"T-tuan Robert ...," gumam Metha menatap sosok pria yang tidak diinginkan berdiri angkuh di depannya.
Ia meneguk ludahnya kasar, seketika keringat dingin mulai membanjiri keningnya di pagi-pagi hari seperti ini.
Berbeda dengan Metha, Robert justru menarik kedua sudut bibirnya dan bersikap jumawa. Ia menaik-turunkan kedua alisnya seakan menggoda Metha. Tak lupa, kedua tangannya terlipat di depan dada.
"Selamat pagi, calon istri."
Suara serak-serak basah mengalun indah di kedua indra pendengaran Metha. Alih-alih merasa baper, bulu kuduk Metha malah meremang. Sungguh, suara Robert barusan malah terdengar seperti suara hantu yang tengah bergentayangan di malam hari.
Metha menggelengkan kepalanya, ia tidak boleh takut terhadap pria tua itu. Ia harus berani! Dan bersikap tenang seperti biasanya.
"Ekhm ...." Metha berdehem guna menetralkan tenggorokannya yang terasa kaku. "Selamat pagi juga Tuan Robert," balasnya berusaha sesantai mungkin.
"Hahaha." Robert malah tertawa kecil. Ia menatap penampilan Metha dari atas sampai ke ujung kaki hingga berkali-kali. "Ok ... seperti biasanya, tidak ada perubahan apa pun," gumamnya menilai. Namun, samar-samar masih dapat didengar oleh Metha.
"Mohon maaf, Tuan. Apakah Anda memiliki keperluan? Kalau tidak, biarkan saya untuk melanjutkan pekerjaan saya yang tertunda akibat Anda," tutur Metha tiba-tiba beralih pada ucapan formal. Memang terdengar sedikit aneh. Akan tetapi, Metha hanya ingin bermain-main saja.
"Ahk tidak ada apa-apa, saya hanya ingin menyapa calon istriku saja," tutur Robert seraya tersenyum genit ke arah Metha.
Metha malah dibuat bergidik ngeri dengan senyuman tersebut. "Ouhm, jikalau memang tidak ada keperluan apa-apa saya pamit terlebih dahulu," balasnya berucap.
Hendak Metha akan melangkah menjauhi Robert, namun lagi-lagi sebuah tangan besar menahan bahunya. Metha memejamkan kedua matanya guna meredam emosi. "Mohon maaf Tu-"
"Jangan lupa nanti siang."
Sontak, Metha melotot kaget saat mendapatkan bisikan tersebut tepat di sebelah tangannya. Ia berbalik namun pria tua itu telah menghilang dari pandangannya.
Metha langsung mengusap-usap telinganya. Ingin rasanya ia berteriak sekarang juga kala suara yang tidak diinginkan itu malah begitu mudahnya mengalun sempurna tepat pada lubang indra pendengarannya.
"Dasar pria tua tidak tahu diri, aku tidak akan menghadiri acara yang kau maksud itu. Cih, benar-benar tidak sudi," maki Metha bergumam. Lalu, dengan segera ia berbalik dan akan melanjutkan pekerjaannya.
Kedua kaki jenjangnya melangkah perlahan, menyusuri setiap rak yang terisi oleh bunga-bunga harum nan indah.
Metha memilih beberapa bunga yang akan ia jual hari ini, seperti biasa menggunakan sepeda kesayangannya.
Setelah dirasa cukup ia membawanya ke luar tepat di mana sepedanya berada. Sebelum berangkat, ia merapihkannya terlebih dahulu seraya bersenandung kecil.
"Tuan bos, aku berangkat terlebih dahulu," teriak Metha pada Luxe yang baru saja melintas di hadapannya.
Luxe berhenti melangkah, ia menatap Metha sekilas dengan mengangkat sebelah jempol dirinya sebagai balasan apa yang dikatakan Metha barusan.
Mendapat respon seperti itu Metha tersenyum kecil. Tanpa menunggu waktu lama lagi, ia langsung mengayuh sepedanya mengelilingi luasnya kota Jakarta.
****
"Peter, ke sini kau!"
Peter yang akan melangkah menuju dapur terpaksa menghentikan langkahnya kala sebuah suara bass masuk ke dalam indra pendengarannya.
Peter mendesis. "Ada apa?" tanyanya terkesan sinis tanpa membalikan badannya.
George melangkahkan kakinya menuju Peter berada, kedua tangannya di lipatkan di depan dada. "Harus berapa kali lagi daddy katakan kepadamu, sebentar lagi kau akan-"
"Ya, aku tahu," serobot Peter memotong ucapan daddynya sebelum dia melanjutkan ucapannya.
Peter membalikan badannya, membalas tatapan sang daddy dengan dingin. "Aku tahu dan aku juga sudah dewasa, tidak seharusnya daddy mengatur hidupku terus," tuturnya terkesan pasrah.
Bagaimana tidak, setiap kali Peter berada di rumah, setiap kali dirinya berpas-pasan dengan sang daddy ... yang selalu dibicarakan itu calon istri dan harta warisan, seakan tidak ada argument lain lagi selain itu.
"Kalau kau tahu kenapa kau masih tidak mendengar perintah dari daddy!?" sentak George namun raut wajahnya masih terlihat santai.
Peter dibuat geram. "Itu urusanku!" balasnya tidak kalah kasar. Sekarang, dirinya tidak peduli siapa yang tengah ia hadapi.
Jika orang itu telah membuat dirinya naik pitam maka terimalah akibatnya.
George memejamkan kedua matanya sejenak. Lalu, ia memijit pangkal hidungnya guna meredakan emosi yang menggumpal di dadanya.
"Baik, itu memang terserahmu. Tapi ... asal kau ingat waktu yang daddy berikan saat itu tinggal satu Minggu lagi, jika masih belum mematuhi perintah dari daddy maka ... terimalah akibatnya!"
Setelah mengatakan itu George langsung pergi meninggalkan Peter, ia sudah tidak ingin mendengar protesannya lagi. Dirinya juga sudah cape dengan tingkah keras kepala sang anak.
Apa yang harus George lakukan biar Peter langsung patuh?
Setelah kepergian George, lagi-lagi Peter mengepalkan kedua tangannya hingga buku-buku jarinya memutih.
"Aaarrrggghhh, dasar si pria tua," erangnya sekaligus memaki.
Kemudian, ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya dengan kasar. Menekan beberapa tombol pada layar ponsel. Setelah itu, ia menekan satu nomer yang akan ia tuju sekarang.
"Antarkan aku ke rumah sakit!" katanya setelah telepon tersambung. Tanpa menunggu balasan dari seberang sana, Peter langsung mematikan sambungannya berikut dengan ponselnya.
****
"Silahkan bunganya dipilih, Bu," seru Metha menitah para pelanggan yang tengah memilah-milih bunga-bunga yang ada dalam keranjang.
"Ya sudah, saya beli bunga jasmine saja. Ini berapa harganya?" tanya salah satu pembeli sembari menunjukan bunga jasmine dalam genggamannya.
"Itu empat puluh ribu, Bu," jawab Metha masih mempertahankan senyuman manisnya.
Tampaknya ibu itu mendelik sinis. "Dih mahal banget, bisa kurang gak nih, dua puluh ribu aja," tawarnya tidak sedikit pun menunjukan raut wajah ramah tamahnya.
Metha sedikit mengendurkan senyumannya. "Mohon maaf belum bisa, Bu," balasnya lagi.
Bagaimana bisa seorang pembeli menawar lima puluh persen dari harga normalnya. Tidak apa-apa jika nawarnya sekitar lima atau sepuluh persen saja, mungkin ia akan memberikan toleransi kepada pembeli tersebut.
Namun, tawaran yang diberikan itu malah membuat dirinya bingung.
"Saya pembeli, Bak. Pembeli itu adalah raja, jadi bebas dong kalo saya tawar dengan seharga berapa pun," sahut pembeli tersebut.
Metha dibuat terkekeh dengan penuturan itu. "Iya, Bu. Pembeli memang raja tapi raja itu tidak pakai nawar."
Sontak, pembeli itu dibuat terbungkam. Dapat terlihat, raut malu tergurat di wajah sinisnya. Ia terjebak dalam perkataannya sendiri.
"Ya sudah, saya tidak jadi membeli," sarkasnya seraya menyimpan kembali bunga jasmine yang baru saja ada dalam genggamannya ke keranjang dengan kasar. Lalu, ia melenggang pergi dengan begitu saja tanpa mengeluarkan satu patah kata pun lagi. Dirinya sudah kepalang malu.
Metha menatap kepergian ibu tadi dengan heran. Bisa-bisanya ada pembeli yang seperti itu. Ia menggelengkan kepalanya kecil.
"Bak, saya beli yang ini saja dua," tutur pembeli yang satunya lagi dengan menunjukan dua tangkai bunga rose berwarna pink.
Metha kembali menarik kedua sudut bibirnya. "Boleh, Bu," balasnya. Dengan cekatan ia mengambil paper bag khusus bunga yang ada di sebelah keranjang.
"Silahkan, Bu."
Setelah melayani pembeli tersebut Metha mengucapkan puji syukur. Hari ini dagangannya cukup laris manis.
Ia membereskan keranjangnya, waktu masih menunjukan pukul sebelas siang, itu artinya ia masih memiliki waktu satu jam lagi sebelum pulang ke toko seperti apa yang dititahkan Luxe tadi pagi.
Metha menaiki sepedanya, namun sebuah suara menghentikan pergerakannya.
"Tolong ...! Tolong ...!"
Deg!