"Uh! Tinggi banget" Gumam Sindari dengan pelan. Berusaha mengambil buku di rak paling atas.
Dia berjinjit-jinjit hingga kaki nya sedikit pegal. Buku paling atas itu menarik perhatian nya. Tiba-tiba parfum yang umum dipakai laki-laki tercium di hidung nya. Dia berhenti sejenak. Enggan menoleh karena jantung nya berdetak kencang.
"Butuh yang mana, Saya bantu" Ucap nya dengan sopan.
Tanpa mendongak, melihat wajah siapa yang menolong nya. Sindari langsung memberikan petunjuk warna buku yang ingin ia baca. Dia langsung mengambil buku itu dengan mudah. Memberikan nya pada Sindari.
"Terimakasih" Ucap Sindari yang masih menundukan kepala.
"Kamu dari kelas berapa?" Tanya nya tiba-tiba.
Sindari pun mendongak, tidak sopan berbicara tanpa menatap mata lawan bicara. Dia juga menyadari bahwa paras tampan orang yang membantu nya itu bagai berlian yang berkilau. Memang, berlebihan sekali perumpaaan ini.
"Eh? Saya kelas 11 D" Jawab nya sedikit gugup.
"Oh kelas 11 ya, jarang ada anak kelas 11 disini. Kebanyakan kelas 10 dan 12. Lain kali kalo butuh buku yang paling atas, minta tolong sama penjaga. Bisa gawat kalau kamu jatuhin buku-buku disini" Jelas nya.
"Ah iya maaf, akan aku ingat" Sahut Sindari.
Winna yang sedaritadi mencari buku di tempat yang berbeda menghampiri Sindari yang sedang berbicara dengan seorang. Dia menyipitkan mata nya untuk mengetahui dengan siapa Sindari bicara.
Seketika mata nya terbelalak saat tahu identitas lawan bicara nya Sindari. Dia pun mendekati Sindari dengan hati-hati. Lalu membelakangi orang itu. Winna berbisik. "Hei hei? ada urusan apa sama cowok itu!"
"Engga ada apa-apa kok. Kenapa bisik-bisik segala?" Sahut Sindari.
"Aduh Sindari.. Dia itu Randika Perdana, Kakak kelas yang paripurna nya menantang maut. Eh enggak jadi, pokoknya jangan ngobrol sama dia sebisa mungkin!" Jelasnya masih dengan suara yang pelan.
Saat kedua nya selesai berbicara. Mereka pun menoleh ke arah semula. Tetapi, Randika yang disebut sudah tidak ada. Mereka pun merasa heran dan Sindari semakin penasaran.
Mereka keluar perpus dengan membawa buku yang mereka pinjam. Suasana sekolah masih ramai, banyak siswa mengobrol di luar kelas serta bermain bola di lapangan saat jam istirahat itu.
Langkah sindari pun terhenti. Buku yang dia peluk jatuh ke lantai dengan kasar, mengejutkan orang yang melewati nya. Dia mendapati Ayahnya bersama wanita yang tidak dia kenal, masuk ke ruang wali kelas.
"Ayah?" Panggil nya pelan, tidak terdengar bahkan dengan Winna di sampingnya.
"Sindari? Sindari? Kenapa bengong? Ada apa?" Tanya nya menyadarkan Sindari. Dia pun ikut memperhatikan kemana Sindari melihat.
"Sindari? Tenanglah. Tidak apa-apa. Kita harus ke kelas. Ayo!" Tegur Winna dengan khawatir. Dia mengambil buku Sindari yang terjatuh.
"Aku enggak mau ke kelas. Aku pergi dulu, Win" Sahutnya lalu meninggalkan Winna yang masih terdiam di tempat.
Sindari pergi tanpa tujuan, dia mulai menaiki tangga dimana tangga itu menuju ke ruang kelas 12. Kaki nya bergemetar hebat, trauma nya kambuh dalam sekejap, tubuh nya terasa berat hingga dia tidak mampu lagi melanjutkan langkah nya.
"Hei? Kamu yang tadi di perpustakaan? Kenapa kesini? Kamu sakit?" Tegur seorang yang pernah ditemui sindari, Randika.
"Gak apa-apaa. Gak apa-apa" Sanggah nya menolak pertolongan randika.
"Uks khusus kelas 12 deket kok. Saya antar kamu kesana!" Ujarnya lalu membantu Sindari berjalan.
Randika membantu Sindari berjalan dengan merangkul nya.
Sindari berbaring di tempat tidur dengan nyaman, dia meletakan tangan nya diatas kening tepat di dekat mata untuk menutupi kedua mata nya mulai berair. Randika yang masih berdiri di samping nya dibuat bingung.
"Guru UKS kita sepertinya absen hari ini. Saya ambilkan minum sebentar" Ucapnya.
Beberapa menit kemudian, Randika kembali dengan membawa gelas berisi air putih itu. Sindari masih tetap dengan posisi nya yang seperti itu.
"Kamu tidur ya?" Tanya nya sembari meletakan gelas itu di meja.
Sindari melepas tangan nya, lalu dia bangun. "Terimakasih kak, udah bantu saya. Kakak pasti sibuk, pergi aja kak. Saya bisa kok sendirian disini" Jelas Sindari.
"Loh, baru dateng kok udah di usir aja. Nih minum nya di minum dulu.." Jawab nya sembari memberikan air minum itu ke Sindari.
Sindari pun meneguknya dengan cepat. Membuat Randika sedikit terkejut. Setelah Sindari selesai dengan minum nya, Randika dengan sigap menyentuh kening Sindari untuk memastikan apakah dia demam.
Sindari reflek mundur. Jantung nya berdetak kencang. "Eh?" Tiba-tiba paripurna Randika berkilau di pandangan nya. Dramatis sekali pandangan Sindari ini.
"Syukurlah kamu tidak demam. Apa kamu baik-baik saja? Tadi terlihat tidak sehat" Katanya dengan perasaan khawatir.
Sindari tidak tahu harus menjawab apa. Dia juga tidak mengerti, dia ingin menjawab efek trauma yang dia alami tapi dia sangat berhati-hati dengan resiko nya. Dia hanya menunduk menahan malu, sembari melihat gelas yang sudah kosong itu.
"Kalau tidak bisa diceritakan tidak apa-apa. Jangan dipaksakan. Saya maklumin kok.." Ucap Randika membuat Sindari mendongak menatapnya.
Sindari mengubah posisi duduknya menghadap jendela. Dibalik itu langit nya sangat cerah walaupun panas.
"Saya takut kak . Ayah saya datang ke sekolah tanpa sepengetahuan saya. Saya tidak mau di cari makanya saya naik ke atas sini secara tidak sengaja. Saya tidak ingin menemui beliau setelah apa yang beliau lakukan pada saya waktu itu, terus tubuh saya jadi tidak enak" Jelas Sindari tiba-tiba.
Randika tercengang mendengar cerita nya. Dia mulai duduk di samping Sindari. Ikut menatap langit di luar jendela itu.
"Sepertinya hidupmu cukup sulit ya, Sindari?" Tanya Randika.
"Eh? Kakak tau darimana nama saya?"
"Teman kamu di kantin berteriak dengan jelas memanggilmu, jadi saya tahu. Kamu tahu nama saya tidak?"
"Eh begitu. Tahu kok, nama kakak Randika Perdana kan?"
"Betul. Kamu tahu anak yang bernama Beta? Dia anak kelas 10 yang berpacaran dengan teman sekelas saya. Sepertinya kamu berhak tahu, Sindari. Bahwa Beta itu anak dari wanita yang datang bersama ayahmu. Saya ke bawah untuk mengambil air. Beta mengamuk mencari mu kesana kemari. Untung nya dia tidak kenal saya. Sepertinya hidupmu cukup sulit ya, Sindari?"
Sindari menunduk dan menjawab "Lebih sulit lagi ketika saya mengatakan hidup saya itu sangat sulit kak. Saya lebih sulit mengatakan saya tidak baik-baik saja daripada tahu kenyataan bahwa hidup saya sangat sulit.."
Randika terkekeh dan kagum dengan jawaban Sindari.
"Kita perlu memutuskan sebuah keputusan besar ketika hidup kita sangat sulit, Sindari. Cobalah buat keputusan agar kamu tidak kesulitan lagi. Setelah itu, kamu hanya menjalani nya dan bertanggung jawab. Adakah yang kamu inginkan? Seperti kabur dari rumah, atau pergi keluar kota mencari uang?"
Sindari menatap Randika dengan mata yang berbinar, pertama kali baginya merasakan jantung berdetak tidak karuan karena kata-kata yang dilontarkan Randika untuknya. Ada perasaaan yang mengganjal di dalam hatinya. Tapi Sindari menyangkali hal itu.
Mungkin inilah pertama kali nya bagi Sindari merasakan Jatuh cinta pada Randika.