Dengan mata yang sembab Metha berlari masuk ke dalam rumah. Hatinya begitu berdenyut nyeri kala Peter membanting ponsel dirinya tanpa perasaan. Ia tidak tahu apa maksudnya! Kenapa Peter dengan tiba-tiba berbuat jahat terhadap dirinya.
Apa salah Metha?
Jikalau Peter tidak suka dengan ponsel yang Metha miliki, tidak sepatutnya dia membanting ponsel Metha.
"Dasar orang kaya yang sombong." Dalam hati Metha terus saja memaki Peter. Ingin rasanya ia memukul dan mencaci maki Peter. Namun, ia tidak memiliki keberanian yang tinggi untuk berbuat seperti itu.
Metha berdiri di depan pintu. Ia mengusap jejak-jejak air mata yang berada di bawah kelopak matanya. Ia tidak ingin sang ibu khawatir melihat dirinya yang seperti ini.
Untuk ponsel, biarlah Metha mencari alasan yang logis agar ibu tidak menghubungi dirinya lagi. Ya, karena semua itu sangat percuma. Dirinya tidak akan menerima panggilan itu.
Sebelum membuka pintu. Metha menarik napas panjang yang kemudian mengehembuskannya dengan perlahan. Ia menarik kedua sudut bibirnya untuk membentuk senyuman tipis.
Metha membuka pintu yang belum terkunci itu dengan perlahan.
"Ibu, ak-"
Ucapan Metha tertahan di tenggorokan kala ia melihat sang ibu yang sedang berteleponan entah dengan siapa.
Metha mengernyit heran. Ia tidak ingin mengganggu ibunya yang membelakanginya itu. Ia menutup pintu dengan perlahan agar tidak menimbulkan suara decitan yang bisa saja membuat ibunya sadar akan kepulangan dirinya.
Metha masih mempertahankan senyuman manisnya. Ia berdiri di dekat lemari kecil seraya menunggu sang ibu membereskan acara teleponannya.
"Nona Margaretha sama sekali belum pulang."
Metha mengerutkan keningnya heran saat dirinya samar-samar mendengar suara sang ibu yang terdengar begitu cemas. Namun, yang membuat Metha terpaku adalah seseorang yang disebut oleh ibunya.
Nona Margaretha?
Siapa dia?
Apa yang dimaksud oleh ibunya?
Banyak pertanyaan yang hadir di kepala Metha. Ahk, ia akan menanyakan perihal ini kepada ibunya nanti. Ia benar-benar dibuat penasaran. Siapa Nona Margaretha itu.
"Baik, Tuan." Dengan tangan yang bergetar Helena menarik ponselnya yang sedari tadi tertempel di telinga kanannya. Mematikan ponsel itu kala sambungan teleponnya sudah terputus.
Helena membuang napas gusar. Entah kenapa, dirinya menjadi merasa takut seperti ini.
"Ibu?"
Deg!
Helena terperanjat kaget kala mendengar suara seseorang yang sedari tadi ia tunggu-tunggu. Helena langsung membalikan badannya.
Deg!
Jantung Helena berdetak dengan cepat kala mendapati Metha yang berada di depannya dengan senyuman manis yang terlukis di wajah cantiknya.
"Ibu habis teleponan sama siapa?" tanya Metha penasaran. Kaki kanannya ia langkahkan untuk menghampiri sang ibu.
Helena kelimpungan. Ia meneguk ludahnya kasar. Apakah Metha mendengar apa yang tadi ia katakan saat berteleponan?
"Ibu?" panggil Metha lagi kala ia sudah berada di hadapan ibunya.
Lagi-lagi Metha mengernyit heran. Kenapa ibunya terlihat tegang? Kenapa dia tidak langsung memeluk dirinya seperti biasanya?
"Ahk, i-iya, Nak," jawab Helena terkesan gugup.
"Ibu kenapa?" tanya Metha khawatir. Ia takut ada sesuatu yang terjadi hingga membuat ibunya menjadi seperti ini.
Helena menggelengkan kepalanya. Ia menepis-nepis rasa kagetnya dan berharap jika Metha tidak mendengarkan apa yang tadi ia bicarakan.
Setelah dirasa cukup sadar. Helena langsung menarik kedua sudut bibirnya membentuk lengkungan manis nan terkesan hangat. Ia langsung memeluk sang anak dengan erat. "Kamu ke mana aja, Nak? Ibu khawatir," tanyanya terdengar begitu lirih. Sangat berbeda dengan yang tadi.
Metha tersenyum senang. Ia membalas pelukan sang ibu tidak kalah erat. "Aku tidak ke mana-mana, Bu. Hanya saja tadi aku bertemu terlebih dahulu dengan teman kerjaku," alibinya.
Dalam hati Metha mengucapkan beribu-ribu maaf kepada ibu karena dirinya telah berbohong. Namun, ia juga tidak ingin ibu terlalu khawatir dengan dirinya jika ia mengatakan yang sejujurnya.
Helena melepaskan pelukannya. "Bentar, ibu merasa ada sesuatu yang berbeda," ucapnya heran.
Kedua mata Helena menelisik penampilan Metha dari atas sampai bawah hingga beberapa kali. Kemudian, ia tersenyum lebar menatap sang anak. "Kamu sangat cantik, Nak," serunya senang. Menangkup kedua pipi Metha yang kemudian mencubitnya pelan.
Metha terkekeh geli. "Ahk ibu bisa aja," ucapnya mengelak pujian yang diberikan ibu tercintanya.
"Eits, tapi ...." Helena menggantung ucapannya, lalu menatap kedua iris mata berwarna cokelat terang itu dengan intens. "Katakan sama ibu, kamu habis dari mana?" tanyanya dengan raut wajah serius.
Metha melotot kecil dengan pertanyaan yang dilontarkan ibunya. "Eum, anu itu bu, a-aku ...." Metha menggaruk pipinya yang tidak gatal. Ia bingung harus berkata apa lagi, sangat sia-sia dengan alibinya tadi jika sang ibu masih bertanya. Apa perlu ia berbohong lagi?
"Ayo, katakan yang sejujurnya," gertak Helena menunggu jawaban dari sang anak.
Metha gelagapan. "Itu Bu, tadi eum ... te-temanku ada acara. Ter-terus pa-pakaianku basah karena ti-tidak sengaja eum ... tersiram o-oleh jus. Jadi ... dia memberikanku pinjaman ba-baju ini," jelasnya terbata-bata. Ia sangat berharap ibunya percaya dengan apa yang ia katakan barusan. Ya, meski ia merasa tidak sepenuhnya yakin.
Helena terdiam sejenak. Menatap Metha lebih intens dibanding tadi. "Apakah itu benar?" tanyanya untuk memastikan.
Dengan cepat Metha menganggukan kepalanya. "Iya, Bu," jawabnya berusaha meyakinkan ibu dengan kebohongan dirinya. Dalam hati ia merasa was-was, takut-takut sang ibu tidak percaya dengan apa yang ia katakan barusan. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya jika memang ibu tidak percaya terhadap dirinya.
"Baiklah, ibu percaya," ujar Helena kembali menarik kedua sudut bibirnya.
Dalam diam Metha menghela napas panjang. Hampir saja dirinya terjebak oleh ibunya sendiri. Ahk, sangat beruntung Helena percaya terhadap dirinya. Detik berikutnya, ia ikut tersenyum dan kembali mendekap ibunya. "Aku sayang ibu," ucapnya terkesan begitu tulus.
Helena terkekeh di balik dekapannya. Ia mengusap lembut punggung Metha. "Ibu juga sayang sama kamu," balasnya tidak kalah tulus.
Beberapa menit keheningan menyelimuti mereka. Hingga akhirnya Metha melepaskan pelukannya. Mengambil anak-anak rambut yang berterbangan bebas dan merayap di wajahnya.
"Ibu tadi teleponan sama siapa?" tanya Metha kembali pada pertanyaan yang tadi.
Deg!
Kali ini Helena kembali kalang kabut. "Hanya rekan kerja ibu saja," jawabnya cepat seraya tersenyum kecil agar Metha percaya terhadap dirinya.
Sangat tidak mungkin jika Helena mengatakan yang sejujurnya. Bisa-bisa sesuatu yang begitu penting hancur lebur terungkap seketika. Sekarang bukan waktunya. Biarlah takdir sendiri yang akan menjalankan semuanya.
Metha mengangguk kecil pertanda ia percaya dengan jawaban yang diberikan ibunya.
"Oh, rekan kerja ibu ya. Aku kira siapa," ujar Metha lagi. Tidak biasanya rekan kerja ibu menelepon di jam-jam rawan seperti ini. Tapi, bisa jadi juga jika memang itu benar-benar penting.
"Iya, itu hanya rekan kerja ibu saja," balas Helena terus menerus sampai Metha percaya.
"Lalu, siapa Nona Margaretha itu?"
Deg!