Chapter 4 - Part 4

Gia menuruni tangga sambil menutup tas setelah mengecek barang bawaan yang yang ada di dalam tasnya. Memastikan ponsel, kunci mobil, dan dompetnya sudah masuk ke dalam tas. Ada terlalu banyak rencana untuk hari ini yang setidaknya menghibur hatinya dari kekesalannya kepadan Dante semalam.

Ponselnya bergetar pelan, ia membaca pesan singkat dari Jason.

'Bagaimana rencana hari ini?'

'Sempurna.' Gia membalas pesan singkat Jason dengan senyum di bibir. 'Dan aku butuh penjelasanmu tentang kemarin. Apa kau tahu aku ditangkap pihak berwajib karena ulahmu?'

Gia melempar kembali ponselnya di tas. Di meja makan sudah ada Morgan dan Mona yang sudah setengah menghabiskan isi piring mereka. Seperti biasa.

Morgan yang tengah mengunyah roti, membelalak melihat Gia yang mengenakan tank top dan mini jeans. Dengan kaca mata hitam yang disangkutkan di tengah dada dan nyaris menampilkan belahan dada gadis itu. Mulutnya menganga lebar.

"Pakaian apa yang kau pakai itu, Gia?"

Gia tak menggubris dan duduk kursi setelah meletakkan tas di meja.

"Kalau Dante tahu, apa kau tahu apa yang akan dilakukannya padaku?" Morga tak melepaskan pandangannya dari Gia. "Dia akan membunuhku. Kau ingin kehilangan ayah tercintamu ini untuk kedua kalinya?"

"Tak akan lebih buruk dari pertama kalinya, kan?" Candaan Gia sama sekali tak lucu.

Morgan dan Mona saling pandang akan candaan horror yang diucapkan oleh Gia dengan penuh ketenangan.

"Gia, tak baik seorang gadis berpakaian seperti itu."

"Aku memang gadis yang tak baik."

Morgan mendesah. "Apa yang kau inginkan agar kau menganti pakaianmu?"

Senyum segera membentang di wajah Gia. "Kartu kredit yang dirampas Dante kemarin."

Morgan diam. "Dante menyuruhku mengembalikan padamu tiga hari lagi. Dan ditambah semalam, dia menambah tiga hari. Jadi …"

"Oke. Aku paham." Gia langsung diam, mengambil rotinya dan mulai melahapnya.

"Kau tak akan menggantinya?"

Gia diam, menikmati setiap kunyahan dan jelas tak akan mengganti busana kekurangan bahan itu. Yang membuat kepala Morgan diserang migraine. Padahal ia sudah hampir tak pernah melewatkan memeriksa belanjaan Gia. Bagaimana mungkin pakaian semacam itu bisa terselip di lemari pakaian sang putri angkatnya. Gadis itu pasti menyelipkannya bersama gaun yang tadi malam dirobek oleh Dante. Dan bahkan Dante sudah memperingatkannya untuk hal semacam ini tidak terjadi lagi.

"Semalam Dante mengatakan benar-benar akan membunuhku karena gaun yang kau pakai tadi malam, Gia. Apa kau sungguh akan melakukan ini pada ayah tercintamu?"

Gia masih bergeming. Mengunyah rotinya hingga menimbulkan bunyi yang membuat Morgan geli.

"Baiklah." Morgan mengalah. "Aku akan memberikan kartuku sebagai gantinya."

Gia berhenti mengunyah dan menoleh pada Morgan. Memberi pria itu anggukan singkat dan menambah. "Nanti aku akan pulang terlambat."

Morgan membuka mulutnya tak percaya. "Selesai kelas terakhirmu kau harus pulang, Gia," peringatnya tak setuju.

"Temanku ingin aku datang ke pestanya."

"Pesta apa?" tanya Morgan.

"Anak muda merayakan banyak hal untuk sekedar alasan membuat pesta, ayah." Gia menekan panggilan kesayangannya yang hanya digunakan untuk di saat-saat tertentu.

"Aku akan pulang sebelum jam sembilan malam… ah tidak," Gia menggelengkan kepala, menatap Morgan dengan tatapan jahilnya, "... Tidak mungkin bukan jika aku meninggalkan pesta dengan cuma-cuma, ayah. Paling cepat aku akan pulang jam sepuluh malam. Ini pesta penting."

"Tidak, ada pesta untukmu malam ini setelah kekacauanmu tadi malam, Gia."

"Aku tidak sepenurut itu sebagai seorang anak kesayangan di rumah ini. Aku hanya memberitahu mamaku untuk tidak khawatir dan menghubungi polisi karena aku tiba-tiba menghilang. Kalian tak akan mempermalukan keluarga ini lebih banyak lagi, kan?"

Morgan menampilkan ketegasannya. "Tidak, Gia. Kau akan pulang setelah kelas terakhirmu selesai."

"Aku sudah mengatakan tak butuh ijinmu. Aku hanya memberitahumu. Karena jika kau tidak mengijinkanku, aku bisa menyelinap lewat balkon. Dan apa kau tahu seberapa bahayanya jika aku melompat dari balkon. Mungkin kakiku akan patah, paling ringan. Dan jika aku beruntung aku masih hidup."

Morgan menelan ludahnya dengan susap payah. Jika Gia mati, maka selanjutnya nyawanya lah yang akan melayang. "Jam sembilan."

"Sepuluh."

"Sembilan."

"Sebelas."

"Sembilan atau aku akan menghubungi dosenmu dan mengatakan kau sedang tidak enak badan. Jadi, kau bisa menghabiskan waktu di kamarmu untuk merenungi bagaimana beruntungnya kau menjadi anak kesayanganku. Titik."

Gia menemukan keseriusan di wajah Morgan yang tak main-main. Hukuman dikurung di kamar adalah yang terburuk meski ia bisa kabur dengan memanjat balkon.

"Berikan kunci mobilmu." Morgan mengulurkan tangan. "Dan Mona, bawa semua kunci mobilku juga kunci mobilmu sekarang juga. Kunci balkon kamarnya dan kunci ka …"

"Baiklah!" jerit Gia sebelum Morgan benar-benar melakukan ancamannya. "Aku akan ganti pakaianku dan pulang tepat jam sembilan."

Senyum kemenangan memenuhi wajah Morgan dengan pongah.

"Tidak terlambat semenit pun. Kau tahu Dante meletakkan pelacak di mobilmu, kan?"

Gia ingin menjerit tepat di depan wajah Morgan saking dongkolnya. Mendesah dengan keras dan mengalah. Ia tahu Morgan memegang permainannya kali ini. Ia tak boleh melewatkan acara hari ini. Terutama setelah janjinya pada Jason. "Tidak terlambat semenit pun," ulangnya agar Morgan puas.

"Dan Dante akan tahu kalau kau mencoba memanipulasi posisimu, Gia."

Bibir Gia menipis. "Aku bukan tahanan kalian."

"Kami tak pernah menganggapmu tahanan selama kau bisa bersikap baik."

Wajah Gia mengeras kesal. "Aku membencimu, Morgan."

"Ah, dan panggil aku ayah. Kau harus berpura-pura menyayangi ayahmu ini. Bagaimana pun hanya kami yang kau miliki, anakku."

Gia mendorong piring rotinya ke depan. Setengah membanting.

"Morgan?" panggil Mona tak setuju. "Jangan terlalu keras padanya."

"Dia memang anak kita, Mona. Sudah sewajarnya dia memanggil kita ayah dan ibu."

"Kita sudah sepakat untuk tidak memaksakan hal ini padanya."

Bibir Morgan menutup.

Gia mendesah pelan. Kenapa sekarang pasangan orang tua angkatnya yang malah berdebat. Gia pun bangkit berdiri.

"Mau ke mana kau? Kita belum selesai."

"Ganti pakaian, berangkat ke kampus, dan pulang jam sembilan malam tanpa terlambat semenit pun, Ayah."

Morgan dan Mona seketika terdiam. Mengernyit penuh keheranan. Pandangan keduanya mengikuti punggung Gia yang meninggalkan ruang makan dan melangkah menuju tangga.

Lama keduanya terhenyak di ruang makan yang sunyi tersebut.

"Apa kau merasa ada yang aneh dengannya?" Morgan menggumam pelan, menoleh ke arah Mona yang juga masih diselimuti keheranan.

Mona mengangguk. "Sedikit. Dia lebih cepat menurut daripada biasanya."

"Mungkin karena dia masih kesal tentang Dante tadi malam. Jadi dia enggan berdebat lagi dengan kita. Baguslah kalau begitu."

"Ancamanmu tak sungguh-sungguh membuatnya menrut, kan? Menyelinap kabur adalah keahliannya."

Morgan memilih mengabaikannya. "Lain kali aku akan menggunakan ancaman yang sama. Pastikan saja dia tidak terlambat pulang malam ini."

Ekspresi di wajah Mona seketika berubah. "Apa maksudmu?"

"Malam ini aku dan Dante harus pergi keluar kota. Mungkin jam sepuluh atau lebih aku baru sampai di rumah. Dante bermalam di sana."

"T-tapi …"

"Atau kau lebih suka aku bermalam dengannya di sana."

Mona tak membantah. "Baiklah."

"Aku berangkat dulu." Morgan mengambil dompet dan mengeluarkan kartunya pada Mona. "Tukar ini dengan pakaiannya yang kekurangan bahan itu. Kau mengerti?"

Mona mengangguk. Morgan beranjak, mendaratkan kecupan di bibir dan melangkah keluar ruang makan.