Bojonegoro, September 1898
Sepasang tangan berotot dengan urat-urat kebiruan yang menonjol, bergerak naik turun mengerek air dari sumur. Suara kelontang akibat gesekan timba dengan dinding sumur menggema di lubang yang dalam. Berulang kali air di timba logam itu muncrat dan tumpah karena lengannya gemetar.
Tetes-tetes darah meluruh dari bagian kemeja belacunya yang basah. Darah juga menggenang pada permukaan tanah berlapis batu kali datar, menguarkan anyir, lalu mengalir menuju selokan yang tersambung pada parit kecil di belakang rumah. Sebilah celurit berlumuran darah juga tergeletak di tanah tak jauh dari kakinya berpijak.
Bayangan kasar sesosok pria bercambang bauk lebat yang tengah membelai tubuhnya kembali berkelebat. Tangan pria itu berhias cincin emas bermata kecubung. Sekelebat kemudian, bayangan sosok pria itu berubah menjadi jemari lentik seorang mevrow yang tubuhnya menguarkan saga dan melati.
Kesadarannya kembali. Dia gosok-gosok bagian wajah, leher, dada, lengan, dan sekujur tubuh yang masih terbalut pakaian basah dengan sangat kasar dan cepat. Sekeras apapun usahanya membersihkan diri, tapi noda dan aroma yang tak kasat mata itu terus saja bersengkelit menimbulkan perasaan jijik.
Prang! Dia hantamkan timba besi ke tubir sumur. Karena kelelahan dan putus akal, sepasang kakinya menjadi limbung. Tubuhnya melorot dengan punggung runduk yang tersengguk-sengguk. Satu tangan mengepal, memukuli tubir sumur berlumut itu dengan perasaan muak dan marah yang menggelegak. Buk! Buk!
Kini, buku-buku jarinya berdenyut dan membengkak. Darah segar mengular dari rekahan kulitnya yang koyak. Dia meringkuk bersandar pada dinding sumur dengan kedua lutut tertekuk ke dada. Wajahnya yang muram terbenam di antara dekapan lengan.
Rosemeijer Vallois-Crussoe berdiri menentang jendela yang terbuka di kamarnya di lantai dua. Tubuhnya terbalut dalaman rok dan korset yang membentuk lekuk sempurna. Dadanya naik turun dengan napas pendek-pendek dan cepat. Rose mengangkat dagu lancip di bawah bibir busurnya yang memerah dengan sorot mata tajam menembusi sosok pemuda yang tengah meringkuk di sumur.
Jemari lentik Rosemeijer meraba batang lehernya sendiri yang berdenyut-denyut, membelai rahang, turun kembali ke dada yang menegang. Kedua tangannya saling meremas di permukaan selembar gaun tipis yang dikenakan. Tatapan lapar Rosemeijer tak bisa lepas dari sosok pemuda yang membuat dunia kecilnya di tanah Hindia menjadi jungkir balik seketika.
Sesosok pria yang bertelanjang dada—hanya mengenakan udeng dan celana gombroh selutut—berlari mobat-mabit mendekati sumur. Diraihnya celurit dari tanah yang tergenangi air bercampur darah.
"Apa yang kau lakukan di sini, Endaru? Cepat pergi!" Pria itu mengguncang-guncang tubuh pemuda yang masih meringkuk di sumur dengan satu tangan. "Mereka akan datang. Kau harus pergi sekarang juga!"
Dari arah depan terdengar ringkikan kuda dan gilasan roda kereta yang memasuki halaman. Sang pria yang bertelanjang dada segera bangkit untuk memastikan pemilik kereta yang baru saja tiba.
"Kereta polisi!" pekiknya.
Pria itu memutar badan dan berlari kembali menghampiri Endaru yang mulai mengangkat wajah.
Mata Endaru menyorotkan kobar dendam dan kebencian, bukan rasa takut dan kekhawatiran. Rahang bawahnya mengeras dengan urat-urat leher yang menegang, mempertegas barut bekas luka yang memanjang di bawah mata kanan. Wajah pemuda itu terbentuk dari perpaduan alami antara ketampanan dan kecantikan yang begitu mengesani—baik di mata perempuan maupun laki-laki.
Tengkuk pria yang bertelanjang dada itu sesaat meremang. Dia seakan menghadapi sosok Endaru yang sama sekali berbeda—terasa asing dan tak terjangkau.
"Endaru, pergilah! Polisi-polisi itu sudah turun dari kereta."
Pemuda itu menanap. Saat tersadar, dia sudah mengeritkan geraham. Endaru meraih kemeja dan celana bersih dari jemuran, berlari memelesat meninggalkan sumur, lalu melompati semak tanaman pagar di kebun belakang.
Di kamarnya, tatap jalang Rosemeijer dibuyarkan oleh ketukan tiga kali pada pintu dengan nada yang mendesak. Salah seorang jongosnya berbicara dalam bahasa Belanda yang terbata-bata.
"Mevrow, de politie is gearriveerd!"[1][ "Nyonya, polisi sudah datang!"]
Rosemeijer berbalik meninggalkan jendela dan meraih jubah yang tersampir di sandaran kursi. Sekilas, dia melirik gaun tidur putihnya yang berubah menjadi merah. Gaun itu tampak mencuat dari dalam peti di kolong tempat tidur. Dia pijit-pijit pangkal hidung bangirnya untuk mengeluarkan air mata sebelum membuka pintu kamar.
Endaru berlari dan terus berlari melintasi kebun dan rimbun jati yang masih menjadi bagian dari tanah kekuasaan Kontrolir Crussoe. Tak ada buruh dan pekerja di hari Jumat Legi itu. Semua orang memperoleh hari libur hanya untuk berkumpul di jalan-jalan merayakan kenaikan sang ratu ke kursi kekuasaan.
Saat tiba di sebuah gubuk penjaga ladang, Endaru bergegas bersulih pakaian. Diambilnya topi jerami milik salah seorang penjaga ladang. Dia lesakkan ke kepala hingga menutupi sebagian wajah lalu kembali berjalan dengan masih bertelanjang kaki.
Beberapa kilometer kemudian, Endaru memasuki pasar dengan napas merengap dan dada yang bergemuruh. Dia membaur di tengah-tengah keramaian. Dunia sekelilingnya ingar-bingar dengan bunyi meriam yang berdentum-dentum di kejauhan. Jalan-jalan dihiasi oleh triwarna dan umbul-umbul kertas silang-menyilang yang sangat meriah. Namun, hatinya empas dan merusuh seorang diri. Satu matanya yang normal menyelidik dan mengawasi sosok-sosok polisi yang sedang berjaga di sepanjang jalannya acara.
Di kedua sisi jalan, orang-orang berdiri berdesak-desakan—pribumi, totok, indo, Tionghoa—semua membaur menjadi satu. Mereka meninggalkan kegiatan masing-masing hanya untuk menyaksikan arak-arakan dan panembrama. Lamat-lamat mulai terdengar Wilhelmus[2] mengalun di sepanjang jalan utama dari mulut para totok dan indo yang merayakan kenaikan tahta sang ratu Belanda.
"Wilhelmus van Nassouwe ... Ben ik, van Duitsen bloed ... Den vaderland getrouwe ...."[3][ "Wilhelmus van Nassouwe ... Apakah aku berdarah Jerman ... Setia pada tanah air ...."]
Endaru berlari menerabas sekumpulan manusia, menyelinap, dan menyembunyikan diri di antara mereka. Telinganya memerangkap suara geretak bingkai besi roda karper yang menggilas jalanan batu kekuningan. Karper yang mengangkut sang bupati itu semakin mendekat. Langkah Endaru tertahan. Bersama-sama dengan para pribumi yang lain, dia diharuskan berlutut—memberikan tabik dan sembah—pada sang raja kecil penguasa tanah Bojonegoro.
Gigilan seketika merambati tengkuk dan punggung pemuda itu. Sekitar tiga meter di depan, berdiri dua orang polisi yang terus saja mengawasi. Dia lesapkan wajah ke balik topi dan berjalan mundur menghindari kerumunan warga yang berdesak-desakan ingin menyaksikan lebih dekat arak-arakan sang bupati.
Di antara deretan manusia yang tengah mendengungkan Wilhelmus, sebuah tangan menariknya dengan kasar menuju barisan paling belakang. Tubuh berotot Endaru seakan-akan sehelai kapas yang terseret-seret oleh embusan angin silir. Di sana, dia berhadapan dengan seorang pria berkumis baplang dalam pakaian Jawa. Pria itu berdiri dengan membawa parang panjang di pinggang.
[1] "Nyonya, polisi sudah datang!"
[2] Lagu kebangsaan Belanda
[3] "Wilhelmus van Nassouwe ... Apakah aku berdarah Jerman ... Setia pada tanah air ...."