Membeli ice cream rupanya membuat perasaan Ashila sedikit lebih tentram. Memang, ketika kita sedang merasa marah pada seseorang, makanan manis memanglah membuatnya meredam kemarahan tersebut.
Ashila dan Johnny baru saja keluar dari kedai ice cream itu dengan membeli lagi ice cream cone rasa coklat untuk keduanya, dan berjalan menuju apartemen yang ditinggali Ashila bersama teman-temannya. Keduanya tidak mengobrol lebih saat ini, keduanya masih senantiasa menikmati makanan manis milik mereka.
"Mau duduk di taman dulu." tanya Johnny ketika melewati taman dekat apartemen.
"Boleh, aku juga ingin menikmati angin sore hari ini." jawab Ashila, dan keduanya melangkahkan kakinya untuk mendekat ke taman itu, serta duduk di bangku taman dengan cone ice cream yang masing-masing mereka genggam.
Sebenarnya terbesit rasa bersalah yang Ashila rasakan saat ini, walau bagaimanapun statusnya masihlah istri orang sekarang. Johnny sangat baik kepadanya, Aahila tidak mau Johnny semakin berharap kepadanya, walaupun beberapa kali pria tampan itu bahagia hanya menjadi teman sekaligus kakak bagi dirinya.
"Apa teman-temanmu tidak mengkhawatirkanmu?" tanya Johnny tiba-tiba.
Ashila menoleh kearahnya, "Tidak ... mereka sudah biasa seperti itu." dalihnya, padahal Ashila belum memberitahukan bahwa dirinya akan menginap di apartemen teman-temannya.
"Syukurlah ... aku hanya khawatir, kalau teman-temanmu menunggumu. Ayo habiskan ice creamnya."
Ashila menganggukkan kepalanya dan memakan kembali ice cream miliknya. Keduanya mengobrol singkat seputar pekerjaan yang menguras tenaga akhir-akhir ini, kadang keduanya tertawa ditemani lembayung swastamita yang begitu indah.
Sampai akhirnya, dentingan pesan singkat dari benda pipih milik Ashila berbunyi di atas pahanya. Mungkin itu Rivaldo, fikirnya. Dirinya tidak ingin membuka pesan dari lelaki tampan itu, dirinya hanya ingin sendiri sekarang, dan memasukkan ponselnya di saku kemejanya. Namun tak lama kemudian ponselnya berdering, menandakan seseorang meneleponnya. Diambilnya benda pipih itu dari saku kemejanya, terlihat nama lelaki yang membuatnya kesal saat ini, sebuah panggilan dari Rivaldo.
Johnny yang menyadarinya ponsel Ashila berbunyi menoleh kearahnya, "Kenapa tidak mengangkatnya? Apa dari temanmu?" tanyanya kemudian.
Ashila tersenyum tipis, "Iya, ini dari temanku, biarkan saja ... mungkin dia hanya menanyakan keberadaanku saja." jawabnya berbohong, yang mencoba menutupi kegugupannya saat ini. Sedangkan Johnny hanya mengangguk sebagai jawaban.
Namun lagi-lagi ponselnya kembali berbunyi, Ashila mulai geram saat ini. Tidak bisakah Rivaldo untuk tidak mengganggunya sekali saja?
Dengan kesal Ashila mematikan ponselnya, dirinya tidak ingin diganggu oleh lelaki Pratama itu.
Setelah cukup puas membeli ice cream hingga membeli untuk dinikmati di sore hari bersama Johnny dan juga mengobrol di taman dengan lelaki Amerika itu. Tidak terasa langit sudah mulai menggelap, tanda sore hari mulai berganti dengan malam. Ashila pun pulang ke apartemen lamanya setelah berpamitan dengan lelaki Amerika itu. Dilihatnya arloji di lengan kirinya, pukul 7 kurang saat ini. Namun sebelum pulang, Ashila menghampiri kedai roti langganannya yang terletak di pinggir jalan untuk dia beli sebagai pengganjal perutnya.
Sesampainya di apartemen lamanya yang tidak mewah dari apartemennya yang baru itu, Ashila melangkahkan kakinya menuju lift, dan menekan angka 3 sebagai lantai tempatnya tinggal.
Ting!
Suara dentingan lift terdengar ketika sudah berada di lantai tiga kamar apartemennya berada, setelah keluar dari lift. Ashila berjalan pelan dilorong sepi itu, membuka tasnya untuk mengambil kunci kamarnya, dan segera melangkah memasukinya.
"Aku pulang ..." ucap Ashila ketika sudah berada di dalam apartemen lamanya.
Jessie yang sedang memakai masker kecantikan di wajahnya sontak terkejut hingga masker wajahnya retak.
"Ashila?!" pekiknya kaget saat sahabatnya ini datang ke apartemen lamanya, sedangkan Ashila hanya memutar bola matanya malas.
"kau pulang ke sini?" lanjutnya sambil menghampiri Ashila.
"Iya, aku akan menginap di sini. Tidak apa-apa bukan?" jawab Ashila disertai pertanyaan.
Jessie mendelik sebal, "Tentu saja! Ini 'kan apartemen kita bertiga. Tapi kenapa kau tidak menelponku lebih dulu? Biar aku menjemputmu." Jessie menuntun Ashila untuk duduk bersamanya.
"Aku tidak mau merepotkan mu, Jess." kata Ashila merasa tidak enak.
"Apa-apaan itu? Kau kan sahabatku, Ka. Tidak apa-apa kau repotkan juga." sanggah Jessie, "tapi ngomong-ngomong ... apa kau sedang bertengkar dengan, Rivaldo?" Jessie melanjutkan ucapannya dengan hati-hati.
Ashila terdiam sejenak, sebelum akhirnya menggelengkan kepalanya pelan.
"Aku tidak bertengkar dengannya ... dia sedang di Penthouse bersama istrinya. Jadi aku memutuskan untuk menginap dengan kalian." ungkap Ashila, yang memang Rivaldo sedang berada di sana menemani istrinya yang katanya sedang demam.
"Apa?! Bersama istrinya? Kurang ajar! Dasar lelaki sok tampan. Aish...! Ingin sekali aku mencakar wajahnya yang sok tampan itu!" geram Jessie sambil memperagakan gaya cakaran pada wajah Ashila.
Sedangkan Ashila hanya menggelengkan kepalanya dengan tingkah bar-bar teman sekaligus sahabatnya ini.
"Sudahlah, aku tidak apa-apa." ucap Ashila menenangkan, "tapi ngomong-ngomong... dimana Vita? Aku tidak melihatnya, apa dia sudah tidur?" lanjutnya bertanya.
"Oh? Vita? Dia makan malam bersama pria tampan tetangga sebelah." ungkap Jessie.
"Woah ... kau juga tidak makan malam bersama Bayu?" tanya Ashila, pasalnya Jessie ini sudah mempunyai kekasih yang umurnya lebih muda darinya.
Jessie menggelengkan kepalanya, "Tidak, dia sedang pulang kampung untuk liburan kuliah, aku tidak bisa menghalanginya." jawabnya dengan lesu.
"Tidak apa-apa, pasti nanti dia akan mengajakmu untuk berlibur juga ... ya sudah, kalau begitu aku akan tidur lebih dulu." ucap Ashila dan berdiri untuk masuk ke dalam kamarnya.
"Hemm ... selamat tidur. Tidak usah memikirkan apapun, Ashila ...!" Jessie sedikit berteriak, wanita asal Manado itu mencoba untuk menyemangati sahabatnya.
"Ya. Terimakasih, Jess. Selamat Malam." jawab Ashila dengan senyum manisnya, dan kemudian bergegas memasuki kamarnya.
Di dalam kamarnya, Ashila merebahkan tubuh lelahnya ke kasur yang tidak sebesar dari apartemennya yang baru. Namun cukuplah untuk merilekskan tubuhnya yang lelah.
Entah mengapa akhir-akhir ini sangatlah lelah baginya. Pekerjaannya yang memang begitu menumpuk, rivisi berkas-berkas yang akan datang, persiapan meeting lusa, dan juga masalah hati. Ah, ngomong-ngomong masalah hati. Ashila tidak tau apa yang ia rasakan saat ini.
Kadang Ashila merasa kesal saat Rivaldo berlaku seenaknya, kadang dirinya tidak suka jika Rivaldo berbohong kepadanya, kadang juga Ashila merasa iri dengan istri pertamanya, Luna. Rivaldo begitu sangat perhatian kepada Luna, sedangkan dirinya? Bukankah Ashila hanya sebatas seorang istri rahasia saja? Tapi apakah dirinya tidak berhak mendapatkan kebahagiaan? Walaupun sesaat?
Saat di tanam tadi sore bersama Johnny, Ashila ingat handphone miliknya berbunyi karena panggilan dari lelaki Pratama di sana.
Dengan perlahan, Ashila merogoh benda pipihnya di dalam tasnya, dan menyalakannya kembali. Rupanya sudah hampir dua jam wanita kelahiran September itu tidak membuka handphonenya, dan begitu ponselnya sudah menyala. Begitu banyak notifikasi dari pesan singkat dan juga panggilan yang tidak terangkat, namun yang paling banyak notifikasi dan panggilan itu rupanya dari lelaki Januar. Lelaki tampan itu banyak sekali mengirim pesan, seperti; menanyakan apakah dirinya sudah pulang? Lalu lelaki tampan itu memgirimkan pesan kembali bahwa dirinya tidak bisa pulang ke apartemennya, dan meminta maaf karena pulang tiba-tiba, juga lelaki tampan itu meminta maaf karena tidak bisa mengajaknya untuk membeli makanan manis bersama. Begitu banyak pesan singkat yang dari lelaki kelahiran April tersebut.
Sedangkan Aahila yang tengah membacanya hanya bisa menatap nanar benda pipihnya, tidak ingin berlama-lama memandangi benda pipih itu dan ingin mematikannya kembali. Namun panggilan telepon ia dapatkan dari lelaki tampan yang ingin ia hindari saat ini.
Dengan enggan, Ashila menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan teleponnya.
"Astaga! Ashila ... syukurlah, akhirnya kau bisa aku hubungi." ucap Rivaldo ketika sambungannya berhasil terangkat.
"Ada apa?" tanya Ashila sambil memperbaiki posisi tidurnya.
"Apa kau sudah pulang, Ashila? Maafkan aku pulang lebih dulu." tanya Rivaldo dengan rasa khawatir di seberang sana.
"Ya ... Aku sudah pulang." jawabnya sambil menutup matanya, dirinya memang sudah pulang. Namun bukan pulang ke apartemennya yang baru, melainkan apartemen lamanya.
Terdengar helaan nafas dari lelaki Januar di seberang sana, "Syukurlah ... oh, ya? Apa kau sudah makan malam? Mau aku pesankan lewat aplikasi?"
"Tidak usah, Rivaldo. Aku sudah makan." kilahnya berbohong, karena demi apapun. Ashila sangat tidak berselera untuk makanan malam saat ini, hanya makan ice cream serta membeli roti di kedai pinggir jalan saja sudah membuat perutnya kenyang.
"Baiklah kalau begitu ..." ucap Rivaldo dalam keheningan di seberang sana.
"Ashila ..." lanjutnya kemudian, yang hanya dijawab deheman oleh Ashila.
"Ashila, aku minta maaf atas kejadian tadi sore di kantor yang meninggalkanmu begitu saja ... Luna tiba-tiba demam tinggi, aku takut terjadi apa-apa dengannya." ujar Rivaldo dengan hati-hati, tidak ingin membuat istri kecilnya ini salah faham.
"Hanya demam tinggi, 'kan? Lantas ... kau memilih pulang ke sana? Kalau aku yang demam tinggi, apa kau juga akan pulang sekarang?" entah keberanian dari mana, tiba-tiba saja kata-kata itu terucap oleh Ashila.
Di seberang sana, Rivaldo tertegun dengan ucapan yang Ashilaa layangkan untuknya, dengan intonasi yang kurang bersahabat.