Chapter 2 - Part 2

"Apa ini?" Morgan melongok ke arah lubang kantong yang diberikan pelayan pada Mona ketika keduanya mengantar Dante ke teras rumah.

"Gaun untuk nanti malam."

"Ah …" Morgan seketika teringat. "Nanti malam, apa kau akan pergi?"

"Pastikan saja anakmu tidak menyelinap keluar lagi, Morgan," peringat Dante sambil melangkah mendekati mobilnya yang terparkir di halaman depan. "Aku butuh ketenangan malam ini, dan sedikit kesenangan."

"Kupikir kau perlu sedikit menyendiri setelah perceraianmu."

"Ini bukan perceraian pertamaku, kan? Memangnya apa yang perlu kusesalkan?"

Morgan menghela napas, kemudian mengangguk setuju. "Surat perjanjian sebelum menikah?"

"Tunjangan tak akan mengurangi apa pun, Morgan. Tak ada yang perlu kau khawatirkan. Harta gono gini aman tepat seperti yang kau inginkan."

"Kau yakin dia tidak hamil?"

Dante memutar mata dengan jengah. "Bukankah itu akan menjadi urusanmu?"

Morgan langsung menyumpah dengan bibir menipis tajam.

"Kenapa kau tidak menggunakan pengaman? Atau menyuruhnya melakukan kontrasepsi," protesnya dalam rengekan.

"Itu juga urusanmu."

"Sialan kau, Dante."

Dante tak menggubris. Langsung naik ke mobil dan melaju meninggalkan halaman kediaman Morgan, yang masih memberengut menatap pantat mobil Dante menghilang di balik gerbang tingginya. Saat ia menoleh ke samping, istrinya malah sibuk memeriksa isi kantong besar di tangan.

"Kenapa kau tidak protes padanya?"

Mona mengangkat wajahnya. "Protes apa?"

"Apa kau tidak keberatan suamimu ke dokter kandungan dengan wanita lain?"

"Dan kau pikir Dante akan mendengar protesku?"

Morgan menggeleng pasrah. "Kenapa dia yang bercerai dan aku yang selalu direpotkan?"

"Karena kau tangan kanannya. Pastikan saja kau tidak macam-macam dengan mantan istrinya, Morgan. Atau …" Kedua mata Mona membulat sempurna penuh ancaman.

"Aku akan menyesal," jawab Morgan dengan cengiran lebar. Kemudian memeluk dan mencium bibir sang istri dengan riang. "Kau tahu aku tak pernah macam-macam, sayang."

"Di dunia ini, hanya kaulah yang tercantik."

"Aku pernah mendengar Dante mengucapkan kalimat itu saat baru saja menikahi Sheryl." Suara Gia membuat keduanya tersentak kaget dan Mona langsung mengurai pelukan Morgan. "Juga Monica dan Lania." Menyebut mantan istri Dante yang tak lebih dari beberapa bulan dinikahi.

Morgan dan Mona hanya mampu menelan ludah dengan kalimat kejam sang putri angkat. Wajah gadis itu terlihat begitu datar, bersandar ke pintu dengan kedua tangan bersilang di depan dada.

Morgan dan Mona mengerjapkan matanya dua kali.

"Kupikir aku juga mendengar … ayahku mengatakannya pada ibuku. Sebelum dia ketahuan mati dengan selingkuhannya di mobil," tambah Gia.

Seketika wajah Morgan dan Mona berubah sendu. Membuat kedua pundak mereka turun dengan lunglai. "Aku memahamimu perasaanmu, sayang. Aku juga pernah mendengarnya. Sebelum ayahku ketahuan berselingkuh di belakang ibuku." Suara Morgan yang melirih.

Gia tak menggubris. Saat Morgan mengatakan memahaminya, memangnya seberapa banyak yang pria itu pahami.

"Aku tak percaya cinta dengan segala macam jenis kemenyean itu. Tapi kenapa selalu berbeda dengan yang kurasakan pada Dante? Apa kau tahu kenapa?" Suara Gia mendadak berubah serius.

Morgan berdehem, membasahi tenggorokannya yang mendadak berubah sekering gurun pasir.

Mona memaksa memasang senyum hambarnya. Kemudian memberikan kantung pakaiannya pada Morgan dan membuka lebar kedua lengannya pada Gia. "Apa kau sudah lapar? Bisakah kau membantuku menyiapkan meja makan?"

Gia membiarkan dirinya dibawa oleh Mona menuju dapur. Sedangkan Morgan menghela napas menatap kedua punggung itu menjauh. Bukan rahasia baginya maupun Dante, ketika Gia beranjak dewasa mulai jatuh hati pada Dante. keduanya maupun Mona sudah membawa Gia untuk ke psikolog demi mencegah hal tersebut berkembang menjadi lebih serius. Hingga sekarang. Tetapi tetap saja tak menunjukkan hasil yang memuaskan sedikit pun hingga detik ini. Seolah pertemuan dua kali seminggu yang dilakukan oleh Gia dan psikolognya hanyalah rutinitas biasa seperti makan malam keluarga bahagia mereka bagi Gia. Ada atau tidak kegiatan itu, tak akan berpengaruh apa pun pada hidup seorang Gia.

***

Dengan diiringi suara musik yang samar-samar terdengar di kejauhan, Gia mendesah bosan saat mobilnya dihentikan karena tidak membawa kartu undangan oleh dua keamanan yang berjaga.

"Kau lihat, aku anak Morgan Matteo." Gia menunjukkan salinan kartu keluarga dan id cardnya pada keamanan yang berjaga di depan gerbang besar keluarga Erigo, sang pemilik pesta. Kedua keamanan itu melihat lembaran di tangah kanan, id card di tangan di tangan kiri kemudian wajah Gia secara bergantian masing-masing dua kali.

"Kau tahu Dante Vacchi? Dia adalah bapa baptisku," akunya lagi seperti kebohongannya yang sudah-sudah. "Jika mereka tahu kau menahanku di sini hanya karena mereka lupa mengonfirmasi keterlambatanku, kupastikan kau dipecat dan tidak akan mendapatkan pekerjaan di mana pun."

Seketika wajah datar kedua keamanan tak bisa menahan emosi yang mulai muncul di permukaan wajahnya. Dan tak punya pilihan selain membiarkan mobil Gia masuk.

"Oh ya, pastikan saja kau berpura tak tahu kalau aku anak baptisnya Dante Vacchi. Ini rahasia keluarga, jika dia tahu kau tahu, maka …" Gia membuat garis tak nyata di lehernya. Kemudian menginjak pedal gas dan menyeringai. Mencari tempat parker dengan cepat dan melangkah penuh kepercayaan diri ketika memasuki teras rumah dan suara musik kini diiringi oleh suara kerumunan orang yang saling tertawa, terkikik, dan mengobrol penuh basa-basi. Sepertinya acara inti sudah dimulai

Menerobos di antara gerombolan orang menuju pusat pesta. Sambil menikmati pandangan penuh kagum dan bertanya para pria yang ia lewati, Gia mengedarkan pandangan mencari ke setiap sudut ruangan. Tak butuh waktu lama untuk menemukan yang dicarinya. Ia bisa mengenali punggung itu dengan sangat baik bahkan dari kejauhan. Juga setelan resmi dan gaun kedua orang tua angkatnya di samping tangga spiral.

Dante dan Morgan membelalak lebar melihat penampilan Gia dari ujung kepala hingga ujung kaki. Entah dari mana gadis itu mendapatkan gaun sialan itu. Yang memiliki belahan setinggi paha, tanpa lengan yang membuat belahan dada ranum Gia terlihat begitu jelas. Bahkan mengundang mata-mata liar para tamu undangan di sekitar mereka melirik ke arah gadis di bawah umur itu.

"Apa yang kau lakukan di sini, Gia?" desis Dante, kemudian mendelik ke arah Morgan. "Bukankah kau bilang semuanya aman terkendali."

Morgan mengangkat kedua tangannya penuh kepasrahan. "Aku memasukkan dua butir pil tidur di minumannya."

"Tapi kau tidak memastikanku meminumnya atau tidak," sambung Gia.

"Dan kau terlihat bangga membodohi orang tuamu."

"Dia bukan orang tuaku."

Wajah Dante mengeras. Tangannya sudah bergerak untuk menangkap lengan Gia dan berniat menyeret gadis itu keluar. Tetapi suara feminim yang memanggil Dante dari arah samping menghentikan niatnya.

Gia menoleh, menatap wanita cantik dengan gaun yang kekurangan bahan langsung menggelayut manja di lengan Dante.

"Siapa kau?" Wajah Gia seketika dipenuhi kekesalan.

Dengan tatapan keheranan, wanita itu mengamati penampilan Gia dari atas ke bawah dengan cemooh. Menyandarkan kepala di pundak Dante dengan mesra dan bahkan secara terang-terangan merabakan telapak tangan di dada pria itu. Membuat wajah Gia merah padam.

"Bukankah kau baru saja bercerai?"

"Ya. Dan sudah waktunya aku untuk membuka hati."

Jawaban Dante yang ringan membuat Gia semakin kesal.

"Aku akan menjambak rambutnya," ancam Gia.

"Kau tidak akan melakukannya."

"Aku akan melakukannya."

Dante mendengus. "Kau ti …"

Sebelum Dante sempat menghentikan kalimatnya ketika Gia melompat ke arah Tamara dan kedua tangannya langsung hinggap di kepala Tamara. Mencengkeramnya kuat-kuat sebelum menariknya.