Endaru tersadar bahwa kebebasan untuk selamanya tak akan pernah dimiliki oleh para sahaya. Mereka harus terus menghamba dan bersujud—jika bukan pada Belanda, maka pada raja-raja kecil penguasa tanah Jawa.
Sepasang tangan dengan kuat menarik tubuh pemuda itu hingga terseret-seret menjauhi kerumunan. Di sana, dia berhadapan dengan serombongan polisi berpakaian Jawa yang pada tali pinggang mereka terselit parang. Nalurinya menuntut untuk melawan, tetapi akalnya berjuang keras untuk bertahan, saat moncong senapan mereka todongkan.
Dia kalah.
Di sanalah Endaru berada sekarang—di balik jeruji besi—bersama sang rekan sekaligus guru kehidupan yang baginya tidak pernah melakukan kesalahan. Pria berkumis baplang itu hanya berusaha mempertahankan asas kepemilikannya sendiri.
"Ke mana orang-orang itu dibawa setelah menerima jatah makan?" Endaru berusaha mengalihkan percakapan.
"Kerja paksa! Diperbudak!" pekik Suro.
"Itu mungkin lebih baik, bukan? Masih ada kesempatan dan harapan untuk terus menyambung kehidupan," bisik pemuda berkulit langsat itu dengan gamang.
"Kau pikir begitu? Bagi mereka mungkin sebaliknya, kerja paksa itu mematikan harapan!" jawab Suro dengan suara keras. "Mereka harus memecah batu dan meratakannya untuk mengeraskan jalan. Bagi yang punya keahlian mungkin lebih beruntung. Mereka akan dikirim ke bengkel untuk membuat perabotan dari kayu, anyaman, menjahit pakaian, hanya dengan imbalan jatah dua kali makan—di sisa umur mereka sampai berkalang tanah!"
"Apa kita akan digantung seperti kata opas tadi?" tanya Endaru dengan suara menggumam.
"Pribumi selalu salah, harus kalah, tak peduli bagaimana sidang nanti di gelar. Pribumi tak akan pernah menang di tanah sendiri—tidak di sini," desah Suro sambil memiringkan badan untuk memunggungi Endaru.
"Kalau begitu, di mana kita akan menang?"
"Di jalan perlawanan ...!"
"Kau mulai ngelantur, Paman?" desis Endaru.
Suro tergelak. "Setidaknya, makanlah nasi itu agar kau mati dalam keadaan perut terisi!"
"Aku masih menjalani puasa."
Suro menghela napas. "Tidakkah terlalu lama?"
Endaru mengubah posisi. "Aku harus membuat raga ini lelah, agar bisa sejenak lupa."
Terdengar kembali tapak sepatu mengentak-entak di lantai plester yang semakin mendekat ke arah sel mereka. Endaru dan Suro membisu sambil berpura-pura terlelap.
"Allebei, sta op!"[1] ["Kalian berdua, bangun!"]
Endaru berpura-pura menguap dan menggeliat, sedangkan Suro bangkit dengan berlama-lama saat sang opas membuka pintu terali dengan tergesa-gesa.
"Waar worden we naartoe gebracht?"[2] ["Ke mana kami akan dibawa?"]
Suro sengaja mengajukan pertanyaan dalam bahasa Belanda yang seketika membuat opas itu meradang dengan wajah memerah. Tongkatnya bersiap terayun ke arah Suro, tetapi Endaru bangkit sambil berpura-pura terjatuh hingga mendorong punggung sang opas.
Ruangan sempit itu membuat mereka tak bisa bergerak dengan leluasa. Sang opas terhuyung, menginjak pincukan nasi jagung, menendang gelas kaleng hingga airnya muncrat, dan sontak membuat wajahnya semakin pekat.
"Klootzak!"[3] [Bajingan!]
Belum sempat opas itu membalas, muncul seorang lagi dalam wujud pribumi dengan langkah panjang dan cepat.
Opas pribumi itu berbicara dalam bahasa Melayu dengan logat Jawa yang kental, "Kereta sudah menunggu! Kita harus bergegas ke landraad."
Kedua opas itu menggiring Endaru dan Suro melintasi sel-sel yang sudah kosong setelah ditinggalkan penghuninya untuk rodi. Masing-masing tangan dan kaki mereka terbelenggu rantai besi. Mereka terus didorong-dorong dengan kasar agar melaju lebih cepat saat melintasi kolam tempat persediaan air di penjara. Keempat pria itu lalu melintasi sisi gedung kepolisian dengan jendela-jendelanya yang menjulang tinggi, berkayu jati pilihan, dengan atap yang disangga oleh pilar-pilar putih sebesar dua pelukan tangan pria dewasa—tak kurang enam tegakan.
Di halaman kantor polisi telah menunggu kereta berkerangkeng yang ditarik oleh dua ekor kuda. Endaru dan Suro didorong memasuki kerangkeng itu dengan kasar. Mereka berdua duduk di lantai kereta yang terasa bergoyang-goyang saat melaju. Roda-roda kereta itu berkeretak menggilas permukaan jalan yang sudah dipadatkan dengan batu oleh tangan-tangan pribumi yang diperbudak. Endaru mengintip ke balik celah terali di belakang kereta. Terlihat dua opas mengiringi perjalanan mereka menggunakan kuda.
"Apa mereka akan membawa kita ke tiang gantungan?"
"Seharusnya kau makan dulu sebelum mati," bisik Suro lemah.
***
Kereta membelok ke kediaman bupati, bukan ke landraad yang sekaligus menjadi kediaman Residen Bojonegoro. Endaru dan Suro terperangah saat melihat kerumunan orang-orang di sana.
Para pria berudeng itu hampir tak ada yang mengenakan kemeja hanya bercawat sarung yang dibebatkan ke tubuh bagian bawah. Para perempuannya berkemben dan berkain jarik dengan selendang menudungi kepala. Sedangkan anak-anak yang turut serta, lebih banyak yang telanjang daripada yang berpakaian. Mereka semua duduk dan berjongkok di tanah berumput rendah dari jalan depan hingga ke halaman rumah sang bupati.
Para perempuan dan laki-laki itu—dari yang tua hingga muda—begitu terkagum-kagum pada sosok Endaru yang mereka kenal sebagai pemuda yang tak bisa dimiliki karena tak sedikit para gadis yang dibuat patah hati. Setiap musim panen tiba Endaru bersama-sama dengan rombongannya akan berkeliling dari dusun ke dusun untuk melakukan pertunjukan reog gebyog. Kepiawaiannya memainkan dadak merak dengan segera menyedot perhatian warga. Tak sedikit juga yang meyakini pemuda itu memiliki kesaktian dan kebal. Oleh karena itu, mereka sengaja datang ke persidangan untuk menyaksikan dan membuktikan rumor tersebut.
Endaru sendiri tak pernah menduga, jika kabar berita pembunuhan sang kontrolir segera menyebar hingga ke penjuru Karesidenan Bojonegoro yang meliputi sejumlah wilayah kabupaten seperti Tuban, Lamongan, Blora, dan Bojonegoro sendiri.
"Kita akan dikenang sampai ke anak cucu mereka sebagai pemberontak yang membunuh totok," kata Suro sambil tertawa berderak-derak seakan menggenapi pedalaman benak Endaru yang tak terkatakan.
"Ya, seorang picak[4] dan pria tua bangka yang kebal senjata!" Endaru mencebik dan benar-benar merasa jika ini adalah hari terakhirnya menghirup dan menghela udara di dunia.
"Kau mengolok-olokku, Anak Muda?"
Endaru hanya mengendik, "Setidaknya olokan itu diyakini oleh banyak mata yang hadir di sini. Kau akan membuat bangga Rukmini."
Tatapan Suro meredup. Endaru merasa bersalah karena telah menyebut-nyebut nama Rukmini—putri semata wayang Suro—yang mungkin akan menjadi yatim.
Kereta berhenti diringi suara ringkikan kuda akibat tali kekang yang menegang. Salah satu opas yang mengiringi mereka segera membuka pintu kerangkeng. Endaru dan Suro enggan turun dengan iringan puluhan pasang mata yang memenuhi halaman rumah bupati.
Opas yang pada pinggangnya terselit parang itu naik ke atas kereta dan menarik paksa kemeja Endaru yang tak berkancing. Otot-otot perut pemuda itu menegang. Kemarahannya menggelegak. Dia melesakkan siku ke ulu hati sang opas.
"Aku iso mudun dewe, Jongos Londo!"[5] ["Aku bisa turun sendiri, Budak Belanda!"]. Dia benci jika tubunya disentuh oleh orang lain.
Tak! Ujung tongkat opas yang lain seketika mendarat di punggung Endaru, membuatnya melenting dan terhuyung.
Kerumunan warga yang menunggu kedatangan Endaru seketika bangkit dan mendekati kereta ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Para opas menghalau mereka dengan ancaman bedil dan parang. Endaru turun dan dipaksa berjongkok di tanah oleh salah satu opas menggunakan ujung tongkatnya.
Di dalam kereta sang opas yang disikut oleh Endaru meringkuk di pojok sambil menahan ulu hati yang berdenyut-denyut. Suro berbisik pada opas kesakitan itu sebelum dipaksa turun dari kereta, "Jangan pernah jamahkan tangan kotormu pada pemuda itu! Kau tak mendengar kabar tentang kejadian mengerikan yang dialami seorang opas di salah satu perbatasan lima tahun lalu?"
Opas itu pucat kesi dibuatnya.
***
[1] "Kalian berdua, bangun!"
[2] "Ke mana kami akan dibawa?"
[3] "Bajingan!"
[4] Buta
[5] "Aku bisa turun sendiri, Budak Belanda!"