Zia dan Nathan masih betah berdua-duaan. Keduanya telah melakukan hubungan terlarang, yang mana tentu saja itu sesuatu yang salah. Zia masih setia menyimpan kepalanya di dada bidang milik Nathan. Keduanya tidak mengenakan apa pun. Nathan melakukan semua ini karena dia tahu, beberapa saat lagi dia akan pergi.
"Kamu gak nyesel, kan?"
Zia hanya menggeleng kuat, dia menutup matanya di atas dada polos Nathan. "Aku cuma merasa takut, takut kalau kamu pergi."
"Sekalipun aku pergi, aku akan kembali."
"Janji?" tanya Zia sembari mendongak.
Nathan mengangguk, dia tidak akan pernah meninggalkan Zia karena alasan apa pun. Tujuannya pergi ke luar negeri pun untuk kelangsungan masa depannya, dia ingin menjemput Zia dengan kemampuannya sendiri.
Nathan mengecup singkat kening Zia, membuat Zia kembali menutup matanya. Merasakan kehangatan yang tidak dia rasakan dari siapa pun. Saat ini, Nathan memilikinya seutuhnya.
Beberapa hari ini Zia tinggal bersama Nathan. Dia tidak kembali ke rumah, atau pulang ke tempat Alena. Sementara tapa dia tahu, seseorang setiap hari selalu menunggunya. Di danau, di pinggiran kota, bahkan di restoran terakhir kali dia melihat Zia. Siapa lagi kalau bukan Vero. Pemuda itu memang tidak bisa bicara, tetapi dia memiliki mata dan perasaan. Bukan mencintai Zia, Vero hanya ingin memberikan sesuatu pada gadis itu.
"Ngapain di sini? Ayo, masuk!"
Terlihat tangan Vero memegang sesuatu, membuat Bizka bertanya tentang apa yang ada di tangan putranya itu. "Apa itu?"
Vero menyembunyikannya, dia menggeleng kuat, lantas pergi. Bizka yang melihat itu hanya menaikan alisnya, dia tidak mengerti kenapa Vero menyembunyikannya.
Tentu saja Bizka tahu kalau itu hanya sebuah lukisan atau juga coretan dari puisi Vero. Biasanya memang seperti itu. Akan tetapi, entah kenapa kali ini Bizka tidak boleh tahu.
"Dia lagi nunggu siapa coba," ujar Bizka sembari mengamati sekitar.
Bizka menaikan pundaknya, dia tidak melihat siapa pun di sana. Ini pertama kalinya Vero menunggu seseorang, biasanya dia akan sibuk dengan dunianya yang Bizka sendiri pun tidak mengerti.
Di balkon rumah, tepatnya di depan kamarnya sendiri Vero mengamati sekitar. Dari sana memang terlihat beberapa aktivitas di danau, juga beberapa tempat yang biasa digunakan para seniman untuk berkarya. Namun, kali ini semuanya tampak tidak menarik. Gadis yang ditunggunya tak kunjung menunjukkan batang hidungnya.
Vero mengerucutkan bibirnya, dia memikirkan di mana keberadaan Zia.
Restoran?
Apa mungkin hari ini dia akan menemukan Zia di sana? Vero mengambil kameranya yang dia kalung 'kan ke leher. Senyumannya seketika mengembang, menampilkan lesung pipi yang menawan.
[Bunda, Vero izin pergi ke luar.]
Vero menulis catatan itu di kertas, yang kini dia tempelkan di pintu kamarnya. Dengan antusias, Vero pergi mengendarai sepedanya.
"Kamu mau ke mana?"
"Mau siapin barang, besok aku harus ...." Nathan melihat dengan jelas kalau kekasihnya itu tidak ingin ditinggalkan.
Zia menatap lekat, seakan mengatakan kalau dirinya tidak ingin ditinggalkan. "Kamu beneran mau pergi, Nath?"
"Lebih cepat lebih baik, Zia. Biar aku cepat pulang lagi," ucapnya.
"Kamu kenapa?"
"Aku ngerasa ada sesuatu yang salah. Aku gak—" Nathan mendekat, dia kini duduk di depan kekasihnya dengan jarak wajah yang sangat dekat.
Cup
Nathan mengecup bibir Zia, membuat gadis itu hanya mematung menatap kkasihnya.
"Aku akan kembali. Kamu harus percaya itu. Tugas kamu, cuma tunggu aku pulang."
"Aku mau ikut aja. Boleh, kan? Temenin kamu kuliah di sana," pinta Zia.
Nathan tersenyum mendengar itu. Sebenarnya bisa saja Zia juga pergi ke sana. Namun, Nathan belum memiliki pekerjaan yang bisa menghidupi Zia di luar negeri. Kehidupan di sana lebih keras dan membutuhkan biaya lebih banyak dibandingkan di Indonesia. Rasanya itu tidak mungkin.
Zia merengek, dia tidak ingin ditinggalkan. Sikap perempuan itu tentu saja membuat Nathan marah. Nathan juga tidak ingin pergi, tetapi mereka harus melakukannya. Harusnya Zia mendukung pilihan Nathan karena itu pun untuk mereka berdua.
"Kok, kamu malah marah?"
"Kamu sih, gak ngerti perasaan aku. Emang kamu pikir aku seneng gitu bisa jauh dari kamu, hah?"
"Nath!" panggil Zia.
Namun, Nathan pergi dengan perasaan kesal. Meninggalkan Zia yang masih duduk di atas tempat tidurnya.
***
"Kamu kembali, Nath. Dari mana saja?"
"Ada kok, di apartemen. Nathan datang buat beresin keperluan Nathan," ucapnya.
Namun, Nadia sudah menunjukkan beberapa koper yang akan putranya itu bawa. Terlihat jelas dari matanya, kalau Nadia tidak ingin jauh.
"Bunda udah atur semuanya, Nath. Kamu dan Zia?" tanya Nadia.
Nathan tersenyum mendengar Nadia masih mempertanyakan Zia. "Dia gak mau Nathan pergi, cuma ini jalan yang terbaik buat kita, kan?"
Nadia mengangguk menjawab pertanyaan Nathan. Walau sebenarnya dia tahu, semuanya tidak seperti yang Nathan pikirkan.
Nadia hanya diam, dia mengamati Nathan yang kini membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Apakah dia berdosa karena memisahkan dua orang yang saling mencintai?
"Kamu mencintainya?"
"Sangat. Bunda masih belum yakin soal itu? Aish, Nathan udah pernah bilang kalau cuma Zia perempuan yang bisa buat Nathan jatuh cinta. Dia cinta Nathan, kedua setelah Bunda," jelasnya.
Senyuman mengembang di wajah Nadia, sementara Nathan hanya melirik ibunya sembari tersenyum juga. "Nathan juga bilang sama Zia, kalau Bunda gak mau Nathan pergi."
"Bunda juga pengen ikut saja kamu, tapi Papa kamu itu siapa yang jagain kalau bukan Bunda," ucap Nadia.
Nathan dengan cepat mendekat, dia meyakinkan ibunya kalau dirinya akan sukses dan kembali secepat yang dia bisa.
"Dalam 2 tahun Nathan akan kuliah dan keluar sebagai mahasiswa terbaik, setelahnya Nathan akan bekerja sampai menjadi pengusaha sukses. Jadi, Nathan akan pulang setelah—"
"Apa kamu tidak akan kembali selama itu?" tanya Nadia.
"Kalau Bunda minta Nathan pulang, Nathan pasti pulang, kok." Nadia mengangguk, dia melihat putranya itu tersenyum manis.
Senyuman palsu. Nadia tahu itu, ini bukan hanya sulit baginya juga Zia. Akan tetapi, Nathan juga pastinya merasa kesulitan pergi dari Indonesia.
"Bunda, Nathan mau tidur sama Bunda."
"Kamu udah gede, Nath. Ya kali mau tidur sama Bunda," ucap Nadia.
Namun, Nadia bangkit dan duduk di tempat tidur putranya. Menyenderkan tubuhnya ke ranjang, Nadia tersenyum sembari menepuk-nepuk pahanya. Nathan yang melihat itu dengan cepat membaringkan tubuhnya dan menjadikan paha Nadia sebagai bantalannya.
Nathan mengambil tangan Nadia, mengelusnya sembari berkata, "Semoga setelah kepergian Nathan, kalian bisa melihat betapa Nathan mencintai Dia. Nathan mau, saat Nathan pulang nanti, Zia bisa menjadi milik Nathan seutuhnya."
"Semoga ya, kamu juga harus fokus di sana biar cepat pulang."
"Siap, Bunda!" Nathan membuka matanya, dia melakukan gerakan hormat pada Nadia membuat ibunya itu tersenyum.