Chapter 3 - 2

Seorang opas berambut kekuningan yang mengenakan topi pet putih, berjalan sambil mengentak-entakkan sepatunya di lantai plester yang kasar dan panas. Dia seka keringat yang membulir di hidung mancung sedikit bengkoknya dengan setangan katun. Di sekitar pipi pria itu dipenuhi dengan bercak totol-totol cokelat—terlihat kontras di permukaan kulitnya yang pucat. Tubuhnya jangkung dan berisi, terlihat mengesani di balik jas, celana, dan sepatu yang serba putih.

Opas itu memukul-mukulkan tongkat di genggaman pada besi terali. Entakan sepatunya terus mendekat dan semakin menggenapi kegelisahan pada wajah-wajah gelap tanpa harapan di balik jajaran jeruji yang terkunci. Semua saja berkeringat. Mereka meringkuk berjubel-jubel—jongkok, berdiri, rebah, dan bersandaran—pada dinding tebal dan lantai plester yang kasar tanpa alas. Para tawanan itu terus membisu. Mereka menetaki kesialan diri yang dibekap jeruji besi.

Tongkat sepanjang setengah meter kembali dipukul-pukulkan sang opas pada pintu terali untuk membangunkan para penghuninya. Gerincing nyaring anak-anak kunci turut menyusul saat dia berusaha membuka jeruji-jeruji itu dengan kasar.

"Iedereen ga weg! Line up vooruit!"[1] ["Semuanya keluar! Berbaris di depan!"]

Para tawanan pria di sana bertelanjang dada. Mereka hanya mengenakan cawat dari kain sarung dan udeng di kepala. Semuanya bangkit bersama-sama lalu berjalan merunduk-runduk di hadapan sang opas. Di luar sel, mereka berjongkok rapi dalam satu barisan panjang. Tubuh dan pikiran mereka seakan sudah disetel untuk mengulang-ulang hal yang sama sepanjang hidupnya. Raga mereka kurus dan ringkih—hanya serangkaian tulang-belulang yang terbalut kulit dengan sekerat daging. Tatapan mata mereka nyalang seakan hendak lepas dari rongganya yang cekung. Wajah-wajah itu pasrah tanpa gairah kehidupan.

Sang opas menyengih jijik sambil berjalan menghampiri jeruji besi berikutnya. Dia ulangi hal yang sama sampai tiba di depan jeruji paling ujung yang dihuni dua pria. Opas berkacak pinggang saat melihat kedua pria itu bergeming. Mereka tak menunjukkan rasa takut, apalagi hormat seperti tahanan lainnya yang sudah menahun di sana.

Dibiarkannya jeruji itu terkunci.

"Selamet, kemari kowe[2]!" sang Opas berteriak lantang memanggil seorang jongos pria.

"Sahaya, Meneer[3] ...."

Jongos pria berusia dua puluhan itu datang membawa talam sambil merunduk-runduk sebelum berjongkok di depan sang opas. Tatapan Selamet terus turun ke lantai—ke ujung sepatu putih sang opas yang tak bercela. Kemeja belacu pria itu terlihat tak berkancing. Ujung kain batik pudarnya menyapu lantai, sedang udeng di kepala sedikit miring.

"Kasih makan dua pemberontak berbahaya ini! Mungkin besok mereka akan mati," ucap sang opas dalam bahasa Melayu kasar. Dia melirik talam di tangan Selamet yang berisi nasi jagung kasar dengan lauk dua potong tempe.

"Binnekort wordt u opgehangen. Iedereen zou moeten weten wie hier de leiding heeft."[4] ["Kalian akan segera digantung! Setiap orang harus tahu siapa yang bertanggung jawab di sini."]. Bibir tipis sang opas mencebik dengan suara kasar mirip orang sedang berdahak yang ditujukan pada kedua tahanan tersebut.

Tang! Dia pukulkan sekali lagi tongkat dalam genggaman sebelum berlalu meninggalkan sel tahanan terakhir yang tetap akan terkunci, setidaknya sampai sidang digelar di landraad.[5]

Selamet masih berjongkok dan menunduk hingga sang opas pergi meninggalkan mereka. Tanpa banyak bicara, dia sorongkan pincukan daun pisang berisi nasi jagung dan dua gelas kaleng berisi air putih melalui sela-sela jeruji.

Selamet bangkit dan hendak berlalu, tetapi dia perlukan untuk menengok kembali. "Jika saja semua sahaya memiliki keberanian seperti kalian—melawan para tuan-tuan totok itu—tentu mereka yang akan takut pada kita! Makanlah, semoga Tuhan melindungi kalian."

Selamet meninggalkan sel paling ujung yang terkunci itu dengan napas engap-engap. Dia ketakutan sekaligus penasaran dengan kedua tawanan yang banyak dibicarakan itu.

Endaru tidur meringkuk di lantai memunggungi jeruji yang memisahkannya dari kehidupan bebas. Kedua matanya terkatup dengan tangan terselip di antara paha mencoba menahan gigil karena marah.

"Aku menyuruhmu pergi, bukan? Kau malah mendatangi pusat keramaian. Cah gemblung![6]" sindir Suro tanpa melihat ke arah Endaru.

"Aku tidak bisa pergi! Sudah berapa lama dan jauh kita pergi selama ini, Paman? Namun, dia terus bermunculan di dalam mimpi-mimpiku. Bahkan, dua tahun ini dia berwujud seorang pria totok. Aku tahu dia masih memantraiku. Dia terus berusaha memanggil-manggil agar aku kembali ke sana!"

Suro bangkit untuk mengambil salah satu pincukan nasi, duduk bersandar pada dinding sel yang terasa hangat di punggung, dan menyuapkan isinya ke mulut dengan tiga kali kunyahan. Dia sendiri masih bertelanjang dada, udengnya hilang saat penangkapan, dan hanya mengenakan celana gombroh hitam yang terlihat kumal.

"Tidak seharusnya kau di sini, Endaru? Kau dengarkan aku!?"

Kesal karena merasa diabaikan, Suro menyorong kaki Endaru dengan ujung kakinya sendiri. Karena masih tak ada tanggapan, akhirnya Suro berbicara sendiri sambil mulutnya terus menguyah. Kumis baplangnya bergerak-gerak di bawah hidung yang lebar. Dia yakin pemuda itu diam-diam mendengarkan.

"Sesaat setelah kau pergi, aku duduk di sumur sambil menggenggam celurit berdarah itu." Suro kembali menyengih saat mengingat kejadian di rumah sang kontrolir.

"Aku bisa mendengar teriakan dan jeritan Mevrow Rosemeijer dari dalam rumah. Tahulah aku pada saat itu, bahwa semua palsu belaka. Dua petugas polisi yang berpakaian serba hitam itu berlari mencariku sambil menodongkan bedil. Mereka berteriak dan memerintah agar aku meletakkan celurit ke tanah," cerita Suro terhenti untuk sekali lagi melihat Endaru yang masih juga meringkuk.

Merasa tenggorokannya serat karena nasi jagung yang kasar, dia tenggak air dalam gelas hingga tandas, dan membantingnya ke lantai hingga menimbulkan bunyi kelontang.

"Mereka mengikat tanganku dengan tambang dan menaikkanku ke dalam kereta—yah, kereta polisi dengan kerangkeng itu. Sepanjang jalan orang-orang berhenti dari aktivitasnya sekadar menengok dan melihat kereta yang membawaku lewat. Setelah kereta berlalu, mereka datang berbondong-bondong memenuhi batur depan rumah laknat itu. Mereka ingin melihat apa yang terjadi—menghakimi mungkin juga menyumpahi. Tak ada yang lebih menyakitkan dalam hidupku selain pada saat itu. Aku menembusi tatapan Rukmini di antara kumpulan orang-orang yang datang."

Suro mengusap lelehan ingus dan air matanya dengan punggung tangan. Suara srot-srot itu membuat Endaru tersadar, bahwa pria kekar itu tengah menangis. Enam tahun hidup bersama pria yang sudah dia anggap seperti bapak itu, tak sekali pun Endaru melihatnya menangis. Bahkan, ketika satu-satunya tanah warisan dari sang bapak direbut secara licik oleh sang kontrolir, Suro tak menangis. Tubuh Endaru semakin menggigil. Marah itu bertambah-tambah saja gelegaknya di dalam dada.

"Aku terkejut, sore itu harus bertemu lagi denganmu di sini—di Commissariaat van Politie Bojonegoro[7]!" pekik Suro sarat kecewa. Dia menghela napas dan turut berbaring telentang berkalang lengan.

"Bahasa Belandamu semakin bagus," ejek Endaru dengan mata masih terpejam.

Pemuda itu mengenang kembali kejadian tiga hari lalu, ketika harus berlutut dan memberi sembah pada rombongan bupati yang melintas.

[1] "Semuanya keluar! Berbaris di depan!"

[2] Kamu

[3] Tuan

[4] "Kalian akan segera digantung! Setiap orang harus tahu siapa yang bertanggung jawab di sini."

[5] Pengadilan

[6] Anak gila.

[7] Kantor Kepolisian Bojonegoro