Chereads / The Perfect Key / Chapter 11 - Chapter 15

Chapter 11 - Chapter 15

Perjalanan kami berjalan lebih baik daripada saat ada di dalam hutan. Bukan hanya karena tidak banyak hewan yang menyerang, tetapi juga karena penduduk desa menyerahkan kereta kuda pada kami.

Setelah berjanji akan melepaskan kontrak budak pada orang-orang dan menyerahkan kepemimpinan desa pada Pinny. Warga desa sungguh berterima kasih pada kami. Damar masih membawa kontraknya dan meski mereka masih kesulitan karena berkurangnya pemilik kekuatan bertempur di desa, dengan tidak adanya ancama Hyena mereka akan baik-baik saja.

Aku juga sudah menjadikan daging Hyena yang diburu Damar beberapa hari sebelumnya bisa dimakan dan mereka mengasapnya agar bisa disimpan lebih lama. Lagipula, sejak awal yang membuat desa itu kesulitan hanyalah Hyena dan kelompok Gerr yang meminta upeti tinggi. Perdagangan mereka cukup untuk hidup.

Mereka juga meyakin kami—okay, hanya aku karena Damar tidak peduli—bahwa mereka akan baik-baik saja.

Itu adalah cerita tiga hari lalu, karena sekarang aku dan Damar telah hampir sampai di kota yang lebih besar. Kota bernama Grassland itu adalah kota teramai di sekitar Serpent Forest. Tidak heran Serpent Forest dikenal dengan marabahaya dan tidak memberikan keuntungan bagi para petualang.

Namun tetap saja, selama tiga hari ini, hanya Damar yang mengendarai kereta kudanya.

"Lo nggak capek? Kita bisa gantian nyetir."

"Bagaimana? Kamu saja tidak bisa mengendalikan kudanya."

Kuda-kuda itu hanya mau mendengar Damar. Entah karena aura Damar tegas atau memang menyeramkan hingga mereka takut. Akan tetapi, bila aku yang memegang kendali, jangankan berjalan! Mereka mendengarku saja tidak.

Dasar kuda-kuda sialan.

"Lagi pula, aku tidak benar-benar harus mengendalikan mereka. Kuda-kuda ini lebih pintar daripada kuda di dunia kita. Mereka tidak perlu penutup mata dan berjalan lurus seolah sudah tahu tujuannya. Aku hanya perlu memastikan tidak ada ban--,"

Damar berhenti bicara.

"Ban apa?"

"Bantuan."

"Kalimat terakhir sama kata yang lo sebut nggak pas, Mar! Nggak usah bohong lo!"

Damar berdecih kesal.

Lihat ni anak, ada bandit dan dia bahkan tidak membangunkanku.

"Tenang saja. Bandit-bandit itu bisa dibereskan dengan gampang. Mereka lemah."

"Maksud lo diberesin ..."

Damar mengangkat sebelah alisnya. Aku bahkan tidak punya keberanian untuk bertanya. Okay. Anggap saja kejadian itu tak pernah terjadi.

Akan tetapi, terlepas dari pembunuhan, pertarungan, makhluk buas, dan perbudakan, dunia ini benar-benar indah. Sejak pertama masuk ke sini, aku hanya dihadapkan dengan pohon dan harus mempertahankan diri dari makhluk buas, meski Damar yang bertarung. Bahkan setelah keluar dari hutan, aku dihadapkan dengan desa dengan berbagai masalah. Insting untuk terus waspada, bahkan dikurung dalam kamar saat malam. Hyena yang berkeliaran. Sekarang, aku baru benar-benar merasa bisa menghidup udara bebas.

Meski tetap ada Damar di sebelahku, tetapi karena dialah aku masih bisa hidup dan melihat bentang alam yang tak pernah ada habisnya.

Kami melalui lembah dan prairi yang tak berujung. Kami pun tak kekurangan air. Hewan-hewan yang muncul relatif lemah. Kami makan membakarnya untuk makan malam setelah aku menyentuhnya untuk berjaga-jaga.

Saat semakin dekat dengan kota Grassland, daerah rerumputan berganti dengan sawah dan ladang. Mulai banyak orang yang terlihat dan rasa familiar itu kembali menenangkanku.

"Rasanya kayak ke desa nenek."

Damar melirikku. "Rumah nenekmu di desa?"

"Ya. Ibu dari sana. Udah lama udah nggak ke sana soalnya nenek udah meninggal dan rumahnya udah dijual."

Damar hanya bergumam dan mulai melihat ke depan.

"Lo sendiri gimana ? Keluargalo?"

"Biasa aja. Ortu sibuk. Kakak meninggal. Kebanyakan aku sendiri."

"Sorry."

"Buat apa? Toh kamu dari awal udah tahu kak Dirga udah nggak ada. Kamu juga udah nggak bisa mikir satu persatu kematian di dunia ini."

Ingatan tentang mayat-mayat yang bergelempangan dan Damar yang memegangiku setelah tanpa ragu menghabisi mereka semua kembali membuatku gemetar. Hal yang lebih mengerikan adalah tatapan Damar saat melihat mayat-mayat itu. Bersama dengan jendela statusnya yang terbuka. [Merciless] dan [Ruthless]. Kenapa dua kata kejam ini menjadi tittle-nya?

Aku punya perasaan tidak enak tentang dua kata itu.

"Kamu pucat lagi. Kamu serius nggak papa? [Perfect Key] benar-benar menguras manamu, ya?"

"Enggak. Gue nggak papa."

Damar membuka mulutnya, tetapi dia memutuskan untuk tidak mengatakan apa pun.

Tiga jam kemudian barulah kami sampai di kota yang dimaksud. Beberapa penjaga mendatangi kami dan meminta kami memarkirkan kereta kuda di tempat yang disediakan setelah memberitahu jalannya. Kota yang indah dengan bangunan yang berbeda daripada bangunan yang ada di sekitar rumahku. Rasanya seperti memasuki wilayah eropa kuno. Aku melihat banyak jalan kecil dengan nuansa yang sama dengan yang kulihat di film barat.

Rumah-rumah itu bertingkat-tingkat. Terbuat dari batu-bata coklat terang yang berbeda dengan batu bata di Indonesia. Kayunya juga memiliki ukiran dan setiap tokonya menjual desain baju yang berbeda. Aku sudah melihat desain baju yang dipakai orang-orang di sekitar, tetapi baju yang dipajang di toko itu jelas berbeda. Seolah ada kata baju mahal yang terpampang di sana.

Kebanyakan orang di sini berjalan kaki. Tidak ada sepeda, hanya ada kereta kuda. Itu pun tak sebanyak seperti mobil-mobil di dunia asalku. Tidak ada kemacetan, tapi tetap saja terlihat ramai. Anak-anak berlarian dan orang-orang yang berjalan sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

"Kayak di kota."

"Ini memang di kota," respon Damar tak tertarik. "Karena hari sudah sore. Ayo cari penginapan. Kita akan di sini beberapa hari sebelum mulai berjalan ke daerah lain. Kita perlu perlengkapan bertarung yang lebih baik. Mana potion dan yang lainnya. Grassland memang besar tapi tempat ini takkan menyediakan benda-benda yang kita butuhkan."

Kemudian terdengar teriakan di antara gang yang gelap itu. Reflek aku segera mencari sumber suara dan seorang wanita memenutupi mulutnya. Orang-orang hanya melihat, tetapi tidak ada satupun yang berani melerai. Bahkan tidak satupun dari mereka berkumpul. Hanya melirik lantas kembali pada kegiatan mereka. Samar-samar aku bisa melihat seorang laki-laki dikeroyok. Sebelum aku sempat turun, Damar meraih kerah bagian belakangku.

"Dan aku takkan melakukan kegiatan amal di sini."

"Hah?"

Damar menunjuk beberapa orang penjaga dengan tongkat dan sedikit armor yang berlari bersama anak kecil berusia sekitar 12 tahun yang menangis sebagai penunjuk jalan. Kerumunan itu mulai terbuka ketika penjaga berteriak. Entah apa yang menjadi masalahnya saat itu, tetap penjaga-penjaga itu telah meredamnya.

Oh iya! Tidak seperti desa itu, tempat ini adalah kota yang matang. Pasti ada penjaga dan pemerintahan yang mengaturnya.

"Kalau kamu memang mau terus bersikap seperti pahlawan keadilan lakukan seperti yang dilakukan anak itu. Anak berumur 12 tahun saja lebih bijak daripada kamu."

"Sialan lo."

Akan tetapi, tidak bisa kusangkal. Ucapannya benar. Anak kecil itu terlihat sangat terbiasa dengan perkelahian itu. Bahkan orang-orang juga tida begitu tertarik. Di dunia sebelumnya. Dengan perkelahian kecil itu saja, orang-orang akan berkerumun. Meski tidak melerai, mereka akan tertarik dan terus melihat.

Di sini, mereka bahkan tidak peduli.

"Rasanya mereka udah terlalu terbiasa sama perkelahian."

"Trus kamu mau apa?" sentak Damar lebih dingin. "Kamu jangan lupa. Dunia ini berbeda dengan dunia sebelumnya."

Aku mengikuti arah pandang Damar. Seorang lelaki terjatuh dan tidak ada yang menolong. Tak lama kemudian lelaki itu kejang-kejang, tetapi Damar mencengkram sikuku erat.

"Jangan lakukan apa pun!"

"Lo mau biarin orang itu mati?"

Damar bergeming. Dia bahkan semakin mengeratkan cengkramannya sementara kereta kuda kami terus menjauh dari lelaki itu. Saat aku menoleh ke belakang, laki-laki itu berhenti kejang. Tanpa ada seorang pun yang menolongnya.

"Sinting lo!"

"Jangan ikut campur urusan mereka, Randy! Kita disini bukan untuk menyelesaikan semua permasalahan."

Aku menggertakkan gigi. "Bedebah."

"Aku akan melepaskan sikumu, tapi jika kamu melompat, aku akan merantaimu."

"Terserahlo."

"Good. Kamu harus ingat. Kita bukan pahlawan dari dunia lain yang dipanggil untuk menyelamatkan dunia. Ini bukan anime."

Aku menepis tangan Damar.

Pada akhirnya, aku tahu bahwa memang ada masalah di kota itu yang akan melibatkan kami cepat atau lambat.