Pemandangan di restaurant ini sangat bagus, view-nya sangat indah, karena menghadap langsung ke pantai. Namun, hal itu tidak menarik minat Carrina. Pikirannya masih dipenuhi dengan keberadaan sang kekasih, Andrew Hutson.
'Tuhan, di manakah keberadaan kekasihku saat ini? Please, beri aku petunjukmu.' Pintanya dengan mata memejam rapat.
"Kuperhatikan sedari tadi. Kau terus menerus melamun. Apakah ada yang mengganggu pikiranmu?" Maria bertanya. Namun, Carrina tidak mendengar.
"Hai, apa yang kau lamunkan, Ina?" Menyentuh pundak Ina, dan hal itu pun membuatnya terkesiap. Demi menutupi rasa tak nyaman, ia berdeham. "Pemandangan di sini sangat bagus. Terima kasih sudah mengajakku ke tempat ini."
"Ini menjadi tempat pavoritku. Kuharap kau juga menyukainya."
"Tentu saja."
Setelah menyantap makan siang, Maria harus ke bandara menjemput orang tuanya. "Oh iya, Ina. Bagaimana kalau malam ini aku mengundangmu makan malam di rumahku. Kebetulan Dad – Mom baru saja tiba di Kota ini. Kau mau kan?"
Ina tersenyum. "Bukan tawaran yang buruk, akan kupikirkan."
"Terima kasih. Sampai jumpa nanti malam, Ina." Yang dibalas dengan senyum tipis.
Setelah kepergian Maria. Ia langsung ke lantai bawah kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling menunggu taksi lewat dan ya, taksi itu ada diseberang jalan. "Mau diantarkan ke mana, Nona?"
"Rumah Sakit."
"Bisa sebutkan nama dan alamat Rumah Sakit-nya?"
"Antarkan saya ke Rumah Sakit yang ada di dekat sini."
"Baiklah, Nona."
Carrina gambaran wanita muda yang sedang dimabuk cinta. Ia seperti orang bodoh, berkeliling dari rumah sakit satu ke rumah sakit lainnya berharap bisa bertemu dengan sang kekasih, Andrew Hutson.
Lelah, itulah yang ia rasakan ketika sudah mengunjungi lebih dari 10 rumah sakit. Ina mulai frustasi, uang di dompet semakin menipis dan keberadaan Andrew belum juga ditemukan. "Tuhan, beri aku petunjukmu akan keberadaan kekasihku." Gumamnya seraya menghembuskan napas berat yang dibuang secara perlahan. Sekali lagi melirik uang di dalam dompet. Ingin rasanya berkeliling sekali lagi, akan tetapi …
Kini, tidak ada pilihan lain selain kembali ke hotel. Ina berjalan lesu dengan wajah ditekuk. Akibat melamun dan tidak memperhatikan jalanan, menabrak sesuatu yang sangat keras yang ia yakini sebagai dada bidang seseorang. "Ups, sorry."
"Anda tidak apa-apa, Nona?" Tanya lelaki berwajah tampan dengan senyum memikat. Ina pun dibuat meleleh karenanya.
"Nona, Anda tidak apa-apa?"
Ina mengangguk.
"Anda yakin?" Matanya menyipit.
Jujur, dia ini sangat tampan tapi Ina tidak suka laki-laki genit. "Anda lihat saya baik-baik saja kan? Itu artinya tidak ada yang perlu Anda khawatirkan. Saya permisi."
"Nona, tunggu!" Mencekal pergelangan tangan Ina kemudian berdiri dihadapannya. Lelaki itu langsung mengulurkan sebuah kartu nama. "Jika Anda kenapa-napa silahkan hubungi saya." Mengerling genit.
"Dasar aneh." Makinya kemudian membuang kartu nama itu ke tempat sampah. 'Buat apa juga memberiku kartu nama, tidak ada gunanya. Kecuali dia itu seorang dokter, jadi aku bisa bertanya tentang, Andrew.' Batinnya.
Malam ini Ina terlihat cantik dalam balutan dress selutut. Potongan leher sedikit rendah memberi kesan seksi dan rambut yang digelung ke atas memberi kesan menggoda pada setiap pasang mata seolah mengundangnya untuk menyusurinya dengan segera.
Ina semakin muak pada tatapan lapar para lelaki. Ia mempercepat langkahnya menuju lobby. Sang supir yang sudah menunggui kedatangannya langsung membukakan pintu untuknya. "Silahkan, Nona." Ina tersenyum. "Terima kasih."
Pemandangan malam Kota Sidney sangat indah. Ina sengaja membuang wajahnya ke jendela bermanjakan keindahan di sepanjang jalan. "Wow, romantis." Gumamnya. Uh, seandainya saja malam seindah ini bisa ia lewatkan bersama kekasih tercinta.
"Apakah masih jauh?" Tanyanya pada sang supir.
"Ini sudah sampai, Nona." Membukakan pintu untuknya.
Maria memberengut menyambut kehadiran Carrina. "Kau selalu saja lebih cantik dariku, menyebalkan." Ina terkekeh kecil. "Itu tidak benar. Kau lebih cantik." Dan lebih segalanya, Maria. Lanjutnya dalam hati.
Makan malam dilewatkan dengan penuh kehangatan, karena keluarga Maria terlihat senang dengan kehadirannya. Setelah menyantap makan malam, Maria mengajaknya ke kamar. "Oh iya, ceritakan padaku. Berapa lama kau akan tinggal di Negara ini?"
"Tidak lama, Maria. Aku akan segera kembali ke, Milan."
"Kenapa tidak menetap di sini saja? Lagipula apa yang akan kau lakukan di, Milan? Apakah kau sudah memiliki pekerjaan, di sana?"
Carrina menggeleng lemah.
Maria mendekatkan wajahnya. "Kalau begitu menetap saja, di sini. Dengan begitu kita bisa sering pergi ke mall, jalan-jalan."
"Aku harus memiliki pekerjaan untuk bertahan hidup di Negara ini, Maria."
"Ah, itu bukan masalah besar. Tinggal kau cari pekerjaan, masalah selesai. Iya, kan?" Mengangkat alisnya. Ian mendengus kesal. "Siapa yang mau memperkerjakanku. Aku ini hanya lulusan-"
"Hai, kau ini pintar, cerdas dan … cantik. Banyak perusahaan yang akan memperkerjakanmu."
Ina tersenyum lesu. "Aku tidak yakin itu."
Sekali lagi mencondongkan wajahnya ke depan. "Bagaimana kalau kau bekerja pada keluargaku saja?"
Carrina terkesiap. "Bekerja di rumahmu? Menjadi pembantumu?"
"Ngacau. Tentu saja tidak. Keluargaku memiliki sebuah Rumah Sakit. Meskipun tidak terlalu besar, aku yakin gajinya cukup untukmu bertahan hidup. Kalau kau mau, aku akan membicarakan hal ini dengan, Dom, bagaimana?"
Mata Carrina menyipit. "Dom?"
Maria melihat jarum jam yang menggantung di dinding. "Menginaplah di sini supaya besok pagi kalian bisa berkenalan." Menyentuhkan bahunya ke bahu Ina. "Dia sangat tampan dan masih single."
"Dia kakak-mu?" Tebak Ina.
"Yeah."
"Sorry, Maria. Aku harus kembali ke hotel. Jika kau ingin memperkenalkannya padaku, malam ini saja."
"Sabar, Nona. Dia baru sampai di rumah besok pagi."
"Baiklah, kalau begitu aku pulang."
"Aku akan mengantarkanmu. Tunggulah sebentar, aku perlu mengganti pakaianku."
Sembari menunggu Maria, tanpa sengaja menangkap sebuah foto yang sudah tidak asing. 'Bukankah foto itu, foto laki-laki aneh yang menabrakku tadi siang di Rumah Sakit?' Kemudian mendekati foto tersebut untuk memastikan bahwa tebakannya ini benar. Ina langsung menutup mulutnya. "Aku tidak salah. Laki-laki di dalam foto ini memang dia." Kemudian mengamati almamater yang Dom kenakan. Ina semakin terkesiap. "Ternyata dia seorang dokter. Oh My God, aku telah menyia-nyiakan kesempatan emas."
"Hai, itu foto, Dom. Kenapa kau memandanginya seperti itu? Kau menyukainya?" Tanya Maria sambil mengikat rambutnya ke atas.
Mengabaikan pertanyaan Maria, Ina terpaku pada seseorang yang berada di sebelah Domain. 'Ini kan, Andrew.' Kemudian menoleh pada Maria. "Kau mengenal lelaki ini?" Tunjuknya dengan jari telunjuk.
Maria mendekat. "Oh, itu, Andrew. Teman kuliah, Dom. Kami cukup dekat, dia sering main ke rumah ini bersama teman wanitanya. Dan kau harus tahu satu hal, Ina. Teman wanitanya itulah yang beruntung menangkap lemparan bunga di acara pernikahan, Chelsea." Ina mematung.