Hari telah larut malam. Seluruh
penduduk kampung telah tidur dengan
lelap. Sinar purnama memancarkan
sinarnya yang lembut keperakan.
Serangga malam mengisi keheningan
malam dengan tembang-tembangnya yang membangkitkan rasa kekaguman manusia terhadap suasana malam. Suasana syahdu itu dibuyarkan oleh jerit tangis anak kecil dari sebuah pondok yang letaknya terpencil dari pondok-pondok lainnya.
Suara tangisan itu terdengar begitu
menyayat hati yang mendengarnya.
Pondok itu dihuni sepasang suami
istri yang dikaruniai seorang anak
perempuan yang berumur tiga tahun.
Anak itu diberi nama Diana. Pak
Budiman bekerja sebagai buruh tani yang hanya mengandalkan upah dari pemilik tanah yang digarapnya, istrinya
bekerja mengumpulkan kayu bakar yang kemudian dijual di pasar. Ia juga
kadang-kadang bekerja sebagai buruh
potong padi pada saat musim panen
tiba.
"Pak, cobalah pinjam beras barang sedikit saja kepada tetangga. Siapa tahu
mereka menaruh belas kasihan
kepada kita," bujuk Bu Narsih penuh harap.
Suaminya hanya duduk termenung ke
arah jendela memandang keluar dengan tatapan matanya yang kosong.
"Kasihan, sih, kasihan. Tetapi mereka juga sama seperti kita, kelaparan," keluh Pak Budiman dengan nada putus asa.
"Coba-coba sajalah, Pak, Si
Diana ini sangat lapar," seru istrinya sambil menenangkan si Diana yang merengek-rengek minta makan.
"Pinjam sama siapa, Bu?" tanya pak Budiman sambil bangkit mengambil
rokok kawungnya diatas meja.
"Lagipula semua orang sedang
enak-enaknya tidur. Salah-salah aku
bisa disangka maling oleh penduduk.
Sudahlah, kamu suruh tidur saja anak itu, Bujuklah sebisamu Bu," ujar Pak Budiman sambil menghisap rokok
kawungnya dalam-dalam.
"Sampai kapan kita hidup terus
begini ya, Pak?" kita mungkin orang tua bisa saja tahan lapar, tapi anak kecil," keluh istrinya.
Diana seolah tahu sedang dibicarakan oleh kedua orang tuanya, maka ia sengaja meledakkan tangis
sekuat-kuatnya sampai otot-otot
lehernya menegang.
"Makaaaan... Hengg....
Kinong lapaaal...."
"Sampai kapan kau bilang? Huh,
tentu saja sampai tuan tanah mampus. Atau sampai penjajah itu angkat kaki dari negeri kita," umpat Pak Budiman sambil menggebrak meja bambu di hadapannya. Meja yang sudah reyot itu semakin bertambah reyot jadinya.
"Berapa lama lagi, Sebulan,
Setahun?" tanya Bu Narsih sengit.
"Sampai kita masuk liang kuburpun belum tentu hal itu terjadi," Pak Budiman
mendengus. Suasana kembali
hening. Suami istri itu sama-sama
terdiam. Sementara itu di antara atap-atap rumah terlihatlah sesosok tubuh melompat-lompat dengan lincahnya dari atap rumah yang satu ke atap rumah yang lain seperti seekor monyet.
Ia mengenakan pakaian serba hitam.
Rambutnya terurai sebatas pinggang.
Wajahnya ditutupi cadar hitam, hanya sepasang matanya saja yang tampak. Di
pinggangnya terselip sebuah golok,
yang terjepit di antara sabuk dan kain sarung yang melapisi celana pangsinya.
Begitu ringan tubuhnya melompat
kesana kemari tanpa menimbulkan bunyi sedikitpun. Hanya sesekali ditandai dengan terhentinya suara unggas bernyanyi karena terganggu dengan kelebatan sosok tubuhnya.
Dengan satu hentakan ia meloncat
turun. Tubuhnya melayang seperti
sehelai daun kering yang jatuh di
tanah, namun kedua kakinya berpijak
dengan mantap. Setelah mengamati keadaan sekelilingnya untuk meyakinkan dirinya bahwa sudah tidak ada orang lain yang membuntutinya, ia berjalan mengendap-endap. Di punggungnya terlihat sebuah bungkusan seperti sebuah karung.
Tiba-tiba ia berhenti melangkah karena mendengar suara tangisan anak kecil yang sudah parau dan tersendat-sendat. Lalu orang itu melangkah menuju sebuah pondok dimana suara tangisan itu berasal.
Seketika pintu rumah gubuk itu didorong dari luar lebar-lebar, sesosok tubuh dengan pakaian serba hitam sudah berdiri tegak di ambang pintu. Sepasang suami istri itu terkejut dan sambil gemetar melangkah mundur merapat ke dinding bilik.
"A... ampun! Kami orang miskin yang tak punya apa-apa lagi untuk dimakan, apalagi barang berharga!" kata Pak Budiman dengan tersendat-sendat. Keringat dingin mengaliri tubuhnya.
"Jangan takut, aku bukan
perampok, namaku Sri Wulandari," seraya menghampiri sepasang suami istri tersebut dengan tenang. Sorot matanya terlihat ramah dan lembut.
"Jangan takut, Aku adalah Pendekar Loman. Ambillah beras dalam karung ini, Pak." Dalam remang-remang cahaya lampu tempel yang menerangi pondok itu, terlihatlah sepasang mata yang bening dan indah dengan bulu-bulu lentik di antara rambut yang tergerai di dahi dan cadar yang menutupi batang
hidungnya sampai dagu.
Ternyata ia seorang wanita. Pendekar Loman tersenyum sambil menyodorkan karung yang digendongnya kepada suami istri tersebut.
"Karung ini berisi beras, ambillah! Anak Bapak sudah sangat menderita karena menahan lapar!" Pendekar Loman berkata lembut.
Tetapi mereka masih ragu-ragu
untuk menerima pemberian tak terduga dari seseorang yang sama sekali belum
mereka kenal dengan baik.
"Jangan ragu-ragu. Ambillah, Aku paling tidak suka menyaksikan rakyat yang
terlalu menderita" suaranya berubah tinggi.
Akhirnya Pak Budiman menerima
karung beras tersebut sambil
menjatuhkan diri berlutut diikuti oleh Bu Narsih di hadapan Pendekar Loman.
"Terimakasih Pendekar! beribu
terima kasih atas pemberian ini.
Bagaimana kami yang miskin ini harus membalas budi baik anda....?" katanya
dengan mata berkaca-kaca.
Pendekar Loman mengangkat bahu Pak
Budiman agar segera berdiri.
"Sudahlah, Pak! Bapak dan Ibu tidak perlu berkata seperti itu. Bersyukurlah kepada Allah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang karena aku hanya sekedar perantara untuk menyampaikan pertolonganNya! Berdoalah selalu agar tidak terlalu lama menghadapi hidup yang miskin dan sengsara seperti ini!"
Kedua orang tua itu perlahanlahan berdiri memandang Pendekar Loman dengan mata berbinar-binar karena terharu mendengar ucapan yang begitu mulia dari seseorang yang begitu peduli terhadap nasib rakyat kecil seperti mereka.
Sementara itu Diana yang duduk
di balai bambu dalam kamar sudah
berhenti menangis. Ia seperti
menyadari bahwa telah datang seorang dewa penolong khusus bagi dirinya.
"Baiklah, Pak! Aku sekarang mohon diri!" pamit Pendekar Loman. Tanpa bicara lagi langsung berkelebat menghilang entah kemana ditelan oleh kegelapan malam. Kedua suami istri itu hanya
saling pandang seakan-akan tidak
percaya dengan apa yang baru saja
terjadi.
"Alhamdulillah... Mak! Kita bisa makan sekarang. Inilah salah satu Rahmat yang diberikan oleh Tuhan untuk kita!" desah Pak Budiman sambil mengangkat tangan dan wajah menengadah ke atas merasa bersyukur.
"Mari pak, kita segera menanak
nasi! Kitapun sudah lapar sekali
bukan?" kata Bu Narsih sambil
menggendong si Diana keluar kamar
menuju dapur.
"Ya, Tuhan! Siapakah dewa
penolong tadi ya, Pak" Mungkin ia
seorang Malaikat yang sengaja
diturunkan oleh Tuhan ke bumi untuk
menolong orang-orang miskin seperti
kita ya, Pak!" ujar Bu Narsih sambil cepat-cepat mencuci beras dengan air yang diambilnya dari dalam gentong di sudut dapur itu.
Pak Budiman menganggukkan kepalanya seraya tak henti-hentinya mengucapkan kata-kata syukur kepada Tuhan. Diana duduk di atas dingklik (kursi kecil) di sisi ibunya sambil sebentar-sebentar menyeka ingus dan menghapus air matanya dengan punggung telapak tangannya. Sepasang matanya kini terlihat bundar berbinar-binar penuh harapan.