''Pagi, nek!" sapa Ara sambil memeluk neneknya yang sibuk membuat adonan kue.
''Pagi cucuku yang cantik! Mandi sana, bau!" kata Nek Inah.
''Hehehe nanti ya, nek. Kakek mana?''
''Sudah berangkat jam 6 pagi tadi ke sawah. Kamu sarapan aja dulu. Nenek udah masakin orek tempe.''
''Maaf ya, nek. Aku kesiangan, sampai tidak membantu Nenek masak.''
''Tidak apa-apa, Ara. Nenek tahu kamu pasti sangat capek kan?''
''Nenek paling pengertian. Oh ya ini nek, aku habis dapat rezeki.'' Kata Ara sambil mengeluarkan 10 lembar uang seratus ribuan untuk neneknya.
''Ya Allah, ini banyak sekali. Kamu dapat darimana, Ara? Kamu tidak mencuri kan?''
''Ya tidak lah, nek. Sudah, nenek pakai saja untuk modal kue ya sama untuk belanja sehari-hari. Ya, walaupun uang segitu tidak cukup untuk sebulan.''
''Nenek justru terima kasih, Ara. Kamu sudah bekerja keras. Nenek sama kakek cuma ingin melihat kamu bahagia.''
''Aku sudah bahagia, Nek. Apalagi yang ingin aku cari?''
''Menikah, Ara!" tegas Nenek. Mata Ara seketika melotot mendengar ucapan neneknya.
''Aku malas kalau bahas itu. Ara mandi dulu ya, muah!" ucap Ara berlalu seraya mengecup pipi neneknya yang mulai keriput itu.
''Hmmmm sampai kapan kamu akan seperti ini, Ara? Bagaimana kalau usia kakek dan nenek tidak panjang lagi,'' gumam Nek Inah dalam hati.
Setelah mandi, Ara segera sarapan dengan tempe orek masakan neneknya.
''Nek, ovennya sudah jelek begitu. Tidak ingin ganti?'' tanya Ara.
''Ganti gimana? Mending uangnya buat makan, Ra.''
''Tapi kue bikinan nenek enak lho. Banyak banget yang suka.''
''Nenek bisanya cuma buat segini aja, Ra. Jadi ini sudah laku saja, nenek sudah senang. Ini juga buat tambahan hidup kita.''
''Tenang, nek. Pasti habis ini nenek bakal kebanjiran job. Ara udah posting di media sosial. Nanti Ara bantuin deh. Nih lihat Ara upload di aplikasi technogram, disini kita bisa jualan online. Nenek tahu aplikasi ini masuk peringkat satu di dunia dengan pengunduh terbanyak.'' Kata Ara dengan antusias.
''Aduh nenek mana paham seperti itu, Ra. Terserah kamu saja mau bagaimana.''
''Nek, enaknya kita kasih nama apa ya kue nenek ini?''
''Nama? Nenek tidak punya ide.''
''Nek, kita harus punya brand. Supaya produk kita di kenal. Jaman sekarang harus seperti ini Nek.''
''Lagi pula nenek jualannya cuma kue basah saja, nak. Biasa saja lah, nak.''
''Hhhhhh,'' Ara menghela nafas panjang.
''Nenek kan sudah tua, tenaga nenek tinggal sedikit. Ini hanya hobi saja.''
''Biar Ara yang meneruskannya, nek. Kita titipin aja ke warung-warung, sama kita jualan online. Sudah, serahin saja sama Ara.''
''Pekerjaan kamu banyak lho, Ra. Apa kamu bisa mengatasinya?''
''Hhhhh iya juga ya, nek."
"Kamu mana bisa kerja dengan diam di tempat saja.''
''Ahhh sudahlah nek, di pikir nanti saja. Sekarang aku bantu jualan nenek dulu ya.'' Kata Ara yang buru-buru menyelesaikan sarapannya.
''Oh ya, nanti Ara sekalian ngojek ya.''
''Iya, nak. Ini kamu setorin ke warungnya Bu Sari, Bu Denok sama Bu Rasmi ya. Masing-masing dua puluh biji ya. Sekalian kamu cek di warungnya Bu Santi, Bu Dina dan Bu Supri ya, sudah habis apa belum.''
''Siap nek! Ara berangkat ya. Assalamualaikum.'' Pamit Ara seraya mengecup punggung tangan Neneknya.
''Waalaikumsalam. Hati-hati, nak.''
''Iya, nek. Tenang saja.''
****************
Jam sudah menunjukkan pukul 7.30. Kaisar baru saja bangun, kepalanya terasa sangat berat sekali. Ia meraih ponsel yang ada di samping nakas tempat tidurnya.
''Masih satu jam lagi ke kantor,'' gumamnya dengan suara malas. Tiba-tiba saja, Kaisar mencium aroma mentega yang wangi.
''Siapa yang masak? Apa jangan-jangan Mama?'' gumam Kaisar. Kaisar segera beranjak dari tidurnya dan turun ke bawah.
''Ngapain sih, Mah? Kesini segala?'' ucap Kaisar yang menganggap bahwa itu adalah mamanya.
''Hehehe, pagi bos! Ini saya, Hans.'' Kata Hans sambil tersenyum kuda.
''Ngapain disini? Pagi-pagi pula?'' ketus Kai.
''Semalam bos mabuk. Bos kecelakaan nabrak orang, terus saya juga ngantuk jadi tidur di sofa ruang tengah sana. Gimana bos? Ingat?''
Mendengar ucapan Hans, Kaisar berusaha mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Yang ia ingat hanya wajah gadis yang jauh dari kesan anggun.
''Ah iya, aku ingat. Apa mereka menuntut?''
''Tidak ada tuntutan hari ini. Saya yang selalu di tuntut.''
''Siapa yang menuntutmu?''
''Siapa lagi kalau bukan Tuan Kusuma dan Nyonya Mirna. Mereka menuntut saya untuk mencarikan bos wanita!" kata Hans sembari menata sandwich di atas meja.
''Biarkan saja mereka mengoceh. Aku tidak mau pusing memikirkan pernikahan. Buat apa menikah kalau ujung-ujungnya seperti mereka.'' Kata Kaisar dengan entengnya sembari melahap sandwich buatan Hans.
''Mmmm bos normal kan?'' tanya Hans dengan hati-hati.
''Menurutmu aku apa? Gay?'' ucap Kaisae dengan suara meninggi dan mata melotot. Seketika membuat Hans terdiam tak berkutik. Kaisar melanjutkan sarapannya kemudian segera pergi mandi dan bersiap ke kantor.
****************
Setelah mengantarkan kue, Ara menuju ke sebuah toko oven untuk membelikan neneknya oven. Ara menghela nafas panjang, saat uangnya hanya cukup untuk membelikan oven manual karena yang listrik sangat mahal. Setelah mendapatkannya, Ara menuju toko sepeda untuk membeli rantai dan juga ban sepeda untuk kakeknya. Setelah semua terbeli, Ara memutuskan untuk pulang. Kini motor maticnya benar-benar full dengan barang belanjaannya.
''Gimana mau ngojek? Pulang dulu saja. Mau di taruh mana penumpang. Lagian juga pangkalan sepi.'' Gumam Ara. Ara bergegas pulang untuk memberi kejutan pada neneknya. Ya, Ara memang lebih senang mengojek sendiri tanpa ikut aplikasi karena pekerjaannya sendiri adalah serabutan. Jadi Ara tidak bisa terpatok hanya satu pekerjaan saja.
''Nenek!" seru Ara sembari menurunkan oven dari motornya. Nek Inah yang mendengar suara Ara dari luar, buru-buru melangkahkan kakinya keluar.
''Ada apa Ara?''
''Nek, lihat nih! Aku belikan nenek oven.'' Ucap Ara sembari mengangkat oven itu menuju dapur.
''Anak ini ada-ada saja yang dibeli,'' gumam Nek Inah.
''Ini Ara beli ban sepeda dan rantai sepeda buat kakek.'' Kata Ara selepas dari dapur. Tak lama kemudian terlihat Kakek Salih yang membawa cangkul selepas dari sawah.
''Hai, Kek! Nih Ara bawain ban sepeda dan rantainya. Habis ini kita bawa sepeda kakek ke bengkelnya Bang Ujang.''
''Ara, kamu tidak perlu repot-repot. Lebih baik kakek jalan kaki saja. Lebih sehat.''
''Sudah, kakek menurut saja. Ayo, kita bawa sepeda kakek ke bengkel Bang Ujang. Eh, Ara telepon si Joni dulu. Biar di angkutin sama Joni.''
''Tapi Ara.....,''
''Sudah, kakek istirahat saja di dalam. Biar Ara yang mengurus semuanya.'' Kakek Salih dan Nek Inah saling melempar pandangan. Mata mereka berkaca-kaca, setiap kali melihat Ara. Hati mereka sangat sakit melihat Ara yang tumbuh seperti ini. Tumbuh tanpa kasih sayang orang tuanya. Sungguh kejam sekali papa Ara. Itulah yang ada di benak Kakek Salih dan Nenek Inah. Ara bahkan enggan bertemu dengan Papanya. Ara menganggap papanya sudah meninggal bahkan ia menghapus memori papanya dalam ingatannya.
Bersambung....