"Zia! Bangun, Zia!" panggil seseorang.
Zia masih betah berada dalam selimutnya. Dia malah menutup wajahnya, saat tahu matahari mulai menerobos jendela kamar.
Melihat aksi Zia, dengan terpaksa Alena membangunkan gadis itu dengan paksa. Dia mendudukkan Zia, mencoba mengusap wajahnya, agar Zia tersadar.
"Astaga, kamu gak mau nganterin Nathan ke bandara emangnya?"
Nathan?
Bandara?
Seketika ingatan Zia kembali, dia membuka matanya, dan melihat jam di dinding. "Aku terlambat, Bunda?"
"Makanya cepat bangun, sebelum terlambat!"
Zia dengan cepat bangkit, dia hanya mencuci wajahnya dan langsung meraih tas. Zia pergi dengan tergesa-gesa. Tentu saja karena Zia tidak ingin ketinggalan kesempatan untuk bertemu dengan Nathan.
Entah berapa lama kekasihnya itu akan pergi. Jadi, Zia ingin melihatnya sebelum Nathan benar-benar pergi jauh darinya. Zia mengendarai mobilnya sendiri, jarak dari rumah Alena ke rumah Nathan cukup jauh.
Sesekali matanya melihat arloji di tangan, memastikan kalau Zia tidak akan terlambat untuk melihat Nathan. Ini masih jam 7 pagi, setidaknya masih ada waktu satu jam sampai Nathan pergi ke bandara.
Sementara di sisi lain, Nathan dipaksa Zafran dan Nadia untuk segera berangkat. Tentu itu memang keinginan Keenan, yang mana dia tidak ingin Zia melihat Nathan lagi. "Ayo dong Sayang, ini udah jam berapa."
"Bun, pesawat Nathan itu jam 8 lebih. Jadi masih ada waktu, lagian jarak ke bandara gak begitu jauh."
"Biar gak telat aja, Nath. Ayo, Papa udah siap!" Zafran ikut mengomentari, sementara Nathan hanya melihat ponselnya, yang mana pesan dari Zia tidak juga sampai padanya.
Padahal beberapa waktu lalu Zia berjanji untuk mengantarnya ke bandara. Namun, sampai jam segini gadis itu belum juga datang.
Nathan mencoba mengirim pesan, menghubungi Zia juga. Soalnya, ponsel gadis itu ketinggalan di rumah. Saking buru-burunya, Zia tidak sempat memasukkan ponselnya ke tas.
Tidak ada pilihan lain, Nathan pun menuruti Zafran dan Nadia untuk segera pergi. Dia pikir, Zia akan menyusulnya ke bandara. Jadi tidak perlu mengkhawatirkan gadis itu, karena Nathan juga yakin kalau Zia tidak mungkin batal menemuinya.
Tepat saat mobil Nathan pergi, bertepatan juga dengan mobil Zia yang masuk ke area komplek rumah Nathan. "Pak, Nathan masih ada di dalam, kan?"
"Den Nathan anaknya Pak Zafran?"
"Iya, bener. Paman saya," jelas Zia.
"Sepertinya mobilnya baru saja keluar, Non. Mungkin masih bisa dikejar," ujarnya.
Mendengar itu Zia langsung memutar balik mobilnya dan pergi dari sana dengan kecepatan penuh. Dia sedikit heran kenapa Nathan pergi begitu saja. Kenapa kekasihnya itu tidak mau menunggunya dulu.
Zia sudah pasti akan menepati janji. Lantas kenapa Nathan mengabaikannya?
Gelisah, resah, hati Zia saat ini benar-benar tidak bisa tenang. Dia ketakutan yang benar-benar ketakutan. Baru saja beberapa meter menjauh dari area komplek, tiba-tiba mobil Zia berhenti begitu saja.
Zia berteriak, "Arghh, kenapa lagi coba. Udah tahu lagi buru-buru."
Zia terus menggerutu sembari keluar dari mobil. Bam belakang ternyata bocor. Zia tidak mungkin bisa membawa mobilnya dengan keadaan seperti ini. Mencoba untuk tenang, Zia membuang napasnya, dan bersikap tenang sebisa mungkin.
Tidak bisa naik ojek online atau taksi online. Zia tidak membawa ponselnya. Lantas bagaimana ini? Zia sendiri tidak tahu harus bagaimana.
"Bisa gak sih, bocornya nanti aja pulang dari bandara. Sekarang gue harus kejar Nathan. Gue gak mau kalau harus ditinggalkan tanpa melihat dia dulu. Ayolah kerja samanya," gerutu Zia.
"Ya Tuhan, kirimkan Zia penolong. Zia mau kejar Nathan," ucap Zia sembari mengepalkan tangannya, memohon.
Zia hanya bisa terduduk lemas. Tidak ada ban cadangan, tidak pula Zia bisa mengganti ban. Jadi, dia hanya bisa termenung menunggu mobil lain lewat. Berharap akan ada tumpangan untuknya.
Satu mobil melintas, membuat Zia segera menahannya. Namun, mobil itu melaju saja tanpa berniat untuk berhenti. Sudah beberapa menit Zia di sana, bahkan dia sudah merasa frustasi karena belum juga bisa beranjak dari tempat itu.
Sampai akhirnya, sebuah mobil berhenti begitu saja di depan mobilnya. Zia menyipitkan mata, melihat siapa yang keluar dari sana. Seseorang keluar sembari bertanya menggunakan bahasa isyaratnya.
"Ban mobilnya bocor, gue ... ah, aku harus cepat-cepat pergi ke bandara. Kamu bisa bantu?" Anggukan pemuda itu membuat Zia merasa lega.
Dia pun mengambil tas, dan langsung masuk ke mobil pemuda tersebut. Di dalam sana, ada sopir yang mengendarai. Ternyata pemuda itu tengah menaiki taksi online. "Pak, ke bandara sekarang. Tolong cepetan dikit ya, ongkosnya saya yang bayar."
"Baik, Non."
Zia melirik Vero, tentu dia tahu siapa pemuda itu. Vero hanya tersenyum melihat Zia. Sementara Zia memijat kepalanya karena merasa pusing.
Vero memberikan botol air mineral. Mengisyaratkan agar Zia mau minum. Setidaknya, dengan minum Zia akan merasa lebih tenang lagi. "Kamu mau ke mana?"
Vero hanya tersenyum.
"Jam segini, Mas Vero biasanya pergi ke toko buku atau membeli peralatan melukis."
"Dia bisa melukis? Bukannya dia seorang fotografer?" tanya Zia pada sopir taksi tersebut.
Sopir itu memang sudah terbiasa mengantar Vero bepergian. Selain ke toko peralatan melukis, Vero biasanya akan pergi ke toko buku.
"Saya kurang tahu kalau soal itu, Non."
"Di sini aja, Pak!" ujar Zia.
Sebelum keluar, Zia membayar ongkos taksi, dia juga mengucapkan terima kasih pada Vero menggunakan bahasa isyarat. Awalnya Vero meraih tangan Zia, mencoba menolak uang ongkos yang diberikannya. Namun, Zia yang sudah terlambat dan terburu-buru memilih pergi begitu saja.
Zia berlari ke dalam bandara untuk mencari Nathan. Napasnya terengah-engah, matanya terus mencari keberadaan pujaan hatinya itu. Sampai akhirnya, seseorang berteriak, "Zia!"
Seketika Zia melebarkan senyumannya. Dia menemukan Nathan masih duduk di kursi tunggu. Zia dengan cepat berlari, begitu juga dengan Nathan.
Zafran dan Nadia tidak bisa berbuat lebih. Mereka hanya menjadi penonton di sana. Awalnya ingin memisahkan, tetapi Nadia mengisyaratkan agar Zafran diam saja. Ini hari terakhir Zia bertemu dengan Nathan. Tidak ada salahnya jika mereka membuat kenangan yang baik.
"Kamu kenapa ninggalin aku?"
"Aku udah nunggu di rumah," ucap Nathan yang masih setia memeluk Zia.
"Aku telat bangun, terus tadi ban mobilnya pecah," cerita Zia.
Nathan memeriksa kondisi tubuh kekasihnya. Zia menjelaskan kalau dirinya tidak apa-apa. Hanya merasa lelah karena menunggu tumpangan dan berlarian. "Gak bawa ponselnya, makanya gak bisa telepon taksi online," jelas Zia lagi.
"Ya udah, gak apa-apa. Yang penting sekarang kamu di sini. Aku bisa lihat kamu dulu."
Zia mengangguk setuju. Mereka kembali berpelukan, membuat Zafran dan Nadia bangkit dari duduk mereka.
"Paman!"
"Kamu baik-baik aja, kan?"
"Paman, tolong minta Nathan buat kembali secepatnya!" ujar Zia yang membuat Zafran mengangguk.
Tidak lama, nama pesawat yang akan ditumpangi Nathan pun akan segera berangkat. Nathan pamit pada kedua orang tuanya. Dia juga memeluk mereka. Mulai merasa takut kehilangan. Ini pertama kalinya Nathan pergi jauh dari mereka.
Sementara Zia, dia masih berdiri dengan mata yang sudah berair. Tentu saja dia tidak mau ditinggalkan.
"Aku pengen ikut!"
"Aku bakalan cepat pulang, kok. Tunggu aku pulang, ya!" pinta Nathan yang membuat Zia mengangguk.
Zia memeluk Nathan lagi, pemuda itu mengecup kening Zia. "Berjanjilah!"
"Aku akan menunggu kamu pulang."
"Anak baik," ucap Nathan sembari mengusap air mata Zia.
"Jangan nangis dan harus kuat. Oke? Aku ada, cuma jauh aja. Sering-sering hubungi aku."
"Siap!" seru Zia.
Perpisahan macam apa ini?
Zia hanya bisa terus mengusap air matanya. Tangannya bahkan tidak sanggup melambai. Dia ingin ikut bersama Nathan. Tak ingin ditinggalkan seperti ini.