Di suatu senja dari kejauhan terlihat sebuah rumah yang paling besar dan bagus di wilayah Kandang Sapi. Atap rumah itu terbuat dari
genteng berwarna coklat, dindingnya terbuat dari batu bata. Halamannya ditumbuhi bunga mawar dan tanaman hias lainnya yang tersusun rapi berpagar tembok. Rumah itu adalah rumah Kepala Desa, Pak Raguti namanya. Sebenarnya ia masih keturunan bangsawan Sunda dengan
nama lengkap Raguti Kerto Rejo.
Setelah menjadi Kepala Desa Kandang Sapi ia terkenal dengan sebutan Pak Raguti. Beliau tinggal bersama anak gadisnya, Sri Wulandari. Sedangkan istrinya telah lama meninggal ketika Sri Wulandari berumur sepuluh tahun. Dari dalam rumah itu terdengar alunan suara Sri Wulandari yang sangat merdu melantunkan ayat-ayat suci Al Qur-an.
Suaranya terdengar begitu syahdu merasuk kalbu bagi siapa saja yang mendengarnya. Beberapa saat kemudian suara merdu tersebut berhenti. Sri Wulandari selesai mengaji. Setelah menutup kitab suci Al Qur'an di atas lekarnya, ia
lalu menggeser duduknya menghadap ayahnya yang sedang istirahat duduk di atas sebuah kursi goyang sambil menghisap cerutu.
"Ayah, kudengar tadi malam gudang beras milik tuan tanah kemalingan lagi, Ayah?" tanya Sri Wulandari memecah keheningan senja selepas waktu maghrib.
"Ya" jawab Pak Raguti singkat sambil menghembuskan asap cerutunya kuat-kuat.
"Tetapi jangan kuatir. Mulai malam ini tuan tanah tanah akan menyewa jago-jago bayaran untuk menangkap si pencuri yang berani kurang ajar tersebut!" dengus Pak Raguti si Kepala Desa.
"Kalau aku menjadi kepala desa, aku akan menyewa jago-jago bayaran untuk melindungi pencuri itu!" tiba-tiba Sri Wulandari menyeletuk.
Bagaikan mendengar petir di siang hari, seketika Pak Raguti meloncat dari tempat duduknya.
"Hah, Apa katamu, Sri Wulandari, coba
katakan sekali lagi," teriak Pak Raguti menahan marah.
"Ya, Ayah! Aku akan melindungi pencuri itu!" jawab Sri Wulandari sekali lagi dengan nada menantang. Ia berbicara seolah-olah bukan dengan ayahnya.
Sri Wulandari berjalan menuju jendela melempar pandangannya keluar. Diam sesaat dan membalikkan tubuhnya kembali menghadap ayahnya.
"Coba saja pikir. Ayah diperbudak oleh penjajah hanya untuk memeras bangsa sendiri. Rakyat menderita dan kelaparan akibat perbuatan ayah secara tidak langsung," kata Sri Wulandari mengecam ayahnya sendiri sehingga membuat Pak Raguti mendidih darahnya menahan amarah yang tak terbendung lagi.
"Hei Sri siapa yang mengajari kau berkata begitu terhadap orang tua mu, hah!" bentak Pak Raguti menggelegar. Sri Wulandari menggigit bibirnya tertunduk diam.
Melihat anaknya tak menjawab pertanyaannya Pak Raguti tak kuasa menahan amarahnya.
"Siapa yang mengajari kau, Siapa!? Akan kupecahkan batok kepalanya! Siapa dia, Jawab!!" tanya Pak Raguti semakin geram dan penasaran.
"Tak seorangpun mengajari aku, Ayah! Aku melihat dengan mata kepala sendiri. Mereka yang terus menerus memeras keringat tetapi hidupnya menderita. Sedangkan mereka yang
kerjanya menjilat penjajah hidupnya mewah uncang-uncang kaki tanpa merasa bersalah!" sahut Sri Wulandari tenang.
"Kau berani mengatakan ayahmu sendiri sebagai penjilat, hah"! Kau anak perempuan tahu apa! Urus saja dapur. Kau tak perlu tahu urusan orang tua mengerti?" bentak Pak Raguti.
Perkataan ayahnya bukan membuat Sri Wulandari takut, justru sebaliknya ia semakin berani menyangkal segala perkataan ayahnya.
"Ayah merendahkan derajat kaum wanita. Justru ayah seharusnya menghargai perasaan wanita yang dapat merasakan penderitaan dan kesengsaraan bangsanya yang dijajah!" Sri Wulandari menarik napas panjang. Sementara Pak Raguti bersungut-sungut mendengarkan.
"Mengapa perasaan itu tidak timbul dari hati seorang pemimpin seperti ayah. Ayah bisa saja menyusun kekuatan untuk melakukan pemberontakan kepada tuan-tuan tanah kalau ayah mau. Ayah adalah seorang yang paling
berkuasa di desa ini. Ayah kan seorang kepala desa!!" seru Sri Wulandari menyakinkan ayahnya. Merasa dipojokkan oleh anaknya sendiri, Pak Raguti tak kuasa lagi menahan amarahnya yang memang sejak tadi ditahannya.
"Diaaaamm!! Kau anak tak tahu diuntung.Berani benar kau nasehati ayahmu, he. Kutampar kau nanti!!" bentak Pak Raguti dengan tatapan nanar dan napas mendengus, serta terdengar
gemertaknya gigi.
Sri Wulandari meninggalkan ayahnya dan ia segera berlari masuk ke kamarnya langsung menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur dan menangis. Hanya itu yang dapat dilakukan oleh seorang anak perempuan, walaupun terhadap ayahnya sendiri.
Sementara itu Pak Raguti duduk menghisap cerutunya dalam-dalam sambil pikiran menembus masa lalu pada saat istrinya masih hidup. Kalau saja ibunya Sri Wulandari masih ada, tentu saja Sri Wulandari tidak menjadi anak pembangkang seperti sekarang ini. Mungkin jadi seorang anak yang penurut.
Sayup-sayup terdengar suara adzan berkumandang. Sri Wulandari segera bangkit dan menghapus air mata yang membasahi pipinya. Kemudian berjalan ke sumur untuk mengambil air wudhu melakukan sholat Isya. Selesai sholat Sri Wulandari memanjatkan
doa.
"Ya Allah! Berikanlah hambaMu
kekuatan untuk menghadapi cobaanMu, ya Allah! Berikan keinsyafan pada ayahku,
Sadarkanlah dia dari kekeliruannya...!
Ya Allah! Lindungi bangsaku!
Lepaskanlah bangsaku dari cengkeraman penjajah! Amiiin...."
Tanpa terasa air matanya kembali menetes membasahi kedua pipinya. Selesai melakukan sholat, Sri Wulandari bergegas ke dapur. Ia harus menyiapkan makan malam untuk ayahnya.
***
Malam kembali menyelubungi desa Kandang Sapi. Bulan di langit semakin terang menyebarkan cahayanya ke seluruh mayapada. Namun suasana sunyi dan mencekap menyelimuti desa tersebut. Demikian pula suasana di sekitar gudang penggilingan beras
milik tuan tanah.
Tapi di balik kegelapan malam, berdiri sosok-sosok tubuh yang kekar dan bertampang seram di setiap tempat-tempat tertentu di desa itu, terutama di sekitar gudang penggilingan beras milik tuan tanah.
Menjelang tengah malam, keluarlah sesosok tubuh serba hitam menyelinap di balik pohon yang rimbun sambil mengamati daerah sekitar gudang penggilingan beras itu. Langkah-langkahnya tidak menimbulkan bunyi
sedikitpun. Sosok tubuh itu lalu berjalan ke balik gudang penggilingan beras tersebut.
Sementara para penjaga berusaha menghalau dinginnya malam dengan kegiatan masing-masing, tanpa sepengetahuan mereka sosok tubuh hitam itu sudah tegak berdiri di belakang salah satu penjaga yang sedang
menikmati sebatang rokok sambil melamun.
Dengan satu pukulan keras orang tersebut melenguh sekejap, kemudian tubuhnya melorot jatuh untuk tidak bangun lagi. Dari mulutnya
keluar darah kental tanda ia mengalami luka dalam cukup parah akibat pukulan dari seorang yang benar-benar berilmu tinggi.
Melihat temannya roboh diserang oleh orang tak dikenal, yang lainnya segera berlari mengepung. Masing-masing mencabut golok dan sosok tubuh serba hitam itu kini dikelilingi oleh tidak kurang dari sepuluh orang jago-jago bayaran.
"Heiitt! Ladalah! Rupanya kau maling keparat yang sering mencuri beras dari gudang ini!" teriak salah satu penjaga gudang dengan lantang sambil memutar-mutarkan goloknya.
"Hi hi hi! Kalian semua hanya manusia-manusia kerbau yang cuma bisa membela perut sendiri saja!" Suara mengejek itu sangat merdu namun menyakitkan telinga bagi mereka yang mendengarkannya. Merasa dihina, mereka segera mengepung membentuk lingkaran yang
ketat mengelilingi sang maling selama ini berani menguras gudang milik tuan besar mereka.
"Ayo, maju satu persatu biar aku tebas batang leher kalian! Aku Pendekar Loman tidak segan-segan menyingkirkan siapa saja yang menjadi budak Kompeni Belanda!!" seru Pendekar Loman siap memasang kuda-kudanya. Tetapi tak satupun dari mereka yang berani menyerang. Masing-masing hanya berdiri pasang kuda-kuda.