Sementara Pendekar Loman tak merasa
gentar sedikitpun walau menghadapi
pengepung yang semakin bertambah
jumlahnya.
"Inikah jagoan-jagoan termashur yang selalu dibanggakan oleh tuan tanah bule itu. Tahukah kalian bahwa sesungguhnya kalian adalah manusia-manusia yang bisa dibeli dengan uang. Manusia-manusia yang kecanduan roti dan keju. Aku malu melihat bangsaku sendiri yang diperalat oleh penjajah begitu tega hidup enak di atas penderitaan serta kemiskinan
bangsanya sendiri. Sebenarnya aku muak berkelahi dengan kalian!" katanya sambil berkacak pinggang.
"Tapi apa boleh buat. Aku tak sudi melihat penderitaan rakyat kecil yang tertindas."
"Kalian lihat, Bangsa siapakah yang dijajah ini? Bangsa siapakah yang menderita ini? Aku, Pendekar Loman akan memberi pelajaran sedikit kepada kalian." seru Pendekar Loman sambil matanya tajam mengawasi para begundal yang mengelilinginya dengan posisi siap siaga.
"Kalian manusia-manusia. Tidak lebih berharga dari seekor lalat. Siapa yang menjadi tuanmu, haa? Orang asing bukan? Dan kalian yang memusuhi adalah aku, bangsamu sendiri. Berkulit sawo matang dan berambut hitam seperti kalian juga." Kata Pendekar Loman menyadarkan para penjaga itu.
"Jika masih sayang nyawa dan sayang anak istri, minggirlah kalian. Ini peringatan dariku," ancam Pendekar Loman siap menyerang.
Tetapi tiba-tiba salah seorang dari mereka memberi isyarat kepada teman-temannya agar mulai menyerang Pendekar Loman secara serentak. Mereka mulai mendesak. Tapi Pedekar Loman langsung saja menendang dengan satu gerakan yang memutar dan cepat sekali tanpa bisa mereka hindari. Begitu cepat dan beruntun.
Tendangan itu mengenai dada para pengepungnya. Mereka langsung roboh hanya dengan satu gebrakan saja.
"Rupanya kalian menganggap remeh peringatanku. Ayo, siapa lagi yang berani mati, majulah," teriak Pendekar Loman siap dengan jurusnya. Tangan kanan menyilang di dada dan tangan kirinya di atas kepala. Sebuah jurus yang sama sekali baru mereka lihat.
Melihat lawan-lawannya tidak memberikan reaksi lagi Pendekar Loman segera menurunkan tangannya kembali ke posisi semula dan berdiri tegak, setelah menarik kuda-kudanya. Para penjaga gudang dan jago-jago bayaran itu hanya berdiri diam memegangi dadanya masing-masing sambil meringis menahan sakit dan dari sela bibir mereka mengalir darah hitam, darah luka dalam.
"Ingat! Jangan coba-coba menghalangiku lagi, kalau kalian masih ingin melihat sinar matahari esok pagi. Selamat malam dan sampai jumpa lagi," seru Pendekar Loman sambil membuat
satu gerakan salto ke belakang dan disusul dengan sebuah loncatan ke atap bangunan gudang beras yang cukup tinggi itu dengan mudahnya.
Pendekar Loman meloncat hilang ke balik semak-semak dan hilang di kegelapan malam. Para penjaga itu hanya bisa saling pandang merasa heran dan kagum.
Keesokan harinya Pak Raguti bersungut-sungut karena para jago-jago desanya gagal menangkap si pencuri yang telah diketahui menamakan dirinya Pendekar Loman.
"Hm, pantas. Pencurinya seorang jago silat yang luar biasa. Buktinya ia dapat menghajar beberapa orang sekaligus," kata Pak Raguti kepada anaknya Sri Wulandari yang sedang menjahit kebaya baru pemberiannya sebagai tanda penyesalannya kemarin. Begitu caranya ia meminta maaf pada anaknya. Pak Raguti bangkit dari tempat duduknya.
"Bayangkan, sekali gebrak tiga orang roboh dan muntah darah tanpa ampun!" seru Pak Raguti sambil berjalan mondar-mandir di ruang tamu rumahnya yang cukup luas.
Sri Wulandari hanya tersenyum melihat ayahnya menggerutu terus-menerus.
"Tadi pagi Tuan Tanah memanggilku katanya, jika aku tidak sanggup menyingkirkan pencuri itu, maka tuan tanah akan membuat laporan langsung ke Residen Cirebon," gumam Pak Raguti merasa kesal.
Tanpa disadarinya, rokok cerutu yang
dipegangnya remuk diremasnya.
"Dan tahukah kau?" tanya Pak Raguti pada Sri Wulandari yang sedang sibuk memasukkan benang ke lubang jarum.
"Ini berarti jabatanku sebagai kepala desa akan dicopot!" Sri Wulandari acuh tak acuh menanggapi ayahnya yang takut kehilangan jabatan, dan masa depannya. Ia bangkit meninggalkan jahitannya untuk membuat segelas teh tubruk kegemaran ayahnya.
Mudah-mudahan setelah mereguk teh itu, amarah ayahnya agak menurun dan tidak uring-uringan terus-menerus.
"Kenapa ayah begitu takut. Tidak jadi kepala desapun kita masih bisa hidup. Kita tidak usah diperbudak oleh bangsa Belanda!" kata Sri Wulandari menutup gelas besar setelah mengaduk teh di dalamnya dengan tutup gelas.
"Hidup yang bagaimana. Aku tidak mau makan singkong dan ikan asin! Aku ingin hidup layak, punya pendapatan besar dan menjadi orang terhormat," ucap Pak Raguti dengan penuh keyakinan.
"Tak ada bangsa yang dapat hidup layak selama bangsa itu sendiri masih dijajah," jawab Sri Wulandari dengan nada sedikit ketus. Sri Wulandari berhenti menjahit karena ujung jarinya tertusuk jarum.
"Karena takut menghadapi hidup ini, ayah hanya menggantungkan hidup di bawah telapak kaki penjajah Belanda. Bila penjajah sudah tidak lagi membutuhkan ayah lagi, maka ayah pasti akan dicampakkan begitu saja seperti orang yang membuang kulit pisang ke dalam tong sampah," sindir Sri Wulandari sambil mengulum jari telunjuknya yang berdarah.
Pak Raguti mendengar ocehan anaknya yang sudah melanggar batas, membuat darahnya bergejolak sampai ke ubun-ubun. Ia tak kuasa lagi menahannya, sehingga napasnya terdengar bagai dengusan hewan liar yang siap mencabik-cabik mangsanya.
"Diaaaamm!! Anak setan! Lagi-lagi kau mau mengajari aku! Aku tidak perlu dinasehati. Aku ini ayahmu, mengerti?!" teriak Pak Raguti seolah kesetanan. Kedua tangannya mengepal keras dan ia memukul meja yang berada di hadapannya, tanpa menghiraukan bahwa meja marmer itu terlalu tebal dan keras dibanding dengan kepalan tangannya.
"Kau berkata sembarangan. Kalau ketahuan mata-mata Belanda bisa-bisa kamu dianggap pemberontak. Dan kau tahu apa hukuman bagi seorang pemberontak, Ditembak mati.
Penjajah tidak mau tahu terhadap siapapun, juga terhadap anak kepala desa sekalipun, mengerti," bentak Pak Raguti seraya menghampiri Sri Wulandari dengan tatapan mata yang nanar.
"Itulah kematian yang paling mulia, ayah. Kita akan mati sebagai pahlawan bangsa.Kita akan dikenang oleh seluruh masyarakat. Bahkan bukan saja mulia dihadapan masyarakat, tetapi dihadapan Tuhan. Kita mati syahid, karena menegakkan kebenaran dan keadilan sesuai dengan ajaran agama kita," sahut Sri Wulandari tenang dan mantap seolah-olah tak sedikitpun ia merasa takut kepada ayahnya.
"Tutup mulutmu. Ayo masuk ke kamarmu dan jangan keluar-keluar lagi. Awas kalan berani keluar lagi akan kuhajar. Kau hanya membuat pikiranku jadi bertambah ruwet saja, bukannya berusaha meringankan beban orang tuamu," hardik Pak Raguti. Lalu menendang pintu kamar Sri Wulandari sampai pintu tersebut terbuka lebar.
"Maafkan aku, ayah! Sebetulnya aku tidak bermaksud menyakiti perasaan ayah," kata Sri Wulandari sambil berusaha menghindari tatapan mata ayahnya dengan menundukkan wajahnya. Sri Wulandari berusaha juga sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, maka Sri Wulandari meninggalkan ayahnya menuju kamarnya.
Pak Raguti hanya menarik napas
panjang, karena ia sebenarnya sangat sayang pada Sri Wulandari buah hati satu-satunya.