Karin mengupas apel dan memotongnya menjadi beberapa bagian. Tangannya pun meraih tusuk gigi untuk dapat mengambilnya. Dipegangnya sepotong apel yang sudah tertusuk itu dan menatap Giandra. Matanya yang lembut itu tertuju kepada Giandra bagaikan ia memandang danau Garda yang indah nan sejuk.
Ada cahaya redup di sisi tempat tidur. Menutupi wajah kurusnya dan memberikan cahaya hangat pada wajahnya. Cahaya itu menjadikan wajahnya terlihat semakin lembut dan lembut, bahkan meskipun dia hanya menggunakan baju rumah sakit, baju itu tidak bisa menyembunyikan keanggunan dalam wajahnya.
Jantung Karin berdegup kencang, wajahnya sedikit memerah. Dia berkedip dan melihat pemandangan di depannya sekali lagi. Dilihatnya mata Giandra yang telah kehilangan kelembutan yang sebelumnya secara perlahan. Yang tersisa kini hanyala mata biasa.
Karin sedikit merasa tersesat dalam pikirannya sendiri. Kemudian, menyuapkan apel itu kepada Giandra.
"Bu, saya telah menemukan donor sumsum tulang belakang itu. Pak Alexander telah bersedia dan menjadwalkan operasinya pada sepuluh hari kemudian. Apakah anda sudah siap?"
Giandra tersenyum dan memasukkan sepotong apel itu dengan penuh semangat. Di sela-sela bibir dan giginya merasakan manis dan enaknya buah apel. Dia menatap Karin dan mulai mengeluarkan kata-kata.
"Saya telah mendengar Pak Alexander berbicara tadi, terima kasih gadis mungil. Kamu telah membantu saya untuk menemukan sumsum tulang yang tepat. Bahkan, setelah menunggu sekian lama, saya telah siap menemui ajalku. Mau operasi atau tidak, saya tidak lagi menantikannya. Di Penghujung hidup, saya puas dan senang karena sudah ditemani oleh seorang gadis SD seperti Carel dan Caron. Untuk sumbangan sumsum tulang belakang itu adalah hak orang lain mau atau tidak. Jika tidak mau, yasudah tidak apa-apa. Beberapa hal dalam hidup ini memang tidak bisa selalu dipaksakan."
Karin mengira dia tidak tahu apa-apa, tapi Giandra tahu segalanya dan disimpannya dalam hatinya.
Karin mendapat kabar bahwa Axelle, yang merupakan direktur utama perusahaan batubara, mempunyai kecocokan sumsum tulang belakang dengan Giandra. Dia mendapatkan informasi itu dari Marlin, petugas kearsipan RS Narendra. Bahkan sebulan ini, seorang teman baiknya telah mencoba membujuk Axelle untuk menyumbangkan sumsum tulang belakangnya. Tapi betapa kakunya sosok Axelle.
"Bagaimana dia bisa menyumbangkan sumsum tulang belakangnya? Itu hanya akan terjadi jika ada keajaiban." Giandra tidak mengatakannya secara blak-blakan untuk membuat Karin menyerah, meskipun dia juga takut menyakiti hati Karin.
Jika berlari akan membuatnya merasa lebih baik, dia bersedia berpura-pura tidak tahu apa-apa. Meskipun diam-diam hatinya merasa kasihan padanya.
"Mengapa dia tidak mau? Ini adalah hal yang luar biasa untuk menyelamatkan nyawa seseorang."
"Jangan khawatir, lelaki itu memiliki hati dan belas kasih yang sangat besar. Ketika saya menemuinya, dia bersikap seolah-olah akan bekerja sama."
"Tapi kenapa dia melakukannya lagi? Katanya pertemuan itu sangat penting dan dia harus pergi ke luar negeri."
"Dia pun telah berjanji kepada saya bahwa dia akan kembali dalam waktu sepuluh hari. Oleh karena itu, Ibu Giandra harus beristirahat yang cukup akhir-akhir ini. Makan dengan baik dan mengumpulkan energi yang cukup untuk bisa digunakannya ketika saatnya tiba dengan performa terbaik."
"Masuklah ke ruang operasi!" Karin sontak langsung tersenyum seperti bulan sabit, dan mengepalkan tangannya ke arah Giandra sebagai tanda bersorak.
Giandra tidak bisa menenangkannya, dia hanya bisa mengusap bagian atas rambut Karin dengan tangannya sembari bilang, "Bodoh!"
Karin tampak terkejut dan dia menundukkan kepalanya dengan bingung, wajah merahnya pun kembali pucat.
Giandra memandangi gadis cantik yang duduk di bawah cahaya itu. Jantungnya pun berdegup kencang.
"Apakah mungkin gadis mungil ini juga memiliki dia di hatinya?"
Sayang sekali, semua adalah kehendak Tuhan dalam menciptakan manusia. Tubuhnya pun telah rusak menjadi seperti sekarang ini. Dia tidak bisa lagi mengungkapkan apa yang pikirannya, itu hanya akan merugikannya.
Giandra menatap Karin dengan lembut, tapi matanya sedikit redup.
Karin tidak menyadari perubahan emosi Giandra. Dia menundukkan kepalanya sembari berpikir, "Giandra orang yang baik, dia harus menyelamatkannya!"
Karin sedikit kesal pada dirinya sendiri. Dia seharusnya tidak membuat pria itu kesal hari ini. Jika dia bisa melihat kesempatan dan segera melepaskan pertahanannya, mungkin pria itu sudah setuju dengannya hari ini.
"Tidak, dia harus menghentikannya besok!"
"Dia bilang dia bodoh padaku, tapi ketika dia memeluknya hari ini, dia jelas..." Karin berpikir, wajahnya pun menjadi merah, dan dia tidak bisa menahan cemberut di mulutnya.
"Karin bodoh!
Mungkin dia harus pergi menonton beberapa film tentang pulau...
***
Malam ini, Axelle memimpikan hal itu lagi tanpa ketegangan.
Dalam mimpinya, dia mengejar gadis berbaju putih itu dan berlari di lautan bunga. Dia akhirnya bisa menangkapnya. Keduanya pun berguling ke lautan bunga, terlempar dengan keras.
Kulit kremnya terpantul dalam lumpur bunga ungu tua, mata Carly berwarna merah darah, dan dia menghabiskan semua tenaganya untuk menaklukkannya.
"Tidak!"
Permohonannya yang begitu manis membuatnya tak berdaya. Ujung jarinya tenggelam dalam bahunya. Lehernya yang indah terangkat, embusan angin bertiup dan membelai rambut di wajahnya.
Dia menabrak sepasang mata yang penuh dengan air kristal, jernih dan kabur. Terlihat menyedihkan tapi sangat menawan.
Axelle duduk dengan nafas terengah-engah. Dia terbangun lagi dari mimpi itu sebelum mimpi itu selesai secara sempurna. Dia mengangkat tangannya untuk membelai keringat di wajah tampannya, dan mata gelap di antara jari-jarinya dipenuhi emosi dengan. Ekspresinya susah untuk dibedakan.
"Sial, apakah itu dipengaruhi oleh kemarin wanita itu?"
"Dia benar-benar melihat mata wanita itu dengan jelas dalam mimpinya! Tapi kenapa wanita dalam mimpi itu memiliki mata yang sama dengan wanita tadi malam?"
"Siapa wanita itu? Apa yang dia lakukan padanya? Mengapa dia begitu mirip? Dia harus menyelidikinya secara detail!
Axelle pun berbalik dan turun dari tempat tidurnya. Dia berjalan dengan telanjang dada ke jendela dari lantai ke balkon kamarnya. Sosoknya yang sempurna terlihat di cahaya pagi. Langkahnya yang pelan membuat ototnya yang kuat terlihat sempurna namun menyembunyikan energy yang kuat.
Sejak dia mulai mengalami mimpi ini, dia sudah terbiasa tidur dengan telanjang. Hanya dua pakaian lagi yang akan kotor, kenapa repot.
Saya tidak tahu kapan hujan turun di luar jendela. Air hujan itupun memercikkan airnya ke jendela seperti melihat hutan yang begitu membingungkan baginya.
Hujan turun sangat deras. Dia memberikan perintah khusus kepada para pengawalnya kemarin. "Wanita itu tidak boleh berjongkok lagi di pintu hari ini."
Setengah jam kemudian, Axelle pergi dari vila, bersandar di kursi kulit dengan kaki terlipat. Dia pun melihat dengan santai ke kaca spion.
Di cermin itu menunjukkan pintu besi di villa itu kosong. Perlahan terlihat ditutup dari belakang mobil. Perempuan itu pun tidak muncul karena hujan lebat yang turun hari ini.
Wajah Axelle terlihat dingin. Dia menarik pandangannya dan menutup matanya yang dingin.
Sepertinya dia tidak akan melakukan apapun untuk seseorang yang disebut temannya itu
"Jadi dia menyerah?"
"Oh, di dunia. Sungguh perasaan ini sejatinya sangat terbatas."
Ssstttttt, iiittt
"Mau mati kamu!"
Dia mengeluarkan kata itu sembari terdengar suara rem mendadak dari mobil. Sopir sekaligus pengawalnya itu dikutuk tepat di depannya. Axelle dengan cepat mengangkat tangannya untuk memperbaiki posisinya.
Dia mendongakkan wajahnya dengan dingin. Lalu ia melihat seorang wanita basah kuyup bangkit dari tanah di jalan pegunungan yang ada di depannya. Dengan ekspresi terkejut, matanya pun bersinar yang terlihat melalui kaca jendela. Dia pun menatap lurus ke arahnya.
Jelas terlihat dia tanpa ampun untuk datang meskipun telah diusir oleh pengawalnya kemarin. Dia terbaring dalam kecelakaan di hutan. Di tengah jalan pegunungan hari ini, dia melihat mobilnya pria itu datang. Lalu dia tiba-tiba bergegas mengejarnya untuk keluar dari hutan.
Pakaian olahraga gadis itu penuh dengan lumpur. Wajah putihnya pun juga ikut berlumuran dengan lumpur. Dia pun merasa malu dan berantakan. Tetapi anehnya, saat dia melihatnya. Wajahnya pun langsung tersenyum cerah dan senyum itu jelas dan transparan seperti menerangi seluruh langit. .
Axelle menatap Karin dengan serius sembari bersandar di kursi.
"Pak, ini gadis yang tadi malam" Dion dengan sangat jelas mengenali Karin dan meminta instruksi kepada Axelle.
Karin telah melewati bagian depan mobil, bergegas berjalan menuju ke sisi mobil Axelle. Ia pun mengetuk kaca jendela, "Pak Axelle! Saya telah mempelajari hal itu, tolong beri saya kesempatan lagi!"
Suara gadis itu terdengar melintasi hujan yang bergemerisik. Suara dan kaca jendela mobil yang tebal tidak menghalangi suara itu untuk mencapai telinga Axelle . Dia memperhatikan tubuhnya yang dibasahi oleh hujan, ia melihatnya melalui jendela mobil. Matanya yang berkabut menjadi semakin terlihat. Hatinya yang dingin sepertinya telah dihancurkan oleh sesuatu. Tangan ramping di lututnya pun ikut mengepal erat.