Chereads / Being a Secret Wife / Chapter 7 - Menemui Luna

Chapter 7 - Menemui Luna

Rivaldo mengendarai mobil mewahnya dengan kecepatan tinggi saat ini, dirinya benar-benar sangat khawatir dengan keadaan istrinya itu. Jika Luna sedang demam tinggi, maka bukanlah pertanda yang baik untuknya, karena bisa saja istrinya sedang kritis.

Namun sayangnya, jalanan Ibukota Jakarta tengah macet saat sore hari seperti ini, hingga membuat Rivaldo mengendarai mobilnya dengan sangat perlahan.

"Aarrghh ...! Sial! Jalanan sangat macet. Aku harus segera sampai Penthouse saat ini." geram Rivaldo, pria tampan itu tengah menahan kekesalannya saat ini.

Tin! Tin!

"Ayolah ... Aku harus melihat keadaan istriku!" Rivaldo berkali-kali memukul stir mobilnya dengan kesal, dirinya sangat takut jika terlambat sampai rumah nanti.

Emosinya memuncak ketika jalanan masih dalam keadaan macet, diambilnya benda pipih itu dari dalam saku jas mahalnya, untuk kemudian mendial nomor maid di Penthouse miliknya.

"Halo, Bik. Apa Luna baik-baik saja?" tanya Rivaldo dengan suara panik, begitu teleponnya tersambung.

"Halo, Tuan. Saat ini Dokter Ferdi sudah datang kemari dan sedang menangani Nyonya, Tuan." jawab sang maid di seberang sana.

"Apa sudah ada perubahan? Apa saya harus membawanya ke Rumah Sakit?" Rivaldo terus bertanya tentang keadaan istrinya. Dirinya sungguh kalut ketika mendengar istrinya demam tinggi.

"Dokter Ferdi sudah menangani Nyonya, Tuan. Beliau juga sudah memberikan infus pada Nyonya dan juga obat-obatan tambahan. Tuan tidak perlu khawatir, Nyonya pasti akan baik-baik saja." ungkap sang maid di sana yang mencoba menenangkan Tuanya.

Rivaldo menghela nafasnya dalam sembari menyandarkan punggung kekarnya pada sandaran kursi mobil mewahnya.

"Baiklah, Bik. Kalau terjadi apa-apa, tolong bawa Luna ke Rumah Sakit. Saya masih diperjalanan." titah Rivaldo dengan tegas, dirinya benar-benar kalut.

Meskipun istrinya sudah ditangani dengan baik oleh Dokter pribadinya, tapi tetap saja Rivaldo merasa khawatir. Rivaldo belum tenang jika belum melihat keadaan istrinya, Rivaldo ingin memastikan sendiri bagaimana keadaan istrinya itu.

•••

Di kamar pribadi bernuansakan ornamen Eropa kuno, seorang wanita cantik sedang terbaring lemah di kasur queen size miliknya. Terlihat wajahnya yang sangat pucat, dengan selang infus yang menancap kuat di lengan kanannya. Beruntungnya, Luna tidak sampai kritis saat ini, karena Dokter Ferdi datang dengan cepat dan segera melakukan tindakan untuk menangani Luna.

Dokter Ferdi merupakan Dokter pribadi Luna, Dokter tampan ini sudah menangani dan juga membantu penyembuhan Luna sejak wanita cantik itu didiagnosa menderita kanker darah yang muncul di dalam tubuhnya. Dan ketika di telepon oleh salah satu maid dari Penthouse Januar, tidak menunggu waktu lama, Dokter Ferdi segera datang dan langsung melakukan tindakan cepat untuk menangani pasien pribadinya.

"Apa Rivaldo, sudah datang, Bik?" tanya Dokter Ferdi ketika sudah menyuntikkan cairan obat pada selang infus milik Luna.

"Tuan Rivaldo, sedang terjebak macet di jalan Dokter." jawab salah satu maid yang juga sedang menjaga Luna di kamar itu, dan langsung diangguki oleh Dokter Ferdi

Selang beberapa menit, pintu besar bercat putih gading itu terbuka lebar, menampilkan sosok pria tampan yang sedang berjalan kearahnya dengan raut wajah yang sangat panik.

"Dokter! Bagaimana keadaan istri saya?" tanya Rivaldo saat dirinya sudah berdiri di hadapan Dokter Ferdi

"Luna baik-baik saja, Tuan Rivaldo. Istrimu ini sangat kuat. Syukurlah dia tidak sampai kritis. Luna sudah kuberi cairan obat, dia berusaha sekuat tenaga untuk melawan penyakitnya." ungkap Dokter Ferdi setelah melakukan pemeriksaan pada Luna.

Rivaldo menghela nafasnya dalam, menetralkan deru nafasnya yang masih terasa. Kemudian ia menatap dalam wajah cantik istrinya itu dengan tatapan sendu.

"Aku tahu kau sangatlah kuat, sayang. Dia memang berusaha keras melawan penyakitnya, Luna sangat kuat." ucap Rivaldo sambil mendudukkan tubuhnya, mengusap pelan anak rambut yang menghiasi kening sang istri yang sedang tertidur lelap.

"Tolong jaga Luna lebih ekstra, Rivaldo. Lebih baik kau jangan bekerja dahulu sebelum Luna benar-benar pulih, aku akan memeriksanya secara rutin setiap satu jam sampai demamnya benar-benar turun." perintah Dokter Ferdi, dan Rivaldo langsung menganggukkan kepalanya menyetujui.

"Baik, Dokter. Dan terimakasih, Dokter Ferdi kau sangat banyak membantu istriku." ucap Rivaldo merasa berterima kasih kepada sang Dokter tampan ini yang rela bolak-balik demi memeriksa istrinya.

"Tidak masalah, Tuan Rivaldo. Aku sebagai Dokter hanya bisa membantu saja, tidak lebih." jawabnya sambil menepuk pelan pundak Rivaldo, "kalau begitu ... Aku akan ke Rumah Sakit untuk berjaga kembali, beritahu aku kalau terjadi apa-apa, okay?" lanjutnya dan langsung diangguki oleh Rivaldo.

Setelahnya Dokter tampan itu keluar dari kamar pribadinya, diikuti oleh beberapa maid yang memang keluar untuk memberikan ruang pribadi pada Rivaldo.

"Terimakasih sudah bertahan..." ucap Rivaldo dengan lirih sambil mengecup pelan kening Luna.

•••

Seorang wanita cantik terus menerus sedang menatap keluar jendela bus yang ia tumpangi, dirinya berkali-kali menghela nafasnya dalam. Entah apa yang ia fikirkan saat ini.

Johnny, lelaki tampan yang mengantarkan dirinya juga ikut menatap ke luar jendela bus yang mereka tumpangi. Namun bukannya menatap kearah jalan, melainkan menatap wanita cantik pujaan hatinya yang sedang tidak baik-baik saja itu. Beberap kali lelaki keturunan Amerika itu mendengar helaan nafas yang keluar dari ranum merah muda Ashila. Meskipun Johnny meminta dirinya untuk curhat kepadanya, namun dengan tegas wanita cantik itu menolaknya dengan halus, dan Johnny menghargai keputusannya. Dan ia memutuskan sendiri untuk mengantarkan Ashila pulang, meskipun awalnya ditolak. Namun karena Johnny khawatir, Ashila mengiyakan ajakannya, Johnny hanya takut saja kalau terjadi sesuatu kepada wanita cantik itu. Johnny hanya ingin memastikan bahwa Ashila pulang dengan selamat.

"Umm ... apa kau mau jalan-jalan?" tanyanya kemudian setelah beberapa saat hening.

Ashila menolah kearahnya, "Jalan-jalan? Hhmm ... tidak buruk. Apa kau mau mengantarku?" tanya balik Ashila.

"Tentu saja. Aku akan menemanimu sampai kau puas berjalan-jalan." jawabnya sambil tersenyum tampan dan dengan penuh semangat, "apa kau suka ice cream? Di jalan sini ada kedai ice cream yang sangat enak." lanjutnya bertanya.

Bukan aneh lagi, Johnny memang mengetahui makanan kesukaan dari wanita cantik di sampingnya ini. Pria tampan itu bahkan sangat hafal dengan apa saja yang Ashila sukai, dan apa saja yang tidak ia sukai, sudah 3 tahun Johnny menjadi fans nomor satu bagi Ashila. Bahkan rekan kantor pun sering sekali menyebut mereka sebagai TTM, teman tapi mesra. Kedekatan mereka inilah yang membuat Rivaldo naik pitam. Dirinya merasa kesal dengan kedekatan antara Kania dengan Johnny. Namun percayalah, Ashila sudah menganggap Johnny sebagai kakaknya, mengingat dirinya tidak punya siapa-siapa di Jakarta selain kedua temannya.

Mendengar kata 'Ice Cream', Ashila kembali mengingat sebuah ingatan yang pahit baginya, seorang pria tampan yang menyebalkan mengajaknya untuk membeli ice cream setelah pulang kerja. Namun pria tampan itu juga yang mengingkarinya.

Ashila kembali menghela nafasnya pelan, mengapa setiap mengingat lelaki tampan menyebalkan itu dadanya selalu sesak. Seolah-olah begitu banyak beban dan rasa sakit yang datang disaat bersamaan.

"Ashila? Kau melamun?" tanya Johnny sambil mengibaskan tangannya di depan wajah cantik itu.

Ashila mengerjap pelan, "Oh? Ya! Aku sangat suka ice cream, ayo kita beli nanti." jawab Kania dengan senyuman manis.

"Okay ... mari kita beli ice cream dekat cafe apartemen mu saja. Sepertinya kau sangat kelelahan."

Aahila hanya menjawabnya dengan kekehan, dirinya hanya tersenyum miris. Andai saja dirinya mempunyai suami seperti Johnny, yang pengertian, baik, dan juga humoris. Tidak seperti ... ah sudahlah. Ashila menggelengkan kepalanya pelan sambil menatap kembali ke luar jendela.

Hanya membutuhkan waktu lima belas menit saja, bus yang mereka tumpangi kini sudah sampai di halte tujuan. Johnny dan Ashila bergegas turun dari bus, keduanya kembali berjalan dengan beriringan. Sesuai ajakan Johhny yang ingin membeli ice cream untuk mereka. Kini keduanya berjalan ke arah kedai ice cream yang memang tidak jauh dari apartemen Ashila dan teman-temannya.

"Kau duduklah dulu. Biar aku yang pesankan ice cream untukmu." titah Johnny kepada Ashila untuk duduk terlebih dulu ketika keduanya sudah berada di dalam kedai ice cream.

"Apa kau tahu ice cream kesukaanku?" tanya Ashila, dirinya ingin mengetes Johnny dengan ice cream kesukaannya.

"Tentu saja." jawab Johnny dengan suara mengejek, "satu cup besar ice cream coklat dengan toping choco chips dan satu cone ice cream strawberry." lanjutnya dengan senyuman di wajah tampannya.

"Seratus untukmu ... aku duduk dekat jendela di sana." tunjuk Ashila, dan bergegas meninggalkan Johhny yang terkekeh dibuatnya.

Selang beberap menit, akhirnya pesanan mereka pun tiba. Dengan Johnny yang membawakan ice cream pesanan mereka menggunakan nampan.

"Ashila, ini ice cream milikmu." Johnny menyerahkan satu cup ice cream berukuran besar dan satu cone yang dilapisi tissue kepada Ashila, dan dengan senang hati Ashila menerimanya.

"Terimakasih, John." ucap Ashila, dan langsung mengambil alih cone ice cream strawberry, setelah meletakan ice cream cup besarnya. Dirinya memang sudah tidak sabar untuk mencicipi rasa manis dari ice cream ini, tidak hanya meleleh di mulutnya, tapi juga akan melumerkan segala sesak di hatinya.