Philip meneguk ludahnya kasar. Baru saja ia memotong perkataan Peter tanpa sengaja, ini benar-benar terasa spontan.
Peter melirik Philip yang berada di samping kanan sedikit ke belakang dengan tatapan nyalang.
Philip yang menyadari tatapan itu langsung membungkukkan badannya. "Mohon maaf tuan muda. Saya benar-benar tidak sengaja memotong ucapan Anda," jelasnya berusaha menutupi rasa takut terhadap tuannya.
Peter sama sekali tidak menjawab, tatapannya kini kembali tertuju pada si wanita sok pahlawan yang masih menantang angkuh di depannya.
Kedua mata hazel itu menelisik beberapa kali pada ujung kaki sampai ujung rambut Metha yang sama sekali tidak ada bagusnya. Semuanya terlihat menjijikkan dalam pandangannya.
"Ini yang dinamakan pahlawan kesiangan?" tanya Peter pada diri sendiri. Namun, suaranya terdengar oleh yang lain. Bahkan, dari nadanya pun terdengar sangat meremehkan.
Dagu yang semula di angkat tinggi-tinggi itu kini terjatuh tanpa di minta dan kedua mata langsung memerah bagaikan banteng yang sedang marah. Metha benar-benar geram saat mendengar pernyataan yang barusan Peter lontarkan.
Metha melangkah mendekati Peter, kedua kakinya ia jinjitkan supaya wajahnya sejajar dengan wajah angkuh Peter, jari telunjuknya ia tuduhkan dengan tegas. "Apa kau menghinaku? Hah?" teriaknya tidak terima.
Peter hanya diam menatap Metha datar.
"Nona, saya mohon! Berhentilah bersikap seperti itu!" ucap Philip menghentikan aksi Metha, karena entah apa yang akan gadis itu lakukan selanjutnya. Semoga saja tidak memukul Peter. Jika memang itu terjadi, akan tamatlah riwayat Metha sebagai manusia.
Metha menarik jari telunjuknya dengan kasar. Ia mundur dan kembali berdiri pada tempat yang semula.
"Hari kesialan, kenapa aku harus dipertemukan dengan pria angkuh dan sok berkuasa seperti dia! Memangnya dia siapa?" gerutu Metha dalam hati.
"Pahlawan itu tubuhnya tinggi, kuat, bersih, rapi dan memiliki pesona yang dapat memikat hati. Lalu, bagaimana dengan kau? Sepertinya kau sangat pantas menjadi pahlawan pemungut sampah di jalanan, hahaha." Peter terus saja mengeluarkan kata-kata pedas dari bibir tipisnya. Sangat tidak peduli dengan emosi Metha yang sudah berada di ujung tanduk.
Metha mengepalkan kedua tangannya. Ia ingin marah dan membalas ucapan Peter dengan caci maki. Namun, ia sadar apa yang diucapkan Peter ada benarnya.
Ia mengaku, ia bukanlah sosok pahlawan. Hanya saja ia berusaha membantu anak kecil yang sedang bersedih itu.
Ia juga mengakui jika penampilannya sangat layak disebut seperti pemungut sampah di jalanan yang lusuh, kotor dengan kaos kebesaran. Namun, ia sudah berusaha meyakinkan diri bahwa ia merupakan wanita yang penuh semangat dengan segala kesederhanaan yang ia punya.
"Aku salut terhadapmu!"
Prok prok prok
Peter menepuk tangannya sebanyak tiga kali setelah mengeluarkan kalimat yang masih saja terdengar merendahkan. Tanpa berkata apa pun lagi, ia berbalik dan melenggang pergi menuju mobil mewahnya berada dengan gaya angkuh seperti tidak memiliki kesalahan sama sekali. Kepergiannya diikuti oleh dua pengawal selain Philip.
Metha menatap kepergian Peter dengan napas memburu. "Awas saja! Jika kita bertemu lagi akan aku pastikan tulangmu patah saat itu juga!" ucapnya dalam hati, meyakinkan dirinya bahwa ia bukan wanita lemah.
"Eum, Nona," panggil Philip terkesan gugup. "Mohon maaf dengan sikap tuan saya. Dia memang seperti itu, tapi percayalah jika kau sudah mengenalnya lebih jauh maka kau akan tahu bahwa tuan saya merupakan pria yang baik hati," jelasnya berharap dapat memendamkan amarah yang terkobar pada diri Metha.
Metha sempat tercengang dengan apa yang dijelaskan Philip barusan. Bagaimana sosok Peter akan menjadi baik hati? Angkuh tetaplah angkuh. Ia tidak akan percaya itu.
"Sekali lagi maafkan kami. Untuk permasalahan bunga yang tadi kau bisa menghubungiku kapan saja untuk meminta pertanggungjawaban." Philip mengeluarkan sebuah kartu nama dari dompetnya yang berada di dalam jas.
Ia menyodorkan kartu nama tersebut pada Metha, sangat berharap Metha dapat menerima tawarannya.
Metha menatap Philip sekilas yang kemudian beralih pada kartu nama tersebut. Ia menerimanya dengan separuh hati.
Philip tersenyum kecil. "Terima kasih, Nona. Saya pamit dahulu menyusul mereka yang pasti sudah menunggu di dalam mobil." Ia berpamitan pada Metha.
Metha mengangguk kecil sebagai jawaban. Membiarkan Philip melangkah jauh meninggalkan dirinya.
Ia menyimpan kartu nama itu pada saku celananya yang kebesaran. Sangat beruntung, Peter yang angkuh mendapatkan pengawal yang baik hati seperti Philip. Jika tidak, mungkin Peter sudah dicap buruk oleh orang-orang yang menjadi korban keangkuhan Peter.
Ia menghela napas. Cukup lelah melewati kesialan ini. Ia berjalan menuju sepedanya berada seraya kembali membangkitkan semangat yang harus tumbuh di dadanya.
Langit sudah menunjukkan sore hari saatnya Metha pulang ke rumah menemui ibu tercintanya, Helena. Ia hanya hidup berdua dengan ibunya di sebuah rumah yang sederhana. Ibunya merupakan seorang pembantu di rumah elit yang jaraknya cukup jauh dari sini.
Helena sudah melarang keras agar anaknya tidak berjualan bunga. Bukannya tanpa alasan, ia hanya khawatir Metha dipandang sebelah mata dari orang-orang sekitar, meski memang itu kenyataannya. Lagi pula gaji dari seorang pembantu masih cukup hanya sekadar untuk makan sehari-hari meski menu makanannya tidak mewah nan banyak.
Akan tetapi, Metha tetaplah Metha, apa yang dia inginkan harus dilaksanakan dan diperjuangkan. Helena hanya bisa berpasrah menyetujuinya.
"Selamat sore, Ibu!" ucap Metha kala ia memasuki halaman rumahnya. Terlihat ibunya sedang menyapu halaman rumah.
Helena menghentikan kegiatannya, menatap sang putri dengan senyuman hangat. Ia menyimpan sapu lalu merentangkan kedua tangannya untuk menyambut putri kesayangannya.
Metha menyimpan sepeda itu di dekat tanaman bunga. Ia berjalan cepet dan menghambur ke pelukan hangat sang ibu.
"Kenapa ibu sudah pulang?" tanya Metha setelah melepaskan pelukannya.
Helena masih tetap tersenyum hangat, mengusap buliran keringat yang membasahi kening serta leher keriputnya. "Ibu izin pulang cepat," jawabnya lembut.
Metha mengerutkan keningnya heran. "Apa karena penyakit ibu kambuh lagi?" tanyanya yang mulai menunjukkan rasa khawatir. Tidak biasa ibunya izin pulang cepat seperti ini, kecuali jika memang penyakitnya kambuh.
Perempuan paruh baya itu menggelengkan kepalanya. "Tidak, Nak. Ibu baik-baik saja," jawabnya berusaha menenangkan Metha dari rasa khawatirnya.
"Lalu, kenapa ibu izin pulang?" tanya Metha tidak puas dengan jawaban sang ibu. Ia tetap khawatir, menatap ibunya dengan tatapan sendu.
Mendapatkan pandangan seperti itu membuat ibunya terkekeh geli. Ia mengusap pundak Metha dengan penuh kasih sayang. "Ibu hanya ingin cepat-cepat bertemu denganmu, ibu sangat rindu padamu."
Memang itu kenyataannya, ibu sering kali pulang larut malam dan Metha sudah tertidur pulas di kamarnya membuat ia kesulitan mengambil waktu untuk bersama dengan sang putri tercinta dan kali ini ia sengaja meluangkan waktu untuk Metha.
"Apakah ibu yakin?" Lagi-lagi Metha belum puas dengan jawaban sang ibu.
"Iya, Nak." Tangan keriputnya mengenggam tangan Metha dengan hangat. "Ayo! Ibu sudah memasakan makanan kesukaanmu."
Kedua mata Metha berbinar, ia terlihat begitu senang. "Wah, terima kasih banyak, Bu!"
Helena tersenyum kecil menanggapinya. Namun, ia menghentikan langkahan kakinya secara mendadak sehingga langkah Metha ikut berhenti.
"Kenapa, Bu?" tanya Metha heran.
Helena menghela napas, ia membalikan badannya menatap Metha dengan pandangan yang sulit diartikan. "Tadi siang Robert kembali datang ke sini."
"Apa?"