Sidney, Amerika Serikat
Setelah bertahun-tahun lamanya inilah kali pertama seorang Carrina Arabelle, menginjakkan kaki di Sidney, Amerika Serikat. Kedatangannya ke Negara ini demi memberi kejutan kekasih tercinta, Andrew Hutson.
Sebelum menuju hotel, ia putuskan ke rumah sakit tempat sang kekasih praktik. Ia pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling kemudian menangkap sebuah taksi. "Bisa antarkan saya ke alamat ini?" Menyerahkan sebuah kertas bertuliskan El-Flich Hospital.
"Okay, silahkan masuk, Nona." Membukakan pintu penumpang, setelah itu menaruh koper besar di bagasi.
Seolah enggan meninggalkan pemiliknya seulas senyum terparkir apik menghiasi bibir ranum. "Tambah kecepatan." Perintahnya pada supir taksi.
"Baik, Nona."
Saat ini mobil taksi yang membawanya pergi melaju dengan kecepatan tinggi membelah pusat Kota Sidney. Ina membuang wajahnya ke jendela memanjakan mata dengan pemandangan disepanjang jalan. "Setelah 5 tahun berlalu. Akhirnya aku bisa memanjakan mata dengan kota mu yang sangat indah ini, Sidney." Gumamnya berbalut binar-binar bahagia.
Rasa tak sabar yang kian membumbung tinggi secara tiba-tiba menjadi debaran kuat tatkala memasuki lobby rumah sakit. Sang supir turun mobil kemudian menuju bagasi. Dia turunkan sebuah koper besar, setelah itu menuju pintu penumpang kemudian membukanya. "Silahkan turun, Nona."
Ina menyerahkan beberapa lembar dollar ke tangan lelaki itu. "Terima kasih." Yang dijawab dengan senyum tipis.
Kedatangannya ke El-Flich Hospital menuai cibiran dari banyak pasang mata. Bayangkan saja, seorang Ina datang ke rumah sakit dengan menenteng koper besar. Oh my god, ini gila!
Malapetaka terjadi!
Sang security menghampiri, mengajukan banyak sekali pertanyaan. Dengan tergagap Ina menjelaskan bahwa kedatangannya ke rumah sakit ini untuk bertemu dengan, Andrew Hutson, seorang dokter muda yang sedang praktik di rumah sakit ini.
"Setahu saya, dr. Andrew sudah tidak praktik, di sini."
Ina terbelalak. "Tidak praktik, di sini?"
Sang security mengangguk.
'Itu tidak mungkin. Andrew, tidak mengatakan apa-apa mengenai kepindahannya. Tapi … itu sudah 1 tahun yang lalu. Setelah itu aku dan dia tidak lagi komunikasi karena kesibukan masing-masing.' Gumamnya berbalut raut kecewa.
"Bisakah Anda memberitahu saya di Rumah Sakit mana dr. Andrew parktik saat ini?"
"Akan lebih baik Anda hubungi saja ponsel, dr. Andrew. Anda bisa menanyakannya secara langsung kepada yang bersangkutan."
Ina tersenyum tipis. "Terima kasih."
'Tuhan, cobaan apalagi ini?' Gerutunya ketika ponsel Andrew sudah tidak aktif.
Disaat sedang tenggelam ke dalam frustasi. Di saat itulah ponselnya berdering menampilkan nama Maria, sahabatnya sewaktu menempuh pendidikan di Jerman.
"Hai, Ina. Ku dengar bahwa sekarang ini kau sedang berada di Sidney. Apakah itu benar?"
Ina tersenyum.
"Ina, suaraku terdengar olehmu kan?"
Ina terlonjak kaget. Ia benar-benar tidak sadar bahwa saat ini sedang berbincang melalui sambungan telepon. "Ehm, sepertinya sinyalnya buruk, Maria. Suaramu terputus." Bohongnya.
"Memangnya kau lagi di mana? Suaramu kecil sekali."
"Di El-Flich Hospital."
Maria terkesiap. "Apakah kau sedang sakit?"
"Tidak."
"Terus apa yang kau lakukan di Rumah Sakit itu? Apakah kau sedang menjenguk seseorang?"
"Ada apa menghubungiku, Maria?"
Maria melipat bibirnya. "Ehm, aku berencana mengajakmu ke acara pernikahan, Chelsea. Bisakah kau menemaniku?"
"Sorry, Maria. Aku tidak bisa." Aku harus mencari, Andrew. Lanjutnya dalam hati.
"Oh, ayolah. Aku malas datang tapi saudara laki-lakiku yang super menyebalkan itu memaksaku untuk datang."
"Kenapa tidak dia sendiri yang datang?"
"Dia sedang ada praktik malam ini. Jadi kuputuskan untuk mengajakmu saja. Kebetulan kau ada di Negara ini. Jadi tidak ada salahnya menemaniku kan. Masalah gaun pesta, aku yang akan membawakannya untukmu. Kirimkan saja alamat hotelmu atau kujemput sekarang dan kau tinggal di apartement ku, bagaimana?"
Ina mendengus kesal. Ia sangat yakin bahwa sahabatnya itu sedang mengangkat alis. 'Dasar menyebalkan, huft.'
"Ina, ayolah."
"Tidak, terima kasih. Alamat hotel akan segera kukirimkan."
"Terima kasih, muaachh."
--
Malam ini Carrina terlihat sangat cantik dalam balutan dress tosca yang panjangnya mencapai mata kaki. Dress tanpa lengan dengan potongan leher sedikit rendah dan bagian punggung terbuka membuatnya terlihat seksi. Rambutnya yang panjang digelung ke atas membuatnya seperti wanita-wanita berkelas yang dikencani oleh para CEO.
Maria menatapnya tak percaya. "Wow, inikah kau, Ina?" Menelisik penampilannya dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. "Perfect."
"Siap berangkat?" Meraih tas kesayangan namun, langsung direbut oleh Maria. Ina memelototinya. "Why?"
"Kita akan pergi ke pesta. Tas mu ini tidak cocok." Membuangnya ke atas ranjang. "Dan yang cocok untukmu, ini." Menyerahkan tas senada dengan gaun Ina malam ini. "Yes, perfect." Kemudian membisikkan sesuatu ke telinga Ina. "Haruskah kita berangkat? Sepertinya aku berubah pikiran."
Mata Ina menyipit. "Maksudmu? Kau sengaja mengerjaiku, Maria."
"Ah, tidak. Hanya saja aku malas berangkat denganmu. Lihatlah, aku kalah cantik." Mengerucutkan bibirnya hingga maju beberapa senti ke depan.
Ina terkekeh kecil kemudian mendorong bahu Maria hingga melewati pintu.
Saat ini mobil yang membawa kedua gadis cantik tersebut telah berhenti disebuah gedung yang sangat megah nan mewah. Dalam hati berbisik lembut. Pantaskah aku berada, di sini, di antara para …
"Melamun, huh?" Menyentuh bahu Ina. Ina tersenyum. "Tidak."
"Buang rasa tidak percaya dirimu itu, girl. Kau cantik." Bisiknya tepat ditelinga Ina yang diakhiri dengan kerlingan. "C-mon."
Sesuai dengan yang Ina perkirakan. Semua yang datang adalah orang-orang kaya dengan pakaian bermerk dan pastinya mahal. Sementara seorang Carrina Arabelle, tiada artinya. Ia bagai seekor Cicak ditempat ini. Tak berarti, bahkan dilirik pun tidak.
Ingin rasanya meninggalkan tempat tersebut, akan tetapi Maria masih menemui si pengantin. Sekali lagi mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Seketika itu juga punggungnya meremang merasakan sesuatu seolah-olah sang kekasih ada di tempat ini.
"Andrew," ucapnya ketika merasakan sentuhan lembut pada pundak sebelah kiri. Dengan segera memutar tubuh dan seseorang yang berdiri dihadapannya …
"Andrew, siapa?" Tanya Maria.
Carrina tersenyum tipis. "Aku tidak mengatakan itu." Kemudian mengibaskan tangan ke depan wajah. "Ah, mungkin kau salah dengar. Di tempat ini banyak sekali tamu. Bisa jadi suara salah satu dari mereka yang kau dengar."
"Hm, mungkin." Mengedikkan bahunya acuh tak acuh.
"Lebih baik kita pulang sekarang. Aku sangat lelah." Pinta Ina. Jujur, ia merasa gelisah. Bagaimana pun juga harus segera mencari Andrew. Ina tidak mau keberadaannya di Negara ini lebih lama lagi mengingat dollar di dalam dompetnya semakin menipis.
"Setelah ini acara lempar bunga. Please, tunggu sampai acara ini berakhir, okay. Aku ingin tahu siapa wanita beruntung itu."
Bibir Ina berkerut. "Haruskah kita mengikuti acara yang sama sekali tidak penting seperti itu?"
Mata Maria menahan mata Ina. "HARUS!"
"Oh, c-mon kita harus segera pergi dari sini. Kalau kau masih mau di sini, silahkan. Tetapi, aku harus kembali ke hotel."
"Ina, tunggu!" Sial, sahabatnya itu benar-benar pergi. Namun, Ina kembali tatkala siluet yang sudah tidak asing berkelebat. Sial, siluet itu tenggelam di antara para tamu undangan. "Aku sangat yakin bahwa yang kulihat barusan, Bianca. Tetapi, apa yang dia lakukan, di sini?"