Dante mengambil pen di samping lembaran tersebut dan menandatanganinya dengan cepat di setiap lembaran dan tempat-tempat yang diinginkan oleh sang pengacara. Dalam hitungan detik, semua berkas yang perlu dibubuhi tanda tangannya terselesaikan dan ia melempar pen tersebut ke meja.
Sang pengacara sekali lagi memeriksa lembaran-lembarannya untuk memastikan sekali lagi sebelum kemudian mengangguk mantap. Pandangan Dante beralih ke arah wanita yang duduk anggun di seberang, dengan wajah memberengut menyimpan kedongkolan yang begitu dalam di antara kecantikannya yang begitu memesona
"Semudah itu kau menceraikanku, Dante?"
"Bukankah ini yang kau inginkan?"
"Kau tahu kenapa aku menginginkannya?" sinis wanita itu.
"Karena aku kurang memperhatikanmu? Kurang mencintaimu, begitu? Kau tahu aku tak menjanjikan hal semacam itu, Sheryl. Kita bersenang-senang, dan sekarang sudah tak menyenangkan lagi. Selesai."
Air mata merebak di kedua mata Sheryl. Oleh kekecewaan dan sakit hati. "Kau akan menyesalinya, Dante. Aku pastikan itu," sumpah serapah Sheryl sambil bangkit berdiri. Melangkah dengan suara stiletto yang bergema ke seluruh ruangan.
Sheryl menghilang dari ruangannya, tetapi suara dering ponsel di meja segera mengalihkan perhatian Dante. Pria itu tersentak kecil, mendengar kabar dari seberang. Benar-benar bocah itu, gerutunya.
"Ke kantor polisi sekarang," perintahnya pada salah satu pengawal yang berjaga di depan ruangannya.
***
Begitu masuk ke kantor polisi, dua petugas yang mengenali Dante, terkejut dengan kedatangan Dante Vacchi. Dengan seorang pengacara dan pengawal yang berdiri di sisi kanan dan kiri pria itu.
"Tuan Vacchi?" sapa salah satu petugas. "Apa yang membuat Anda datang kemari?"
Dante berhenti, matanya mencari ketika menemukan gadis muda yang duduk dan sedang diinterogasi oleh salah satu petugas kepolisian, tapi gadis itu dengan keras kepala tak mau mengatakan apa pun. Bahkan dengan sombongnya, gadis itu menyilangkan kaki dan sibuk memain-mainkan jemarinya yang dicat putih.
Gadis mudah itu menghentikan kesibukannya ketika menyadari tatapan menusuk Dante tersorot dari seberang hanya untuknya. Kedua telinga dan lubang hidung pria itu nyaris mengeluarkan asap melihat dirinya.
"Oh, apakah dia putri Anda?" tanya petugas pertama.
Dante menipiskan bibir dan menajamkan matanya. "Dia bukan anakku," desisnya.
"Dia ayahku," aku Gia menyela. Tahu pengakuannya akan membuat Dante semakin kesal padanya.
Dante mendelik.
"Ayahku baru saja bercerai dengan ibuku, dan wajahku sangat mirip dengannya. Itulah sebabnya dia tidak ingin mengakuiku sebagai anaknya."
Ketiga polisi itu hanya melongo, menatap Dante dan Gia bergantian. Akan hubungan keluarga yang begitu rumit.
"Namanya Gia Matteo, dia anaknya Morgan," geram Dante.
Ketiga polisi itu pun segera tersadar dan mengangguk-angguk paham.
"Ya, kau yang menyuruhnya mengadopsiku, kan?"
Dante tak membalas, dan hanya mendesah pendek. Kemudian beralih pada petugas yang sedang menginterogasi Gia, yang Dante akui kesabarannya menghadapi si pembuat masalah. "Jadi, bisa kau jelaskan apa yang membuatnya ada di sini?"
"Putri Anda …" Polisi itu segera berhenti ketika mendapatkan delikan Dante. "Maksud saya, keponakan Anda …"
"Katakan saja bocah itu," sergah Dante yang tak sabaran.
"B-bocah itu, tertangkap petugas butik sedang mencuri perhiasan. Dan pemilik toko yang membawanya kemari."
"Aku sudah mengatakan bukan aku yang mencurinya," protes Gia.
"CCTV?"
Polisi itu mengangguk.
Dante menghela napas. Mengisyaratkan pada pengacaranya untuk mengurusnya.
"Ya, memang aku yang mengambilnya. Tapi aku tidak tahu kalau Jason akan memasukkannya ke dalam tasku. Kami hanya bercanda."
Kening Dante berkerut, sebelum kemudian tatapannya menjadi lebih tajam. "Siapa Jason?"
"Kekasihku."
"Kau punya kekasih?"
"Ya, kenapa?"
"Siapa yang mengijinkanmu berkencan?"
"Aku sendiri. Apa aku perlu mendapatkan ijin dari orang lain untuk mengencani seorang pria? Usiaku 19 tahun."
"19 tahun dan terlalu tolol untuk ditipu orang," sengit Dante.
***
Setelah berhasil menyelesaikan permasalahan tersebut dengan cara kekeluargaan, pemilik toko akhirnya menarik gugatannya. Dante menyeret tangan Gia keluar dari kantor polisi dan mendorong gadis itu masuk ke dalam mobil.
"Jadi kau sudah bercerai dengan istrimu?" tanya Gia begitu Dante duduk di jok belakang di sampingnya.
Dante hanya melirik gadis itu, kemudian berkata pada pengawalnya. "Cari tahu pria bernama Jason."
Gia membelalak. "Kenapa? Untuk apa kau mencari tahunya?"
Dante hanya membalas dengan seringaian.
"Kami hanya bercanda, Dante. Kami bersenang-senang."
"Bercandamu tidak lucu, Gia. Bagaimana jika ada wartawan yang mengetahui hal ini? Jangan mempermalukan perusahaanku dengan candaanmu yang sama sekali tidak lucu."
"Kau sudah mempermalukan dirimu sendiri dengan perceraianmu. Tidak ada hubungannya denganku. Sejak awal aku sudah mengatakan padamu dia bukan istri yang baik."
Dante menghela napas, menghitung kesabarannya yang semakin menipis. "Rumah tanggaku sama sekali bukan urusanmu, Gia."
"Jason juga bukan urusanmu," balas Gia lebih tinggi. "Jika kau menyentuhnya, aku akan melompat sekarang juga."
Dalam isyarat mata, sopir langsung mengunci semua pintu mobil yang membuat Gia menjerit kesal.
"Baiklah, aku tak akan menyentuhnya. Tapi mulai besok kau yang harus menjauhi dia."
"Kenapa?"
"Tak ada alasan. Aku tak menyukainya."
"Kau bahkan belum pernah melihatnya."
"Hanya mendengar namanya saja sudah membuatku muak. Apa itu cukup?" Salah satu alias Dante naik ke atas dengan mengejek.
Bibir Gia menipis dengan keras. Menjerit frustrasi. Sedangkan Dante hanya menggaruk telinganya yang tak gatal, kemudian menyandarkan kepala di jok mobil dengan kedua tangan bersilang dan mulai memejamkan mata.
***
Gia langsung melompat turun dari mobil ketika mobil berhenti di halaman rumah kediaman Morgan Matteo. Yang terakhir kali Gia cek di kartu keluarganya adalah ayahnya.
"Hai, sayang." Morgan menyambut Gia dengan kedua tangan membuka. Tapi Gia hanya melewatinya begitu saja. "Putri kecilku sudah pulang?"
Mona, istri Morgan menyikut Morgan dengan delikan penuh peringatan. "Kau membuatnya semakin kesal, Morgan."
"Aku hanya terlalu senang dia kembali lebih cepat ke rumah sayang, sayang. Apakah itu salah?"
"Aku memberinya kartu kredit tanpa batas dan dia bisa membeli apa pun yang dia inginkan. Tapi lihatlah apa yang dilakukannya, Morgan. Dia mencuri di butik."
"Aku sudah mengatakan bukan aku pelakunya!" teriak Gia yang sudah sampai di tengah anak tangga.
Ketiganya menoleh ke belakang.
"Apa kau tahu dia berkencan?"
"Dan itu bukan urusan kalian!" tambah Gia kemudian berbalik dan melanjutkan naik ke atas dengan kaki dihentak-hentakkan di lantai.
Dante dan Morgan hanya menghela napas panjang.
"Kalian memperlakukannya seperti anak kecil," sela Mona.
"Kau tidak tahu saja pergaulan di luar sana, Mona. Gadis seperti dirinya bahkan menjual diri untuk memenuhi kebutuhan mereka. Beruntung anakmu hanya mencuri dan Dante segera mengurusnya."
"Dia seperti itu karena tahu kita bukan keluarganya. Sejak awal aku sudah mengatakan pada kalian untuk tidak memberitahunya."
"Itu sudah sepuluh tahun yang lalu dan kau masih mengungkitnya. Mustahil untuk tidak memberitahunya kita orang tua angkatnya. Saat kita memungutnya dia berumur sepuluh tahun. Kupikir di umur segitu aku tahu kedua orang tuaku berpisah karena ayahku berselingkuh. Dia tak mungkin tahu kedua orang tuanya meninggal dan kemudian kami memungutnya."
"Kalian berdua terlalu bersikeras masuk ke kehidupannya di saat ia menutup hatinya."
"Kami berdua datang dengan cinta."
"Kau terlihat enggan ketika membawanya ke rumah. Aku tak bisa melupakan ekspresi wajahnya yang memberengut ketika membawanya ke depan pintu rumah kita, Morgan. Itu di hari seharusnya kita pergi berbulan madu. Aku tak mungki melupakan setiap detail dan menit yang terjadi di hari itu."
"Ya, bagaimana. Aku belum siap untuk memiliki anak dan Dante menyuruhku mengadopsinya. Bukan salahku, kan?"
"Apa kau menyuruhku menikah hanya untuk mengadopsinya? Kau tahu kita tidak mungkin meninggalkannya dipanti asuhan yang sempit dan berbagi tempat tidur dengan puluhan anak yang lain, kan?"
Mona hanya memutar kedua bola matanya dengan jengah. Selalu pembahasan yang sama dan berulang-ulang.
Morgan mendecakkan lidahnya. "Sebagai pembunuh kedua orang tuanya, kau cukup lemah menghadapinya, Dante."
Ruangan mendadak hening seketika dan dipenuhi keseriusan.
"Apakah menurutmu dia perlu tahu bahwa kau yang membunuh kedua orang tuanya?" Suara Morga melirih.
Seketika ekspresi di wajah Dante berubah, kemudian menghela napas dan membuang pandangannya ke arah tangga tempat Gia menghilang beberapa saat yang lalu.
Dan kejadian sepuluh tahun lalu kembali berputar di ingatannya.