"Selamat pagi Ashila, aku membawakanmu kopi, agar kau tidak mengantuk." ucap seorang pria tampan berkulit tan, saat ini mereka bertemu di pintu masuk gedung kantor Januar Corp. Tangannya mengulur satu cup kopi hangat untuk Ashila.
"Terimakasih, Johnny." Ashila menerima kopi pemberian dari Johnny dengan tersenyum cerah kerah pria di sebelahnya ini, orang yang selalu gemar mendekati dirinya di kantor.
"Ku lihat tadi kau turun dari bus yang bukan biasanya, Ashila. Apa apartemenmu sudah pindah?" pertanyaan Johnny langsung membuat Ashila terdiam sejenak, ia bingung harus menjawab apa.
"Emm ... aku menginap di rumah pamanku." Ashila menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Dirinya jelas berbohong karena Ashila tidak mempunyai paman maupun bibi dari pihak ayah ataupun dari pihak ibunya.
"Ah, begitu. Aku kira apartemenmu sudah pindah." mereka berdua pu masuk ke dalam lift dan menekan tombol 27. Sebelum pintu tertutup, sebuah kaki menahan pintu lift, pintu pun kembali terbuka, dan nampaklah seorang pria tampan yang merupakan CEO Januar Corp.
"Pak Rivaldo, lift ini untuk para staf dan karyawan, lift untuk para petinggi ada di sebelah." ucap Ashila yang merasa heran melihat Rivaldo menghalangi pintu lift.
"Saya sedang ingin naik lift ini." jawab Rivaldo dan langsung mengambil posisi ditengah antara Ashila dan Johnny.
Ashila kembali merasa kesal, masih pagi tapi Rivaldo sudah membuat ia kesal berkali-kali.
"Johnny Suh, kenapa kau tidak memencet tombol lantai 26?" tanya Rivaldo kepada Johnny.
"Hmmm ... saya bermaksud ingin mengantar Ashila terlebih dahulu keruangannya, Pak." jawab Johnny dengan suara pelan.
"Tidak perlu. Ashila akan tetap aman walaupun tidak diantar olehmu. Lebih baik kau fokuslah pada pekerjaanmu, berhenti mengganggu Ashila." Rivaldo berucap dengan suara tegasnya.
"Baik, Pak." Johny membungkuk ke arah Rivaldo, sebelum akhirnya ia tersenyum ke arah Ashila dan disambut senyuman manis dari wanita cantik itu.
"Ekhm ..." Rivaldo berdehem kala ia dapati istrinya tersenyum pada pria lain.
"Ashila, setelah ini kau langsung ke ruanganku." suara Rivaldo terdengar sangat dingin.
"Baik, Pak." jawab Ashila dengan terpaksa, ingin sekali rasanya ia pukul dari belakang kepala bos nya ini.
Pintu lift terbuka di lantai 26, tempat dimana ruangan Johnny sebagai staf keuangan berada.
"Semangat, Ashila!" sebelum turun pria berkulit tan itu menyemangati Ashila, senyum merekah diwajah tampannya.
"Semangat kembali, Johnny...!" Ashila pun membalas dengan sedikit gaya cute, yang mana membuat Johnny lansung merasa gemas.
"Sedang apa kalian? Johnny Suh! Berani-beraninya kau mengganggu sekretarisku, cepat sana keluar!" Rivaldo merasa geram ketika ia lihat bagaimana interaksi mereka berdua.
"Baik, Pak." Johnny keluar dari lift setelah sebelumnya ia membungkukkan badannya kepada Rivaldo.
"Menyebalkan sekali, Johnny Suh itu." gerutu Rivaldo ketika pintu lift sudah kembali tertutup, kini hanya ia dan Ashila yang berada di dalam lift.
"Kau yang menyebalkan, ini lift khusus untuk staf dan karyawan, dan lift mu bukan di sini." balas Ashila tidak mau kalah.
"Terserah aku mau naik lift manapun, ini perusahaanku." Rivaldo membalas dengan sombongnya.
"Cih ... sombong sekali kau. Pagi-pagi sudab membuat orang lain kesal." Ashila melangkahkan kakinya keluar, karena kini lift yang mereka naiki sudah sampai di lantai tujuan.
"Ke ruanganku sekarang, Ashila." ucap Rivaldo dengan suara tegasnya.
"Baik, Pak." Ashila menunjukkan senyuman terpaksanya. Ia berjalan mengekori Rivaldo, kemudian masuk ke dalam ruangan CEO
Di dalam ruangan, Rivaldo langsung menaruh tas nya di atas meja, Ashila pun menaruh tas nya di atas kursi.
"Ikut aku ke dalam." perintah Rivaldo terdengar mutlak, pria tampan itu melangkah menuju kamar pribadinya.
"Oh? Untuk apa?" tanya Ashila yang masih tidak paham.
"Jangan banyak tanya. Ikut saja."
Dengan langkah terpaksa, Ashila menuruti saja apa yang Rivaldo perintahkan.
Sesampainya di kamar pribadi, Rivaldo langsung mendorong tubuh Ashila ke tembok, lalu ia kunci tangan Ashila dengan dasi yang sudah Rivaldo persiapkan.
"Apa-apaan ini, Rivaldo?!" pekik Ashila.
"Kau harus ku hukum karena sudah bersikap centil kepada pria lain!" Rivaldo masih berusaha mengikat tangan Ashila.
"Lepaskan tanganku, Rivaldo! Lepaskan!!" Ashila terus meronta, pergelangan tangannya mulai terasa sakit.
"Diam! Kau ingat kan tujuan pernikahan kita untuk apa?! Untuk mempunyai anak darimu. Jadi sekarang diamlah, karena aku akan melakukannya." Rivaldo menatap tajam kearah mata Ashila, sementara wanita cantik di hadapannya itu sudah meronta ketakutan.
Dengan sekali tarikan, Rivaldo langsung melempar tubuh Ashila diatas ranjang, dan Rivaldo langsung mengukung tubuh istrinya.
"Tolong jangan lakukan itu, Rivaldo." Ashila terus meronta dibawah kukungan Rivaldo, tangannya diikat kencang diatasi kepalanya.
"Diamlah! Kita sudah menikah. Aku berhak melakukan ini kepada istriku sendiri. Aku tidak bisa menunggu terlalu lama lagi." Rivaldo mulai menciumi leher jenjang Ashila, menghirup aroma vanilla yang menguar dari tubuh wanita itu.
"Hiks ... jangan, Rivaldo." Ashila mulai menangis, ia kembali tersiksa dengan perlakuan Rivaldo.
"Tadinya aku tidak mau melakukan ini. Tapi kau yang membuatku emosi, Ashila Januar. Jadi kau harus menerima hukumanku." Rivaldo mulai melepaskan kancing kemeja Ashila satu persatu, dan melepaskan ikatan bra yang menutupi gunung kembarnya, hingga terpampang jelas di hadapan pria tampan itu.
"Rivaldo...!" pekik Ashila ketika mulut suaminya itu mulai menyapa permukaan dadanya, menimbulkan sengatan aneh yang belum pernah Ashila rasakan sebelumnya. Harusnya ia merasakannya dengan seseorang yang ia sayangi dan juga menyayanginya, bukan dengan pria yang amat sangat Ashila benci di dunia ini.
"Sshh ... Ashila, tubuhmu sangat harum. Aku sangat menyukai tubuhmu." Rivaldo terus meracau dengan mulutnya yang masih bermain-main dengan dada Ashila.
"Rivaldo, ku mohon hentikan." tangisan Ashila semakin pecah, tubuhnya masih terus meronta.
"Aku bilang diam! Apa kau lupa dengan surat perjanjian kita yang kau sepakati? Kita sudah tanda tangan diatas materai." ucap Rivaldo, suaranya sedikit meninggi.
Dan Ashila langsung terdiam mendengar ucapan Rivaldo, wanti cantik itu masih terisak. Namun sudah tidak lagi memberontak.
***
*Flashback
Rivaldo dan Ashila masih tetap terdiam di dalam mobil, mereka berdua belum melanjutkan kembali perjalanan menuju Jakarta.
Keduanya masih sama-sama dipenuhi fikiran masing-masing. Sedangkan Ashila, wanita cantik itu lebih tenang, ia sudah tidak lagi menangis.
"Saya akan menikah dengan, Bapak. Tapi harus dengan perjanjian diatas materai." ucap Ashila memecah suasana.
"Apa yang kau inginkan? Tulis saja, saya akan menyetujuinya. Saya juga akan meminta beberapa poin perjanjian." sahut Rivaldo.
"Baik, besok saya akan menunjukkan padamu apa saja syarat perjanjiannya. Sekarang antarkan saya pulang ke apartemen, saya ingin istirahat."
Rivaldo kembali memacu mobilnya menuju Jakarta, perjalanan dari Bandung harusnya tidak memakan waktu terlalu lama seperti sekarang. Namun ada sedikit pertengkaran antara ia dan Ashila, hingga memakan waktu sekitar satu jam berdiam di dalam mobil.
Keesokan paginya, sebelum Rivaldo dan Ashila berangkat menuju butik untuk melakukan fitting gaun dan jas pengantin, mereka berdua diharuskan menandatangani terlebih dahulu selembar kertas yang berisikan perjanjian.
Beberapa poin yang Ashila ajukan antara lain; bahwa Rivaldo tidak akan meninggalkan Ashila setelah anaknya lahir, Rivaldo tidak akan lepas tanggung jawab untuk selalu mencukupi kebutuhan hidup Ashila dan Rivaldo tidak akan melakukan kekerasan fisik.
Sementara poin yang Rivaldo ajukan antara lain; Ashila tidak menolak ketika diajak berhubungan intim, kecuali ada alasan yang tepat, seperti sedang sakit atau kelelahan.
Ashila mengerutkan keningnya membaca poin yang diajukan oleh Rivaldo.
"Apa-apaan ini? Anda seperti seenaknya sendiri, Pak Rivaldo." Ashila jelas menolak poin yang dituliskan oleh Rivaldo.
"Kita impas kan? Kau akan selamanya menjadi istri saya, dan saya akan memenuhi semua kebutuhanmu, saya juga tidak akan melakukan kekerasan fisik padamu selama kita menikah, poin yang kau ajukan lebih banyak daripada yang saya ajukan. Saya hanya minta itu saja, Ashila." sebuah seringaian tercetak diwajah Rivaldo.
"Lagi pula tujuan pernikahan kita memang untuk memiliki anak bukan? Ingat kedua orangtuamu. Mereka sangat menyukaiku dan sangat berterimakasih dengan bantuan yang sudah saya berikan." lanjutnya lagi.
"Jika bukan karena sikap sok pahlawanmu, orangtuaku tidak akan pernah menyetujui pernikahan ini!" balas Ashila dengan mata memerah menahan amarah.
"Terserah kau mau mengatakan apa. Tapi yang jelas, kalau saja waktu itu saya tidak datang tepat waktu. Mungkin sekarang keluarga mu sudah tidak mempunyai tempat tinggal lagi."
Ashila mengepalkan tangannya kesal, kalau bukan karena pria brengsek itu yang sudah menolong keluarganya. Tentu saja Ashila akan menolaknya mentah-mentah pernikahan sialan ini.
"Baiklah ... berikan bolpoinnya, biar saya tandatangani." Ashila mendesah kesal, emosinya sudah memenuhi rongga dadanya sampai terasa sesak.
"Semoga anda tidak pernah lupa dengan perjanjian kita ini, Ashila Januar." Rivaldo tersenyum. Namun itu justru terlihat sangat memuakkan dimata Ashila.
"Namaku Ashila Aruna kalau anda lupa!"
"Tapi sebentar lagi kau akan menjadi Ashila Januar."
Ashila memutar bola matanya malas, sungguh lelah berdebat dengan pria kurang ajar seperti Rivaldo tak akan bisa untuk dilawan.
*Flashback off
***
"Bagaimana? Kau sudah ingat?"
Namun Ashila tak bergeming, ia masih terisak. Sentuhan Rivaldo pada tubuhnya yang terkesan memaksa serasa sedang melecehkannya.
"Aku tidak pernah ada niatan untuk menghukummu seperti ini Ashila. Aku sangat kesal ketika melihat melihatmu menggoda pria lain. Kau istriku! Kita sudah bersumpah di hadapan Tuhan. Pernikahan kita ini nyata terjadi. Aku marah sampai ingin rasanya segera menghabisimu." ucap Rivaldo dengan emosi yang menyulut.
"Tolong jangan perlakukan aku dengan kasar, hiks ... aku takut." tangisan Ashila terdengar semakin pilu. Perlahan emosi Rivaldo pun mulai mereda, ia tak tega melihat istrinya menangis akibat perbuatannya.
Tangan Rivaldo kembali terulur untuk menutupi kancing kemeja Ashila. Ia buka ikatan dasi yang membelit lengan istrinya. Dan segera Rivaldo bawa Ashila kedalam pelukannya.
"Maafakn aku yang membuatmu takut, Ashila." Rivaldo mengusap surai panjang kecoklatan Ashila.
"Tolong jangan sakiti aku, Rivaldo. Aku mohon." wanita cantik itu semakin kencang didalam pelukan Rivaldo, ia tumpahkan segala rasa sesak di dadanya.
"Maafkan aku ... tolong jangan menggoda pria lain lagi atau menunjukkan senyuman manismu ke mereka, aku sangat cemburu." ucap Rivaldo dengan suara yang lembut, tangannya masih menepuk pelan punggung Ashila.
"Maafkan aku, Ashila Januar ... aku tidak akan memaksamu lagi. Aku akan melakukannya ketika kau siap."