Sebuah rumah sederhana nan asri, rumah yang bangunan utamanya terbuat dari kayu itu, adalah tempat tinggal Ara bersama Kakek Salih dan Nenek Inah. Rumah itu juga adalah rumah dimana Bu Lidia di lahirkan dan di besarkan. Sejak Ara bisa bekerja, Ara sedikit demi sedikit mengumpulan uang untuk merenovasi rumah itu. Supaya kakek dan neneknya senang melihat rumah itu semakin bagus. Karena rumah itu pun hampir roboh karena kayu yang sudah keropos termakan usia. Untuk itulah sangat sulit bagi Ara untuk melepas kebiasaan balapannya yang menghasilkan uang yang lumayan, sekalipun nyawa taruhannya. Ara ingin kakek dan neneknya menghabiskan masa tua mereka dengan nyaman. Meskipun hanya itu yang bisa Ara lakukan untuk membahagiakan kakek dan neneknya.
Ara di kamarnya sedang bersiap untuk pergi balap motor. Celana jeans, kaos putih yang ia padukan dengan kemeja flanel dan sneaker warna hitam, menjadi gaya penampilannya sehari-hari.
''Jon, elo dimana?'' tanya Ara melalui sambungan telepon.
''Gue udah jalan. Gue tunggu di gang depan. Elo buruan keluar ya.''
''Iya-iya. Ya udah tungguin.'' Kata Ara mematikan sambungan teleponnya. Tepat jam 8 malam, Ara sudah siap untuk pergi. Ia mengunci pintu kamarnya dan menyalakan radio jadul yang memutar siaran musik. Ya, tanda Ara telah tertidur adalah mengunci pintu kamar dan menyalakan radio. Sehingga kakek dan neneknya tidak akan pernah menganggu Ara, apalagi Ara dari pagi selalu bekerja keras untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup. Ara perlahan membuka jendela kamarnya. Ia mengendap supaya kakek dan neneknya tidak tahu. Setelah semua aman, Ara segera mengambil langkah seribu menemui Joni.
''Nek, Ara sudah tidur?'' tanya kakek Salih pada nenek Inah. Kakek Salih dan Nenek Inah tengah bersantai di teras depan. Ditemani dua cangkir teh dan singkong goreng.
''Sudah, Kek. Radio sudah menyala dan pintu sudah di kunci. Tadi sudah pamit katanya mau tidur lebih awal. Capek katanya.''
''Kasihan Ara. Papanya bahkan sama sekali tidak mencarinya. Ya Allah, dimana hati nurani Surya?'' kata Kakek Salih yang merasa perih dengan kehidupan cucunya itu.
''Aku selalu memikirkan kebahagiaan Ara. Sampai kapan dia hidup seperti ini? Bahkan berkali-kali dia bilang tidak mau menikah dan ingin melajang seumur hidup. Dia benar-benar tumbuh seperti seorang laki-laki, apalagi sejak kecil bergaulnya dengan Joni dan Jeki.'' Kata Nenek Inah sembari menghela nafas panjang.
''Kita doakan saja, semoga ada pria yang mampu mengetuk hati Ara. Aku sangat ingin melihat dia bahagia di tangan pria yang tepat.'' Sambung Kakek Salih.
''Aku selalu mendoakannya, Kek. Usia 23 tahun masa sekalipun tidak pernah punya pacar. Apa jangan-jangan cucu kita nggak suka cowok ya?'' kata nenek Inah.
''Husss! Kamu ini bicara apa. Dia pasti trauma, Inah.''
''Habisnya aku putus asa, Kek.''
''Inah, doakan saja cucu kita. Aku yakin saat dia sudah menemukan orang yang tepat, pasti dia juga akan menikah. Lagian juga masih 23 tahun.'' Kata Kakek Salih.
''Semoga saja ya, Kek.'' Jawab Nenek Inah pasrah.
****************
Ara bersama Joni sudah sampai di tempat balap motor. Jalanan yang sepi menjadi arena sirkuit untuk para pembalap liar mengadu kecepatan.
''Akhirnya datang juga elo, Ra.'' Kata Jeki sambil adu tos dengan Ara dan Joni.
''Jangan lupa ya bonusnya kalau menang. Lagi butuh tambahan buat biaya nikah nih.'' Kata Jeki dengan entengnya.
''Elo tahu lah siapa gue. Itu ada si bos Joni, ngutang aja sama dia.'' Kata Ara mengarahkan pandangannya pada Joni.
''Elo serius mau nikah dama si Dewi?'' tanya Joni yang seolah tak percaya.
''Iya lah. Makanya lagi semangat kerja. Gue ikut kerja sama elo ya, ngurus sawah sama perkebunan bokap elo. Mau ngojek juga orderan lagi sepi.''
''Iya boleh deh. Besok datang aja ke rumah. Kebetulan Ayah juga lagi butuh tenaga tambahan.''
''Thanks ya bro.'' Kata Jeki sambil merangkul lengan Joni. Selain Lurah, orang tua Joni bekerja sebagai petani. Ada sawah, kebun sayur, kebun buah seperti belimbing, pisang dan melon. Tentu saja perkebunan itu cukup jauh dari rumah Joni karena rumah mereka bertiga termasuk di kawasan pinggiran kota. Harus menempuh jarak tiga puluh menit untuk sampai di area perkebunan milik Joni. Begitu juga sawah yang tinggal sepetak milik kakek Ara, butuh waktu sepuluh menit jika naik sepeda ontel. Malam semakin larut dan arena balap semakin ramai. Giliran Ara yang bertanding melawan musuhnya. Ara adalah lawan yang paling di takuti di antara semuanya. Namanya sangat terkenal di arena balap namun ia tidak pernah sekalipun bersikap sombong. Dan ia satu-satunya pembalap wanita disana. Ara tampak gagah di atas motor trail, perlengkapan mengendara pun tak pernah Ara sepelekan. Karena bagi Ara keselamatan adalah prioritas. Setelah seorang gadis mengangkat dua helai kain berwarna senada itu, motor pun melaju. Sorak sorai malam itu membuat jalanan menjadi ramai. Joni dan Jeki kompak memberikan semangat pada Ara. Teriakan histeris para penggemar Ara, begitu memekik. Meskipun Ara sering beradu di sirkuit jalanan liar, tak bisa di pungkiri Joni dan Jeki selalu was-was dengan keselamatan Ara. Ara sendiri bia menaiki berbagai jenis motor, balapan yang ia ikuti lebih sering menggunakan motor trail. Tak jarang juga menggunakan motor matic.
Sementara itu, Kaisar telah tiba di rumah Papanya. Tuan Kusuma menyambut putranya dengan pelukan.
''Oh putraku. Aku sangat merindukanmu. Bagaimana kabarmu?''
''Seperti yang Papa lihat. Bagaimana kabar Papa? Aku dengar Papa sakit.''
''Biasalah kolestrol lagi naik. Kamu sendirian kan?''
''Iya. Memangnya kenapa?''
''Tidak apa-apa. Aku pikir Mama mu yang cerewet itu ikut.''
''Aku bahkan belum menjenguk Mama.''
''Tidak usah menjenguknya. Dia terlalu berisik.'' Tuan Kusuma lalu mengajak Kaisar menuju ruang makan. Telah terhidang berbagai jenis masakan di atas meja. Mulai western hingga Indonesian food.
''Untuk apa makanan sebanyak ini, Pah?''
''Untuk dimakan lah. Papa sengaja menyiapkan semua ini untuk kamu. Kamu tinggal pilih mana yang kamu suka.'' Kata Tuan Kusuma sembari menuangkan nasi ke atas piring Kaisar.
''Pah, aku bisa melakukannya sendiri. Aku bukan anak kecil. Lebih baik Papa makan saja,'' ketus Kaisar
''Iya, baiklah,'' ucap Tuan Kusuma mengalah.
''Kai, kamu jahat sekali kenapa tidak mengunjungi Mama,'' protes Nyonya Mirna tiba-tiba saja datang. Ya, Nyonya Mirna mengetahui kedatangan Kaisar di rumah Tuan Kusuma dari Hans. Dan acara makan malam di rumah Tuan Kusuma itu, membuat Nyonya Mirna kesal setengah mati. Dan itu membuat Nyonya Mirna memutuskan menyusul Kaisar ke rumah mantan suaminya itu.
''Ngapain kamu kesini? Aku tidak mengundangmu. Masuk ke rumah orang tanpa mengetuk pintu.'' Ketus Tuan Kusuma pada Nyonya Mirna yang di anggapnya tidak sopan dan menganggu.
''Aku ingin menemui putraku,'' ketus Nyonya Mirna. Kaisar lalu berdiri dan memeluk Mamanya.
''Maaf ya, Mah. Tadi begitu sampai aku langsung istirahat. Aku berencana mengunjungi Mama besok.''
''Mama sangat merindukanmu, Kai. Kenapa kamu menomorduakan Mama yang melahirkan kamu?'' kata Bu Mirna sembari mengusap punggung putranya.
''Kamu semakin tinggi dan semakin tampan saja.'' Sambungnya sembari melepas pelukannya.
''Kemana saja kamu selama ini? Untuk apa kamu merindukan Kai. Sedangkan kamu begitu sibuk mengurus bisnis fashionmu itu.'' Sahut Tuan Kusuma.
''Kusuma, kamu selalu menyalahkan aku. Kamu juga mana peduli dengan Kai. Memangnya kamu tidak sibuk apa? udah jarang pulang lagi. Mana pernah kamu peduli sama Kai.''
''Aku kan seorang Ayah, kepala keluarga. Wajarlah aku kerja. Kamu ibu rumah tangga tidak becus mengurus anak. Sibuk dengan dunia mu.'' Imbuh Tuan Kusuma dengan suara meninggi.
''Karir itu juga buat bantu perekoniman kita. Apa salahnya ada peluang dan sekarang kamu lihat kan? Aku bisa berdiri tanpa kamu.''
''Jangan sombong kamu, Mirna. Roda itu berputar.''
''Siapa yang sombong, Kusuma. Kamu saja suami yang tidak pernah menghargai kelebihan istri dan mendukungnya. Tidak mau dikalahkan dan takut bersaing,'' imbuh Nyonya Mirna tak kalah ketus.
''STOP!" bentak Kaisar, memekik. Seketika Nyonya Mirna dan Tuan Kusuma diam membisu.
''Selalu saja seperti ini! Bahkan setelah bercerai sekalipun! Lebih baik, aku pergi!" ucap Kaisar dengan suara meninggi. Kaisar kemudian pergi meninggalkan rumah Papanya. Kaisar sangat kesal melihat pertengakaran yang tiada habisnya itu.
''Gara-gara kamu datang, semuanya kacau.'' Kata Tuan Kusuma dengan suara memelan.
''Kamu juga yang mulai. Aku juga pergi, tidak ada gunanya disini. Dasar egois!" ketus Nyonya Mirna sembari berlalu.
''Kamu lebih egois!" balas Pak Kusuma dengan suara meninggi.
Bersambung.....