Mas Doni menyambutku dengan senyuman lebar saat aku keluar dari gedung putih, tempat pengesahan anggota organisasi pencak silat yang ku ikuti dilakukan. Mata pelatihku itu tak pernah lepas dari selendang putih yang kini telah melilit pinggangku dengan kuatnya. Aku tahu dia sedang bahagia, karena aku pun begitu.
Setelah lebih dari tiga tahun aku berjuang untuk mendapatkannya, akhirnya selendang itu pun menjadi milikku. Ini adalah bukti dari semua darah, keringat, dan air mata yang telah ku curahkan.
Namaku adalah Bayu, aku tinggal di salah satu kota kecil di Jawa Tengah, di mana di daerah kami, hampir semua pria berlatih pencak silat dari berbagai organisasi yang berbeda-beda. Aku sendiri bergabung dengan organisasi pencak silat Selendang Putih sedari tiga tahun yang lalu saat aku berumur 16 tahun.
Awalnya, aku bergabung karena ingin menjadi seorang atlet. Aku lemah di akademis, karena itulah aku ingin menjadi atlet agar bisa menunjang nilaiku.
Namun, saat aku benar-benar mendalami setiap hal yang kupelajari di sana, aku menjadi semakin mencintai seni ini.
Bukan hanya ilmu pencaknya, di sana aku dididik menjadi seseorang yang tahu mana yang benar dan mana yang salah. Menjadi pribadi yang berbudi luhur, dan mengayomi keluarga, juga masyarakat.
Jangan menganggap ucapanku ini hanya dongeng sebelum tidur! Manusia berbudi luhur? Mengayomi masyarakat? Ayolah! Pergilah ke Jawa dan lihat apakah sesuatu yang seperti itu diperlukan atau tidak!
"Le, akhirnya kamu pakai selendang ini juga, selamat! Mas akan serahkan rayon kita di tangan kamu!" Dengan senyuman lebar yang tak kunjung lenyap dari wajah rupawannya, Mas Doni menepuk-nepuk kedua sisi pundakku dengan penuh kebanggan. Matanya berseri dan napasnya menggebu saking bahagianya.
Aku hanya bisa membalas perlakuan pelatihku itu dengan senyuman hangat.
Rayon adalah tempat di mana latihan dilakukan di tiap daerah dibawah pimpinan cabang.
"Mas Doni pilih kasih! Aku juga baru disahkan! Tidak ingin menyerahkan apa pun di tanganku ha?"
Sebuah suara yang cempreng mengusik ritual syahdu kami. Aku maupun Mas Doni menoleh ke arah suara tersebut dan mendapati seorang gadis tengah berkacak pinggang sambil mempoutkan bibirnya.
Namanya Dea, tapi kami lebih sering memanggilnya Sindut. Dia adalah teman seperjuanganku, sekaligus gadis yang kusuka. Gadis konyol yang telah membuat hari-hariku berwarna.
Siapa pun akan tercengang mendengar alasannya berlatih pencak silat. Bukan untuk berlatih bela diri, apalagi menjadi atlet, yang dia inginkan dari latihan itu adalah seragam silat yang keren. Dia bilang seragam pencak silat organisasi kami sangat keren, dan dia sangat ingin memakainya. Karena itulah dia bergabung.
Sial, dia se-absurd itu!
"Mas sudah punya posisi yang tepat untuk kamu di rayon! Jangan manyun seperti itu, Ndut!" Mas Doni menahan tawa melihat Dea yang masih betah manyun di depan pintu gedung putih.
"Ndut, jangan di depan pintu! Ngehalangin orang yang mau keluar!" seruku pelan.
Dea nampak menghela napas pendek, ia lalu berjalan menghampiri kami. Gadis itu merapikan selendang putihnya dengan hati-hati.
"Terima kasih kalian sudah bertahan sampai sejauh ini, sekali lagi selamat!" Mas Doni menepuk lenganku dan Dea bergantian.
"Makasih doang, baksonya mana?" protes Dea.
Nah, untunglah Sindut mengingatkan. Sejujurnya aku pun sudah sangat lapar, proses pengesahan yang memakan waktu seharian penuh itu benar-benar menguras energiku.
"Cuma bakso? Ojok (jangan) ngelawak! Mas ini banyak uangnya! Bilang mau makan apa, Mas teraktir!" ucap Mas Doni dengan santainya.
Gawat! Seharusnya Mas Doni tidak mengatakan itu. Tepat di sampingku, berdiri seonggok mesin pengunyah yang tidak punya belas kasihan. RIP dompet Mas Doni.
"Okay, ayo ke Blok T!" ucap Dea dengan semangatnya.
Dea langsung meraih lengan Mas Doni lalu menyeret pelatih kami itu ke parkiran, sementara aku hanya mengekor dengan tenang.
***
Aku hanya bisa melongo menatap berbagai hidangan yang sudah tersaji di meja. Dea memang ratu tega. Aku tidak tahu lagi harus menyemangati Mas Doni seperti apa.
Sate, bakso, rajungan asam pedas, soto, ceker mercon, dan masih banyak lagi. Serius, melihatnya saja sudah membuatku kenyang.
"Mas, yang sabar ya." ucapku pelan.
Dengan senyum mengembang, Mas Doni hanya mengangguk pasrah.
"Ngomong-ngomong, Kang Naryo beneran mau merantau?" aku mencoba mengalihkan perhatianku dari Dea yang sudah memulai ritual makannya.
"Iya, Le. Bukan cuma Naryo, tapi Budi, Andre, sama Ayu juga! Pelatih tetap cuma tinggal Mas, makanya Mas minta, kamu sama Dea bantuin Mas ngurusin adek-adekmu biar mereka bisa terus latihan sampai disahkan!"
Aku menghela napas panjang mendengar ucapan Mas Doni. Bukannya apa, siswa di rayon kami cukup banyak, jika hanya kami bertiga, bukankah itu cukup merepotkan?
"Ndut, denger gak kamu? Mas Doni minta kita bantuin! Jangan sering absen!" selorohku pelan.
"Aman tuh! Santai Chang, aku enggak bakalan absen kalau gak ada alasan yang mendesak!" sahut Dea dengan santainya.
Kachang, seperti itulah ia memanggilku. Entah apa makna dibalik nama kesayangan yang ia berikan padaku itu. Positive thinking saja.
"Satu lagi, Le. Setelah kalian disahkan, Mas mau membekali kalian dengan beberapa ilmu. Mas harap kalian mau mempelajarinya."
Ilmu? Ilmu apa?
"Aku piye (bagaimana), Mas?" sela Dea.
"Kan tadi Mas bilang, kalian! Berarti kamu juga Dea! Untung sayang, kalau enggak, udah kusentil ginjalmu!" sahutku kesal. Dengan dia memang susah untuk serius, ada saja ucapannya yang bisa merusak suasana.
"Kita bahas dan atur jadwal nanti! Sekarang, makan dulu! Makan yang banyak!" Mas Doni tersenyum lebar.
Terima kasih, Ndut! Berkat kamu, otakku terasa sesak karena dipenuhi rasa penasaran.
Kami sudah mempelajari semua jurus saat masih menjadi siswa. Lalu ilmu apa lagi yang mau Mas Doni ajarkan?
"Chang, jangan makan rajungan sama cekernya! Pedesnya gak akan bisa kamu nikmati! Mending yang lain aja!" Dea menunjuk ceker dan rajungan asam pedas di meja.
Dia itu sangat mengenalku, dia tentu tahu makanan mana yang bisa atau tidak bisa kumakan.
"Perjalanan kalian yang sesungguhnya baru dimulai, pinta Mas, kalian harus saling menjaga satu sama lain!" ucap Mas Doni lembut.
Kenapa aku merinding mendengarnya? Sebenarnya ada apa?
"Mas, sudah Mas, sudah! Mas gak lapar? Ayo dong kita makan! Aku kelaparan karena seharian gak di kasih makan! Ini, kalau emakku tahu anaknya gak di kasih makan, ngamuk dia!"
Mas Doni langsung tertawa mendengar ocehan Dea, sementara aku hanya bisa menghela napas panjang.
Untung sayang, untung Dey, untung!
Aku menarik satu mangkuk bakso dan mulai mencicipi kuahnya. Lumayan.
Dea memberikan sedikit saus, kecap, dan cuka di mangkuk baksoku. Dia sangat tahu bagaimana seleraku, karena itu aku tidak ragu untuk memakan bakso itu.
Yokshi, rasanya pas, sangat enak.
"Oh iya, Mas punya satu tugas lagi buat kamu, Le!" bisik Mas Doni.
Kami memperhatikan Dea sejenak, ia sedang menikmati rajungannya. Aman.
"Apa, Mas?"
"Mas minta... "