"Ahk, aku sudah menyerah. Aku tidak bisa menggunakannya!" Metha menyimpan ponsel ke atas sofa cukup kasar.
Ia sudah bulak-balik, mengotak-atik ponsel namun tetap saja ia tidak bisa menggunakannya. Tidak mengetahui step by step untuk menghubungi seseorang.
Metha nyerah saja, kepalanya juga sudah terasa sangat pusing sampai dirinya merasa mual.
"Loh, Nak. Kau tidak berangkat kerja?" Helena tiba-tiba datang dari arah dapur, ia sudah siap dengan pakaian andalannya untuk bekerja sebagai pembantu.
Kerutan halus tercetak jelas di kening Helena, ia menghampiri sang anak dan duduk di sebelahnya.
Metha membenarkan posisi duduknya. Ia mengeluarkan napas beratnya sebelum berucap, tak apa ia akan jujur saja, tak ingin menutupi kenyataan yang tengah ia alami.
"Pekerjaanku diskip, aku tidak boleh bekerja selama satu minggu."
Pupil Helena tampak membesar, ia cukup terkejut mendengar penuturan itu. Namun hanya beberapa detik saja, selanjutnya ia tersenyum kecil, menggenggam tangan sang anak dengan lembut.
"Kalau boleh tahu, apa yang menjadi alasannya, Nak?" tanya Helena hati-hati. Tak ingin menyakiti perasaan anaknya ini.
Metha melengkungkan bibirnya ke bawah. "Karena aku terlambat dan tidak menghadiri acara yang sudah ditentukan oleh tuan Luxe."
"Acara apa?"
Lagi, Metha membuang napasnya yang kemudian berkata, "Tuan Robert."
Rasa kaget Helena menjadi dua kali lipat. Ternyata bos anaknya ini masih tetap kukuh menginginkan Metha untuk menerima lamaran dari Robert.
Sebenarnya Helena tak masalah, walau bagaimanapun juga semua keputusan ada di tangan anaknya. Ia tidak bisa berbuat jauh selain mendukung dan menyemangati.
Senyuman Helena kian tercetak jelas, mengisyaratkan bahwa anaknya jangan terlalu larut dalam kesedihan.
Tangan keriputnya terangkat, mengusap lembut pipi sang anak. "Tidak apa-apa, kau berdiam saja di rumah, istirahat jangan terlalu cape."
"Tapi itu benar-benar akan membuatku cepat bosan, Bu. Aku sudah terbiasa dengan pekerjaan," sanggah Metha memberikan argumentasinya.
Sedari dulu hari-hari Metha selalu dipenuhi dengan kata bekerja, jika tidak maka ia akan memasak apa pun kesukaan ibunya.
Namun sekarang, sangat tidak mungkin jika ia terus-menerus masak selama satu minggu penuh. Bukannya tanpa alasan, ia juga tidak memiliki uang banyak untuk membeli bahan-bahannya.
"Lalu, kau harus bagaimana lagi?" tanya Helena merasa ia tidak mempunyai solusi lagi selain istirahat.
"Huh ... aku tidak tahu, Bu."
Wajah Metha terangkat, menatap kedua manik mata ibunya yang terlihat sudah mulai sayu. Kasian sekali, pikirnya.
"Eum ... bagaimana jikalau aku ikut ibu saja bekerja menjadi pembantu?"
****
Metha menendang-nendang krikil yang menghalangi jalannya. Ia tampak cemberut.
Ibunya tidak mengizinkan ia untuk ikut bekerja, Metha juga tidak tahu apa yang menjadi alasannya.
Helena hanya mengatakan jika dia tidak ingin anaknya kecapean. Bukankah itu terdengar begitu berlebihan?
Dan sekarang, Metha tengah mencari hiburan ke luar rumah. Siapa tahu di tengah-tengah jalan ada seseorang yang memberikan ia uang secara percuma-cuma.
Ahk, pikiran Metha begitu miring!
Mata Metha bergulir dan terhenti pada satu titik, yaitu taman.
"Aku bermain ke sana saja deh." Kaki jenjangnya mulai melangkah memasuki kawasan taman.
Tidak sepi, pun tidak ramai juga. Mungkin memengingat jika hari ini masih masuk pada hari kerja. Membuat mereka pada sibuk berkutat dengan pekerjaannya bukan keluyuran tak tahu arah seperti dirinya.
Mengingat itu membuat Metha kembali mendadak jadi lesu, ia menurunkan bahunya.
"Jangan ambil, itu mainan punyaku!"
"Tidak, ini punyaku!"
Kedua indra pendengar Metha tidak sengaja menangkap suara keributan. Ia mengerutkan keningnya heran, mencari-cari di mana suara ribut anak kecil itu hadir.
Ternyata ada di dekat pohon besar serta di samping kolam ikan hias. Dengan segera Metha menghampiri dua anak kecil itu guna memisahkannya.
"Hei, anak-anak kalian kenapa? Kok pada ribut?" Sengaja, Metha mengubah raut wajahnya menjadi cerah, secerah matahari.
Perhatian mereka teralihkan. Yang satu wanita berambut panjang yang dikepang menatap Metha sendu dengan kedua pipi gemul serta hidungnya yang sudah berwarna merah, sepertinya dia telah menangis.
Sedangkan yang satunya lagi seorang pria berambut klimis, terlihat begitu tampan. Tangannya membawa boneka beruang berukuran sedang.
"Kakak liat, dia mengambil bonekaku." Wanita belia itu mulai mengadu pada Metha, jari telunjuknya terangkat menunjuk ke arah boneka.
"Tidak, ini punyaku!" Sargah pria belia. Ia menyembunyikan bonekanya di balik punggung. Menatap lawannya dengan bengis, seakan tak ingin mengalah.
"Itu punyaku!"
"Tidak, punyaku!"
Metha tersenyum tipis. Cukup sulit juga meleraikan dua bocah dengan usia sekitar tujuh tahun yang tengah beribut itu.
"Nama kalian siapa?" tanya Metha lembut.
"Aku Caca," jawab anak kecil yang berjenis kelamin wanita.
"Aku Yoga," jawab anak kecil yang satunya lagi.
"Nama yang bagus, tapi kok kenapa pada ribut?"
"Dia yang mulai duluan," sahut Caca kembali menunjuk Yoga.
Metha menghela napas sabar. "Coba kakak liat, bonekanya mana?" pinta Metha melebarkan senyumannya.
Yoga tampak berdiam sejenak. Namun akhirnya ia memberikan boneka itu pada Metha dengan wajah polosnya.
"Nah, kalian kan berdua sementara bonekanya ada satu. Kasihan loh jika bonekanya diributin entar nangis." Metha mulai merayu.
Kedua anak itu menatap Metha serius, seakan menunggu ucapan apa lagi yang akan Metha lontarkan.
"Kalo bonekanya nangis, dia gak bakalan mau lagi main sama kalian, bagaimana?"
Mereka saling pandang. Kemudian menggelengkan kepalanya, terlihat begitu lucu.
"Coba kamu pegang tangan yang sebelahnya." Metha menyuruh Caca untuk memegang tangan boneka sebelah kanan.
Anak itu langsung menurut.
"Dan kamu pegang yang sebelahnya lagi," lanjut Metha memerintah pada Yoga.
Sama dengan Caca, Yoga langsung menurut.
"Cakep, liat deh bonekanya juga tersenyum." Metha bercanda ria.
Seketika Caca dan Yoga ikut tersenyum.
"Manis sekali, biar bonekanya tetap tersenyum maka kalian mainnya harus bersama-sama. Jangang ribut lagi!"
Caca dan Yoga menganggukan kepalanya. "Siap, Kakak," ucap mereka barengan.
Metha tersenyum tipis, mengusap puncak kepala anak kecil itu dengan lembut. "Yaudah, lanjutin mainnya, ya. Awas jangan ribut lagi!"
Tampaknya kedua anak itu langsung berlari ria menuju kumpulan mainan yang lain.
Darah Metha terasa berdesir hangat kala melihat itu. Entah kenapa, Metha pun tahu alasannya. Ia merasa hangat saja.
Metha menatap sekelilingnya. Ia merasa bosan, tak memiliki teman dan yang paling penting ia tak memiliki pekerjaan.
Selalu saja tentang pekerjaan.
Metha berbalik arah, ia keluar dari area taman. Tak ada sesuatu yang dapat menarik lagi perhatiannya.
Metha benar-benar merasa suntuk. Ia kembali berjalan di trotoar.
"Ahk, lebih baik aku tidur saja. Biarkan aku akaran di sana," monolognya terkesan terpaksa dan tak menerima.
Namun untuk sekarang tak ada solusi lain lagi selain tidur.
Metha menghentikan langkahnya, ia akan menyebrang jalan. Tanpa celingukan terlebih dahulu, ia langsung melangkah maju.
Ssssrrrttt ....
Tin tin!
Ckiiit!
"Akh!"