Chereads / Imperfect Love Scandal / Chapter 2 - Danau

Chapter 2 - Danau

"Jangan nangis. Aku ke sana sekarang, ya!" Nathan menutup panggilan telepon dari Zia.

Zia menghubunginya, dia menceritakan apa yang terjadi hari ini dan apa yang diucapkan Kenan padanya tadi. Nathan tahu, ini tidaklah mudah. Akan tetapi, mau bagaimanapun memang inilah konsekuensi dari hubungan mereka.

Tanpa menunggu lama, hanya butuh 15 menit Nathan sudah sampai di rumah Kenan. Dia bisa masuk dengan mudah karena dirinya memang bagian dari Carter. Untungnya Kenan belum menerapkan sistem apa pun untuk menghalangi pertemuan mereka. Jadi, sudah dipastikan kalau Nathan bisa keluar masuk rumah Kenan dengan mudah.

Nathan mulai mencari keberadaan Zia. Dia menaiki anak tangga untuk menuju kamar gadis itu, tetapi Zia tidak ada di sana. Tampaknya rumah Kenan memang kosong. Tidak terlihat Zia dan Kenan di sana. Dengan cepat Nathan kembali ke bawah untuk menanyakan keberadaan Zia pada asisten di sana.

"Bi! Zia ke mana, ya?" Nathan mencoba mengetuk pintu kamar asisten. Namun, tidak ada jawaban dari dalam sana.

"Bi! Bibi?!" teriak Nathan memanggil asisten rumah yang tampaknya memang tidak ada di kamarnya.

Nathan berbalik untuk mencari Zia. Namun, sebelum dia berhasil pergi jauh seseorang datang dari arah belakang. "Mas Nathan! Cari Nona Zia, ya? Dia ada di balkon belakang."

"Emangnya ada apa, Bi? Apa mereka berantem lagi?"

Asisten itu hanya mengangguk. "Yaudah, saya liat Zia dulu."

Nathan sudah menemukan Zia, gadis itu tengah memeluk lututnya sendiri. Zia menatap hitamnya langit, sorot matanya menatap bintang-bintang yang saat ini tengah menyaksikan pilu dalam hatinya. Nathan tidak mengeluarkan suara, dia hanya duduk di samping Zia sembari melakukan hal yang sama. Zia meliriknya, lantas tersenyum mendapati kekasihnya ada di sana. Kepalanya kini dia sandarkan di pundak Nathan. Inilah kenyamanan yang membuat Zia selalu merasa tenang.

Hanya Nathan yang mampu membuat semuanya terasa baik-baik saja. Akan tetapi, Kenan selalu saja membuat Zia kehilangan orang-orang yang membuatnya bahagia. Kenan selalu memaksa mereka untuk pergi dan Zia tidak ingin kalau ayahnya itu meminta Nathan untuk pergi darinya.

"Apa cinta kita sebuah kesalahan? Ayah tidak pernah mau memahaminya, padahal dia tahu kalau kamu bagian dari kebahagiaan aku, Nat."

"Jangan dengarkan mereka. Aku tahu ini akan berat, tapi aku mencintaimu dan tidak akan meninggalkanmu sendirian." Nathan merangkul tubuh Zia, dia juga mengusap kepala gadis itu untuk menenangkannya.

Hubungan mereka memang tidak akan mudah, mereka mungkin akan kesulitan bertemu dengan bahagia. Hanya saja, bagi mereka bisa bersama saja sudah lebih dari cukup. "Jalan-jalan keluar, yuk. Biar gak sedih lagi."

Zia mendongak untuk melihat wajah Nathan. "Ke mana?"

"Ke mana aja, cari makan atau apa gitu. Mau, ya?" Zia pun mengangguk.

Lagi pula, Kenan tidak ada di rumah. Tengah malam begini ayahnya itu akan pergi dengan wanita malamnya. Kenan tidak akan berada di rumah, dia akan selalu sibuk, dan lupa untuk memperhatikan putrinya sendiri. Itulah kenapa Kenan dan Zia tidak pernah akur. Mereka sangat kekurangan waktu untuk bersama.

Keduanya memutuskan untuk berjalan-jalan. Nathan ingin menghibur Zia dan membawanya ke tempat yang mungkin akan membuat suasana hati Zia kembali baik. "Kenapa harus bawa ini semua?"

"Aku tahu kalau melukis bisa buat kamu senang. Jadi, kenapa kita gak bikin challenge buat melukis aja. Gimana?"

"Challenge? Kamu gak salah, kan? Ini aku udah kelas kakap, loh." Nathan tersenyum mendengar itu.

Benar juga apa kata Zia. Dia hanya baru bisa, sementara Zia sudah pro terhadap semua hal yang berbau lukisan. Lantas untuk apa ada acara challenge yang jelas-jelas Zia akan menjadi pemenangnya. "Siapa tahu kamu gak fokus karena main challenge-nya sama aku. Siapa tau aja gitu," ujarnya yang membuat Zia hanya mendelik sembari tersenyum.

"Tidak akan pernah. Seorang Zia tidak akan pernah gagal fokus hanya karena laki-laki."

"Termasuk aku?" Zia mengangguk dengan percaya diri.

Melihat tingkah kekasihnya, Nathan mengusap rambut Zia sembari tersenyum. Zia memang berbeda, sekali pun usia mereka terpaut cukup jauh, tetapi mereka tampak sangat serasi. Wajah Zia masih terlihat seperti remaja dan Nathan punya gaya dan struktur wajah yang cukup dewasa.

***

"Ternyata di danau lebih indah kalau malam hari, ya."

"Iya, makanya aku ajak kamu ke sini. Aku pernah lewat sini, jadi tahu kalau suasana malam lebih cocok buat berimajinasi." Nathan saat ini tengah menyiapkan persiapan melukis untuk mereka.

Sementara Zia hanya merentangkan tangannya, menatap indahnya langit lewat pantulan air danau. Rasanya sejuk dan damai. Zia suka berada di sana. Nathan mendekat, dia langsung melingkarkan tangannya di pinggang Zia dan menyimpan dagunya di pundak kekasihnya itu. "Aku mohon, apa pun yang terjadi jangan berpikir untuk mengarah, ya." Zia melirik Nathan, dia menatap wajah kekasihnya itu dengan lekat.

"Aku akan meyakinkan Mama sama Papa. Tunggu aku, ya!"

"Yuk, kita mulai challenge-nya. Mau bikin apa?"

Sementara itu, di sisi lain seseorang tengah berjalan-jalan sembari memotret sekitarnya. Semua objek yang menarik, akan membuatnya tertarik untuk mengabadikannya. Senyuman terlukis indah kala objek yang dia hasilkan cukup memuaskan indra penglihatannya.

Matanya kembali menemukan keindahan yang sama. Seseorang yang sempat menjadi objek gambarnya juga di sore hari tadi. Pemuda itu memeriksa galerinya, dia mulai menyamakan apa yang dilihatnya adalah sama. Senyuman kembali mengembang, kala matanya tidak salah dalam mengira sesuatu.

Saat tengah asyik melihat Zia yang tengah melukis, mata Zia yang semuala hanya fokus pada kanvas di depannya. Kini, malah teralihkan dengan sosok yang sama. Kedua mata mereka beradu, hingga senyuman indah dengan lesung pipi menawan itu terlihat di wajah si pemuda. Zia berdehem, lantas memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Kamu kenapa?" tany Nathan.

Si pemuda baru menyadari kalau di samping gadis itu ada seorang laki-laki. Entah siapa. Akan tetapi, tampaknya mereka terlihat sangat dekat. Matanya masih mengamati kedua insan itu, dia kemudian memotretnya. Namun, bukan keduanya, dia hanya memotret gadis yang saat ini tengah melebarkan senyumannya.

***

Ruangan berukuran besar, tetapi tampak sangat sumpek dengan lembaran gambar yang bertumpuk di mana-mana. Dinding hitam dengan ribuan gambar yang juga menghiasinya. Seseorang menghela napasnya panjang saat matanya melihat pemandangan yang sudah tidak asing itu. "Kapan kamu mau bangun terus membersihkan kamar kamu sendiri, Vero?!" teriaknya kesal.

Namun, tampaknya pemuda itu tidak peduli dengan ocehan sang Ibu. Dia malah menutup dirinya dengan selimut, lantas kembali memejamkan matanya.

"Vero! Kamu main di danau lagi? Kenapa gak cari objek lain, ke pantai misalnya." Sontak pemuda bernama Vero itu membuka selimutnya, lantas dia duduk sembari menatap ibunya.

Ibunya mengangguk sembari tetap merapikan kamar putranya. "Iya, lusa Bunda ada cara di luar. Kalau kamu mau ikut, kita bisa pergi sama-sama soalnya acaranya di pantai."

"Nanti kita ketemu sama anak Bunda. Mau?" Hanya anggukan yang menjadi jawaban, wanita itu tersenyum yang tentunya mendapat jawaban senyuman juga dari putranya itu.

Mengingat pantai dan keindahannya, pemuda itu meraih kameranya, lantas memeriksa objek yang sedari tadi membuatnya gelisah. Aksi itu dilihat ibunya, wanita berambut pirang itu duduk di samping putranya. "Siapa dia?" tanyanya.

"Lain kali, ambil gambarnya dari dekat. Bunda jadi gak bisa liat jelas wajahnya," ucapnya.

"Tidurlah. Besok harus bangun pagi, biar bisa dapat gambar bagus. Matahari terbit akan menjadi objek yang sangat indah," jelasnya sembari memerintah.

Kamar itu berada di lantai 3 rumahnya. Lebih tepatnya, di bagian atap rumah itu. Bahkan, langit-langit kamarnya hanyalah kaca besar yang langsung menghadapkannya pada luasnya hamparan langit. "Tidur Vero!" perintah si Ibu.