tersenyum manis, dia menerima bunga dari Nathan. Kedatangan Nathan saja sudah membuat Zia curiga. Ya, tidak seperti biasanya dia bersikap kaku seperti ini.
Namun, Zia masih menunggu semua hal yang ingin diucapkan kekasihnya itu. Nathan membuang napasnya, lantas menceritakan semua yang dikatakan Zafran. Mengenai dirinya, masa depannya, juga cintanya.
Ya, semua yang akan Nathan lakukan semuanya hanya demi masa depan mereka. "Jadi, aku pikir aku bakalan ikut kata-kata Ayah."
"Pergi untuk kuliah di Oxford?" tanya Zia yang mendapat anggukan Nathan.
Nathan sangat pintar. Ya, semua keturunan Carter memiliki IQ di atas rata-rata. "Zia, ini demi kita demi masa depan kita. Kalau aku bisa kuliah di sana, bisa punya pekerjaan juga, tanpa campur tangan keluarga kita. Ya, aku bisa menikahi kamu."
"Siapa yang bilang, Nath? Itu semua hanya akal-akalan mereka supaya kamu pergi dan ninggalin aku," ujar Zia.
Namun, Nathan menggeleng. Tentu saja tidak mungkin kalau itu hanyalah sebuah kebohongan, soalnya Nadia ikut berperan di sana. Dan Nathan sangat tahu, ibunya tidak mungkin membiarkannya jauh dari jangkauannya sendiri.
"Mama juga dukung aku soal ini. Kamu tahu gimana dia, kan, dia gak mungkin ikut-ikutan buat pisahin kita," jelas Nathan.
"Terus kamu mau?"
"Zia, ini demi kita." Zia menggeleng, karena menurutnya ini bukanlah ide yang bagus.
"Kamu tahu sendiri Nath, aku gak punya siapa-siapa selain kamu. Kalau kamu pergi, kalau kamu jauh, siapa yang mau jagain aku? Siapa yang mau—"
Zia menghentikan kalimatnya, telat saat Nathan mengecup bibirnya. Hanya sekilas, tetapi itu berhasil membungkam Zia.
"Aku bakalan pulang secepatnya. Aku juga gak bisa ninggalin kamu, Zia."
"Nathan! Aku gak mau," ucap Zia lagi sembari menggeleng.
Nathan mengambil tangan Zia, dia hanya mengangguk dengan hati yang berkecamuk. Bingung. Hanya itu yang kini menguasai pikiran dan hati Nathan.
Jika dia pergi, lantas dengan siapa Zia? Memang benar. Akan tetapi, jika Nathan tidak pergi, maka dia tidak akan mendapatkan kebahagiaan di masa depan nanti.
Nathan dan Zia hanya saling menggenggam, tidak tahu harus melakukan apa untuk mereka. "Kapan kamu pergi?"
"Bulan depan. Jadi, masih banyak waktu biar kita bersama."
Zia mengangguk, dia menyenderkan kepalanya di pundak Nathan sembari menutup mata. Membiarkan angin menyentuh wajahnya, membiarkan bunga memberikan aroma harum yang menenangkan.
"Aku janji, begitu aku kembali. Begitu aku bisa mendirikan perusahaan sendiri, maka aku akan menikahi kamu. Ayah sama Mama udah setuju soal itu," jelasnya.
Zia hanya bisa kembali mengangguk lagi, dia pikir semua memang akan begitu adanya. Harapan Zia, Nathan akan menepati janjinya dan semua akan berakhir dengan bahagia.